Coba saja sebelum membuat kata - kata tendensius, berimajinasi dulu bagaimana kalau saya menjadi dia, bagaimana saya mengcounter kata kata dari netizen yang nylekit dan subyektif. Bahkan mereka yang katanya hapal kitab suci dan buku - buku referensinya merasa berhak menasihati padahal dirinya sendiri sangat sering keceplosan memojokkan pihak lain.
Manusia modern sekarang ini memang ambigu, maunya memberantas buzzer, menghardik para pendengung, namun mereka sendiri anti kritik, dikritik balik memelas dengan mengulik dan mencaci para perumus undang undang ITE, Yang aneh pula para pengeluh itu dulunya ikut merumuskan dan mengegolkan UU ITE yang katanya memunculkan pasal karet.
Mentang - mentang sudah di luar merasa bisa mengobok - obok dan membuat kompor meleduk mereka yang gemas dan pengin ambil alih kekuasaan. Kalau pengin tidak ada buzzer, ya kembali dulu ke diri sendiri. Sudahkah mengontrol setiap perkataan di media sosial,selama kita masih sering mengeluh dan menghina orang lain atau pemerintah, atau musuh kita ya jangan harapkan ada solusi.
Akui saja memang kita lebih gemar mengejek daripada memberi solusi. Kita lebih senang dan tertawa jika orang lain susah dan sial. Jika suatu saat saya menunjuk orang sebagai biang perusuh, biang munculnya ujaran kebencian, jari lainnya menunjuk diri sendiri.
Oh, ternyata diri sendiri masih brengsek, tapi kenapa mesti menghina orang lain yang belum tentu lebih brengsek dari diri sendiri. Sebetulnya lihat negara maju baik dalam hal ekonomi, pendidikan maupun matangnya karakter masyarakatnya. Apakah mereka lebih sering gaduh sendiri atau malah banyak yang diam tapi kerja nyata, cekatan untuk membangun peradaban dan pendidikan.
Kita belum maju, tapi sudah kadung gandrung dengan barang modern sementara mental belum siap untuk mampu memanfaatkan gawai dan media sosial sebagai senjata manusia untuk menjadi bangsa tangguh yang mampu menciptakan peluang kerja, bukan menunggu pekerjaan datang.
Refleksi ini ditujukan untuk diri  sendiri, sebab saya masih terjebak budaya kalau bisa mempersulit kenapa harus dipermudah, kalau bisa senang senang sendiri kenapa mengajak orang lain. Kalau bisa menghina kenapa tidak sekalian saja mencaci maki, toh akan lenyap dosanya setelah semalaman berdoa. Setelah bangun lupa lagi, dan bertobat lagi malam harinya. Ah, manusia bagaimanapun tidak pernah ada yang pernah sempurna. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H