Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengulik Lontaran Kritik Kwik Kian Gie tentang Ketakutan Mengkritik di Era Jokowi

9 Februari 2021   14:43 Diperbarui: 9 Februari 2021   15:17 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan Kwik Kian Gie yang saya baca di CNN yang mengatakan ia takut menyampaikan pendapat berbeda atau berlawanan dengan pemerintah saat ini menuai polemik. Sepertinya kalau mengkritik ia akan mendapat perlawanan dari para buzzer di media sosial.

Benarkah apa yang dikatakan Kwik? Banyak netizen yang bereaksi, dan hujatan terhadap Kwik pun membanjir menanggapi pernyataannya.

Kwik lantas membandingkan bahwa zaman Soeharto dia sering melontarkan kritik tajam di media seperti Kompas. Ketika ia melontarkan kritik tidak ada masalah dan tidak sampai di bully sedemikian rupa seperti sekarang.

Menurut pendapat penulis, pernyataan Kwik sebetulnya salah alamat ketika membandingkan zaman dulu dan zaman sekarang. Sekarang era media sosial, lontaran apapun baik berupa kritik maupun status yang menyerempet baik pemerintah maupun oposisi tetap akan mendapat tanggapan. Buzzer bukan hanya berasal dari pemerintah. Dari oposisi yang tidak suka pada pemerintahan sekarang juga agresif.

Bukan salah pemerintah sebetulnya sebab era media sosial siapapun akan mendapat tanggapan pedas jika mengemukakan kritik. Sudah menjadi resiko bahwa privasi demikian longgar dan tentu saja tidak bisa menghindar bila banyak netizen, buzzer, influencer begitu aktif dalam menanggapi sebuah polemik.

Kwik harus sadar bahwa siapapun rezimnya yang paling mengerikan yang dihadapi sekarang adalah kata - kata yang terlontar dari netizen. Di era keterbukaan dan kemajuan media digital, semua orang berhak mempunyai pendapat. Jutaan komentar akan terlontar dari otak dan pikiran si empunya gawai. Setiap orang bisa bergerak dan membela seorang tokohnya.

Jokowi pun tidak kurang - kurang mendapat nyinyiran, lontaran kritik, body shaming, bahkan banyak isu - isu yang beredar bahwa rezimnya adalah rezim paling banyak membatasi pendapat seseorang untuk mengkritik.

Banyaknya permainan politik yang ditandai dengan munculnya buzzer, influencer itu tidak bisa dilawan. Era media sosial semua orang harus tahan kritik, tidak perlu panik oleh banyaknya tanggapan sehabis nge twit atau mengemukakan pendapat dan opini politiknya.

Memang ada jaminan kalau setelah era Jokowi mengkritik itu akan mendapatkan tempat yang nyaman?Sebetulnya bukan hendak membela Jokowi, namun banyak politisi, pengamat, pegiat HAM kurang bisa menempatkan diri. Sudah tahu eranya keterbukaan namun gampang tersinggung hanya karena lontaran pendapat netizen. Ya tidak salah dong muncul komentar karena pernah muncul pembatasan terhadap media sosial dengan undang- undang ITE tapi masyarakat langsung bereaksi.

Saya pikir demokrasi zaman sekarang ini benar-benar terbuka, tapi setiap orang harus bisa mengontrol dirinya. Sebab tanpa kontrol diri sendiri maka yang ada adalah opini yang kebablasan mentang -- mentang kebebasan berpendapat dijamin.

Kwik Kian Gie harus sadar sesadar-sadarnya bahwa Orde baru dengan sekarang itu berbeda jauh. Pada zaman dahulu mana ada media sosial, gawai canggih, Facebook, twitter. Mereka melontarkan kritik lewat koran resmi pun selalu ada pembatasan kritik yang layak dan tidak sebelum masuk cetak.

Kompas pastinya juga tidak akan sembarangan menayangkan artikel yang menyerang atau mendiskreditkan rezim. Setajam apapun kritiknya pasti sudah melalui sensor ketat, sehingga tidak sampai menyinggung pemerintah.

