Â
Kritiklah Jokowi, seperti Mengkritik Diri Sendiri. kalimat itu saya ambil dari sebuah ayat Kitab Suci Cintailah Sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri. Akhir - akhir ini muncul silang pendapat mengenai pernyataan Presiden Jokowi agar masyarakat bisa memberikan kritikan kepada pemerintah dan pejabat publik.
Dalam pidatonya di hari Pers Nasional Jokowi memberi kesempatan agar masyarakat tidak sungkan mengkritik pemerintah jika ada hal aneh yang dilakukan pemerintah dan pejabat public. Berbagai tanggapan muncul, banyak juga yang malah pesimis dan ragu menanggapi ajakan presiden. Itu mengacu pada beberapa kasus penghinaan dan ujaran kebencian berkaitan dengan pejabat publik akhirnya berakhir di bui.
Kasusnya adalah pelanggaran undang  undang ITE atau kasus ujaran kebencian yang menyerang pribadi pejabat. UU ITE yang bagi sementara pengamat dianggap tidak jelas dan seperti mengandung pasal karet itu bisa saja menjerat mereka yang sebenarnya bertujuan mengkritik namun kemudian dimasukkan dalam pasal penghinaan ataupun ujaran kebencian. Makanya sering disebut pasal karet.
Itulah yang dicemaskan masyarakat sehingga tokoh seperti Kwik Kian Gie merasa takut membuat kritikan di era sekarang ini (Menurut saya sih bukan karena era Jokowi, namun karena saat ini era digital, era keterbukaan sehingga semua orang layak bicara tanpa filter dan langsung bisa diunggah di media sosial ).
Tapi benarkah pemerintah era Jokowi sensitif terhadap kritik?Atau berusaha lewat aparatnya untuk menindak tegas pengkritik? Apakah sekejam Raja Thailand yang menghukum berat rakyatnya jika berani menghina raja atau keluarganya sampai ada lansia yang divonis hukuman 43 tahun?
Kalau saya sih melihat banyak orang Indonesia sekarang salah kaprah dalam memahami kritik. Kritik bercampur dengan kata - kata yang menyerang pribadi, bukan programnya. Bicara keras dengan membawa - bawa sara etnis dan body shaming.
Saking merasa terbuka lantas bisa mengolok - olok sesuka hati, mengatakan hal buruk berhubungan bentuk fisik, agama, keyakinan. Bahkan menurut beberapa penulis Kompasiana banyak elit, politikus, anggota DPR yang memberi contoh kurang baik dalam melontarkan kritikan. Mereka berusaha menanamkan kebencian pada seseorang, menyerang bukan program dan kebijakannya tapi mengulik - ulik masalah keluarga.
Media sosial menjadi monster yang mengerikan terhadap privasi publik figur, dan akan menelanjangi sampai benar - benar sasarannya seperti tidak punya harga sama sekali. Yang dimaksud kritik keras Presiden tentunya bukan karena asal kritik, tapi juga disertai solusi, disertai jalan keluar. Kalau hanya mengkritik semua orang juga bisa tapi memberi alternatif jalan keluar terbaik itu tidak semua orang bisa.
Bukan membenarkan pemerintah tapi ternyata jika semua orang mempunyai kesadaran literasi tinggi, mampu membedakan kritik dan nyinyiran dan ujaran kebencian maka negara akan terbantu dengan banyaknya orang yang obyektif dan menilai keliru tidaknya pemerintah dalam hal kebijakan publik.
Dengan jutaan kepala dengan pemikiran dan sudut pandang berbeda tidak memungkinkan rezim siapapun bisa menyenangkan semua pihak. Pasti ada yang tidak setuju, pasti ada yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Oposisi diperlukan untuk menjadi penyeimbang, sejauh protes dan kritikannya membangun dan menjadi satu masukan untuk membenahi sistem yang masih karut marut, maka pemerintah tetap perlu mereka. Masalahnya banyak oposan yang asal beda pendapat, asal mengkritik tanpa konklusi. Pokoknya apa yang dilakukan penguasa salah dan mereka harus tetap mencari celah untuk mencari kelemahan kalau perlu mencari kelengahan yang bisa menjadi senjata untuk melakukan kudeta.