Dan mereka yang beragama benar malah terjebak dalam derita panjang sebab apapun perjuangannya untuk menegakkan benang kebenaran, selalu kalah dengan mereka yang menguasai komunikasi, mampu bicara lantang seakan - akan dengan orasinya merekalah yang paling benar. Menjadi pembicara, diupah tinggi tapi sambil memaki - maki dan menjelekkan lawan politik atau agama lain.
Muncul buzzerrp, pendengung yang diupah untuk merontokkan nyali oposisi, mencounter segala kritik yang dialamatkan ke pemerintah dan lagi ujung- ujungnya Salawi, semua salah Jokowi. Betap Jokowi harus membawa beban, sebab semua denyut perekonomian, pembangunan, termasuk naiknya tingkat kemiskinan semua dialamatkan musuh Jokowi yang merisak namanya menuduh bahwa Jokowi tidak patut lagi memimpin negeri ini. Berbagai meme, berbagai ujaran kebencian beralamat pada presiden terus saja bak air bah berdatangan. Namun di balik tubuhnya yang kerempeng betapa kuat kuda - kudanya menopang tubuh yang nampak rapuh.
Penulis menduga bahwa kekuatan Jokowi adalah pada mata bathinnya. Ia selalu jernih memandang segala masalah, tetap sabar menerima cacian demi cacian, nyatanya diantara isu kemiskinan dan ambruknya perekonomian, Bendungan di Pacitan yang diberi nama Tukul, Aneka infrastruktur tol, pembangunan  di wisata di Labuan Bajo, Trans Sumatra, trans Kalimantan masih berjalan. Orang - orang sepertinya menutup mata, mereka hanya melihat kekurangan dan kesalahan.
 Ciri khas manusia yang susah dihilangkan, lebih senang melihat rumput hijau tetangga daripada menyuburkan rumput rumah sendiri, lebih sering mendongak dan melihat orang lain, jarang melihat diri sendiri. Sering mengorek kesalahan tetangga dan orang lain, tapi tidak sadar bahwa dalam dirinya tumbuh borok dan dosa - dosa yang tidak disadarinya dari upaya menanamkan kebencian terhadap orang yang dibencinya gara- gara pengaruh media sosial.
"Oh, Jagad Dewa Bathara, ada apakah dengan negeri ini." Inilah puncak sebuah kebanggaan sebagai orang timur yang katanya menjunjung tinggi moral dan peradaban, menyindir gaya barat yang kebablasan, tapi tidak menyadari bahwa diri sendiri bermasalah. Bercermin saja di kaca, apakah mukanya sudah patut menyandang sebagai orang baik. Saya sendiri sebagai penulis menganggap belumlah apa - apa dibandingkan dengan kesabaran tingkat dewa yang ditunjukkan Jokowi.
Bukan menyanjung Jokowi, bukan pula pengikut fanatik Jokowi, tapi mata bathin saya masih melihat waras bahwa ia bekerja tulus membangun negeri ini. Kelemahan tetaplah ada sebagai manusia, ia tetaplah manusia yang penuh kekurangan, tapi berbagai kelebihannya telah menutup kekurangan dan kelemahannya. Ia memang bukan sosok gagah seperti yang sering digambarkan dalam pertunjukan ketoprak bagi tokoh yang menjadi lakon atau menjadi primadona dalam sebuah pertunjukan, hingga membuat klepek - klepek penonton perempuan atau laki- laki.
Jokowi itu adalah sosok manusia biasa seperti rakyat biasa, bukan berasal dari trah ratu, dinasti presiden, ia hanya anak tukang kayu, yang pernah hidup dan merasakan banjir ketika masih tinggal di Bantaran Kali, di pinggir Bengawan Solo. Bukan seperti mantan presiden yang rumahnya pun diberi akses tol. Ia menempati pavilyun bukan istana kepresidenan, yang sering naik pesawat ekonomi untuk pulang kampung.
Banyak orang terbiasa melihat bahwa sosok presiden itu harus gagah pidekso (gagah perkasa), tinggi besar dengan kata-kata terukur, berpendidikan tinggi, dan banyak istilah memukau sebagai orang berintelektual tinggi. Tapi Jokowi tetap dirinya sendiri yang masih suka makanan tradisional, yang sering meracik jamu sendiri untuk kekuatan dirinya mengarungi, hujatan makian dari orang yang merasa telah terganggu kesenangannya menikmati menara gading kekuasaan dan kehormatan.
Sekali lagi bukan memujanya tapi lebih mencoba membaca mata bathinnya. Mungkin banyak yang luput, banyak salah dugaan saya tentang kolam luas mata bathinnya. Tapi setidaknya saat melihat mata dan senyumnya saya masih melihat bahwa Jokowi masih orang yang sama ketika masuk ke rimba Jakarta 2012 dulu, cuma sekarang jagat yang diampunya lebih luas yaitu Nusantara. Berat, ketika harus mengakomodir jutaan keinginan rakyat. Tidak semua terpuaskan namun dari kekurangannya ia persembahkan segala kelebihannya.
Itulah tebakan saya melihat mata bathin Jokowi, bisa salah, bisa juga benar. Tergantung anda pembaca. Bagi anda yang terlanjur benci, tidak mungkin setuju dengan tulisan saya bagi yang sepaham dan bisa merasakan dengan jernih permenungannya pasti merasakan bahwa betapa berat menjadi pemimpin negeri ini yang rakyatnya banyak maunya dan banyak tuntutannya. Hong wilaheng sekareng bawono langgeng artinya laksana bunga yang aromanya semerbak abadi.
Bathin yang tulus akan selalu menebarkan wangi bunga abadi. Sampai saat ini mata bathin masih merasakan wangi itu, dan senyumnya yang tetap tertanam dalam ingatan. Seburuk apapun orang menyematkan segala kekurangannya, saya melihat masih ada kebaikan terpancar dari bathinnya, hanya orang - orang sekitarnya yang sering salah menterjemahkan kebaikan hanya untuk kepentingan pribadi dan partai politiknya.