Begitulah wajah demokrasi Indonesia, Masih bopeng dan banyak centang perenangnya, namun sesungguhnya kita masih bersyukur bahwa meskipun netizen, buzzer, influencer, tampak agresif, namun pergerakan - pergerakan yang mengarah untuk perpecahan bangsa masih bisa diredam. Kadang muncul isu tentang impeachment, atau pemakzulan, namun gerakan - gerakan mereka sejauh ini tidak sampai membuat pemerintah seperti menghadapi gelombang demonstrasi seperti di Hongkong, Thailand, Myanmar dengan junta militernya.
Menurut penulis sih pemerintah sudah sekuat tenaga bekerja untuk kesejahteraan masyarakat, namun, tidak dipungkiri bahwa Indonesia yang berada dalam wilayah cincin api, sangat rawan menghadapi bencana meletusnya gunung berapi, pergerakan lempeng bumi yang bisa berdampak gempa dahsyat dan tsunami, juga ragam suku,agama, Â bahasa, etnis atau ras berbeda sangat rawan pergesekan.
Kembali ke bahasan tentang Pernyataan Jokowi yang menginginkan masyarakat tidak sungkan untuk melakukan kritikan pedas bila pemerintah dan pejabat publik menyimpang atau masyarakat menemukan kebijakan yang tidak selaras dengan pemikiran rakyat. Seyogianya masyarakat harus cerdas memaknai kata kata Presiden. Anggaplah mengkritik pemerintah ataupun presiden seperti mengkritik diri sendiri. Â Mengkritik karena kita menjadi bagian dari negara ini merasa perlu mengoreksi agar bisa bersama membangun bangsa, bukan sekadar asal beda dengan pemerintah.
Kalau pemerintah salah ya tegur keras, tapi kalau sudah bekerja maksimal meskipun belum sempurna masih saja mendapat penilaian buruk, tentu tidak lagi obyektif, tapi sudah dibutakan oleh kebencian karena berbeda ideologi dan fatsun politik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H