Media digital bagi sebagian negara mungkin lebih dimanfaatkan untuk menjadi media transaksi dan komunikasi. Pada mereka yang lebih banyak diam dan tidak terlihat heboh seperti Jepang, Korea, China mereka lebih sibuk meracik dan merancang teknologi menit demi menit, sementara kita sibuk mengikuti cepatnya perkembangan media sosial, membelinya namun bukan untuk memajukan bangsa tapi lebih sibuk mencaci dan menghina.
Seiring perkembangan peradaban, ketika HP dan peralatan tidak lagi menjadi barang langka dan bukan lagi barang mewah. Setiap tangan dari jutaan orang di Indonesia sudah bisa mengoperasikan peralatan canggih bernama gawai, membuka dan mencari informasi apapun tersedia.Yang berkurang adalah ruang pribadi yang semakin tersita hanya karena gawai seperti telah menyetir kehidupan. Tangan serasa hampa, pikiran serasa kosong jika sehari saja tidak menengok perkembangan di media sosial (apalagi yang hobi menulis dan memanfaatkan teknologi komunikasi untuk mencari uang).
Kita lebih mudah marah ketika tidak memegang alat itu, kadang menyalahkan orang lain gara - gara HP rusak. Yang lebih parah kadang manusia depresi gara - gara tidak dibelikan gawai hingga ujung- ujungnya menyiksa bahkan sampai membunuh orang tua demi gawai baru.
Di saat mempunyai HP baru, bisa berselancar, mengunggah status, membuat cuitan, bukannya mencerahkan dan saling respek namun malah saling caci dan saling perang kata - kata.
"Kamu buzzer pemerintah!"
"Kamu pendengung  oposisi!"
Lalu muncullah media sosial sebagai pelampiasan amarah. Media informasi terutama media internet, seakan menjebak para netizen, pengguna gawai untuk berkomentar. Riuh rendah komentarnya. Banyak ragamnya sampai dunia binatang diusungnya. Perkaranya apa?. Hanya karena masalah kecebong dan kadrun.
Muncul pula pelawak - pelawak model baru bernama komika yang kadang tanpa sopan meroasting orang tanpa ampun sehingga sekaliber Ruben Onsu harus memperlihatkan wajah sedihnya, ketika dengan enaknya komika bicara nyerocos pada acara stand up komedi mengupas keluarga Ruben sampai menyinggung anak angkatnya dan istrinya. Roasting dalam istilah stand up komedi adalah serangkaian joke yang dilontarkan oleh pelawak tunggal lain yang dijadikan sasarannya.
Rupanya meskipun menghina dikemas sebagai bagian dari dunia hiburan, apakah mereka sadar telah membuat perasaan sakit hati. Meskipun yang dikupas itu sesama pelawak atau penghibur tetap aneh jika meroasting orang tanpa berhadapan langsung dengan orangnya dan akhirnya minta maaf atas pemanfaatan orang untuk dijadikan lelucon.
Oh, sekarang  sudah banyak yang pintar melawak, membuat status dengan memainkan perasaan orang, menghina, membuat ujaran kebencian tanpa merasa berdoa. Toh, dengan berdoa yang rajin, dengan memakai baju agamis semua dosa selama menghina bisa lenyap. Memang begitu?. Saya sendiri kadang tiba tiba tercekat juga dan merasa berdosa mendengarkan komika tampak menikmati lawakan yang bergaya roasting dan tanpa sadar ikut tertawa terbahak - bahak. Padahal sesungguhnya lawakan itu tendensius dan sarat kata - kata ledekan.
Sebagai orang yang hobi menulis, hampir setiap hari menulis, mau tidak mau kadang tanpa sadar sering membuat kata - kata yang menghina, tertulis pula di blog seperti Kompasiana ini. Seperti pemuka agama saja yang sering memberi nasihat  berdasarkan pengalaman religi kita. Saya sadar kadang celetukan - celetukan yang muncul dari alam bawah sadar sering meluncurkan kata- kata hinaan, ujaran kebencian saat kita tidak merasa sreg dengan seorang tokoh misalnya.
Saya jadi merasa bergidik, betapa menjadi pemimpin puncak di negara yang senang mencaci dan menghina sungguh berat. Dilematis benar. Mau mencegahnya dibilang anti kritik, dibiarkan ngelunjak tidak karuan. Sudah mati - matian bekerja, sampai mengorbankan waktu pribadinya masih dikulik- kulik latar belakang sejarah kehidupannya pula.
Coba saja sebelum membuat kata - kata tendensius, berimajinasi dulu bagaimana kalau saya menjadi dia, bagaimana saya mengcounter kata kata dari netizen yang nylekit dan subyektif. Bahkan mereka yang katanya hapal kitab suci dan buku - buku referensinya merasa berhak menasihati padahal dirinya sendiri sangat sering keceplosan memojokkan pihak lain.
Manusia modern sekarang ini memang ambigu, maunya memberantas buzzer, menghardik para pendengung, namun mereka sendiri anti kritik, dikritik balik memelas dengan mengulik dan mencaci para perumus undang undang ITE, Yang aneh pula para pengeluh itu dulunya ikut merumuskan dan mengegolkan UU ITE yang katanya memunculkan pasal karet.
Mentang - mentang sudah di luar merasa bisa mengobok - obok dan membuat kompor meleduk mereka yang gemas dan pengin ambil alih kekuasaan. Kalau pengin tidak ada buzzer, ya kembali dulu ke diri sendiri. Sudahkah mengontrol setiap perkataan di media sosial,selama kita masih sering mengeluh dan menghina orang lain atau pemerintah, atau musuh kita ya jangan harapkan ada solusi.
Akui saja memang kita lebih gemar mengejek daripada memberi solusi. Kita lebih senang dan tertawa jika orang lain susah dan sial. Jika suatu saat saya menunjuk orang sebagai biang perusuh, biang munculnya ujaran kebencian, jari lainnya menunjuk diri sendiri.
Oh, ternyata diri sendiri masih brengsek, tapi kenapa mesti menghina orang lain yang belum tentu lebih brengsek dari diri sendiri. Sebetulnya lihat negara maju baik dalam hal ekonomi, pendidikan maupun matangnya karakter masyarakatnya. Apakah mereka lebih sering gaduh sendiri atau malah banyak yang diam tapi kerja nyata, cekatan untuk membangun peradaban dan pendidikan.
Kita belum maju, tapi sudah kadung gandrung dengan barang modern sementara mental belum siap untuk mampu memanfaatkan gawai dan media sosial sebagai senjata manusia untuk menjadi bangsa tangguh yang mampu menciptakan peluang kerja, bukan menunggu pekerjaan datang.
Refleksi ini ditujukan untuk diri  sendiri, sebab saya masih terjebak budaya kalau bisa mempersulit kenapa harus dipermudah, kalau bisa senang senang sendiri kenapa mengajak orang lain. Kalau bisa menghina kenapa tidak sekalian saja mencaci maki, toh akan lenyap dosanya setelah semalaman berdoa. Setelah bangun lupa lagi, dan bertobat lagi malam harinya. Ah, manusia bagaimanapun tidak pernah ada yang pernah sempurna. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H