Kini ketika pendapat masyarakat langsung bisa dilakukan di media sosial, siapapun orangnya harus bisa mengukur seberapa efeknya jika terlalu berani membuat kritikan. Lawannya bukan pemerintah tapi buzzer.

Bagaimana dengan pendapat bahwa rezim ini sama dengan orde baru karena sedikit -- sedikit dipenjara karena beda pendapat dengan pemerintah. Kadang masyarakat itu tidak bisa membedakan mana yang dikategorikan mengkritik dan mana yang melontarkan ujaran kebencian. 

Ujaran kebencian cenderung menyerang pribadi, bukan institusi, melontarkan fitnah yang kadang hanya berasal dari isu dan berita bohong. Banyak netizen berpendapat bahwa pemerintah otoriter karena sering memenjarakan orang gara -- gara melontarkan ujaran kebencian yang menyerang pribadi.

Nah kebebasan demokrasi kadang dimaknai beda. Ada yang menterjemahkan bebas sebebas- beasnya sampai mengolok -- olok dan menyerang phisik, bukan ideologinya. Yang tidak diperbolehkan itu jika melontarkan ujaran kebencian, bukan mengkritik. Mengkritik tajam sejauh ini dibolehkan asal ada solusinya. Malah kritik diperlukan untuk mengendalikan pemerintahan sehingga tidak terkesan otoriter.

Banyak netizen dan buzzer abal-abal yang mengkritik asal mengkritik, tidak bisa membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dalam etika mengkritik. Kalau media sosial dibiarkan gaduh dan dengan seenaknya membuat meme yang menyerang pribadi, menyerang dengan mengolok-olok fisik dan melontarkan kata - kata kasar yang tidak patut apakah dibiarkan saja.

Bahkan kadang-kadang ujaran kebencian itu muncul dari pemuka masyarakat, penceramah agama dan mereka oposisi yang membabi buta dalam melontarkan kritikan tanpa acuan yang jelas.

Saat ini tokoh seperti Kwik Kian Gie harusnya ikut membantu agar Indonesia bisa bersama - sama sejalan sepenanggungan mengatasi dampak dari pandemik covid 19. Tanpa partisipasi masyarakat dan tokoh- tokohnya pemerintah akan kewalahan menghadapi tekanan demi tekanan dari berbagai sisi.

Sepertinya saya terkesan membela pemerintah, ya sebab ada yang khawatir pasat karet Undang Undang ITE menjadi momok menakutkan di mana masyarakat takut mengkritik, sebab kadang kritik banyak diabaikan sedangkan ujaran kebencian dengan pasal karet akan mempermudah seseorang dijebloskan dalam penjara.

Memang membingungkan juga, tapi saya melihat masyarakat sendirilah yang harus bisa mengukur diri mau mengkritik ya harus tahan uji, kalau takut resiko ya mending diam, menulis dan melukis. Anggap saja menulis sebagai saluran kritik dan melukis atau membuat gambar bebas berimajinasi mampu mengeluarkan unek-unek tentang ketidakadilan.

Yang berkuasa dan yang punya uang saat ini tetaplah orang yang susah dijungkalkan, tanpa posisi kuat anda akan tetap menangis bombay meskipun sudah memberikan alasan sememelas apapun tetap saja yang punya uang dan berkuasa lebih gampang menekan.

Jadi kalau mau menjadi pengkritik saat ini, silahkan saja kalau saya mending menulis yang baik - baik saja. Terserah mau dikatakan cemen, sumonggo kerso. Kalau susah hidup tetap saja pikiran jiwa dan diri saya yang menanggung. Memangnya buzzer peduli. Jadi Pak Kwik kalau mau tetap eksis anggap saja serangan buzzer angin lalu saja. Buzzer itu bukan milik pemerintah saja, oposisi juga punya sepasukan buzzer. Mau melawan netizen, sampai mulut berbusa tidak akan menang. Hehehe.

Referensi  Artikel CNN:
Kwik Kian Gie: Saya Belum Pernah Setakut Ini Kritik Rezim

Detik.com.
Kwik Kian Gie Takut Kritik Rezim, KSP: Pemerintah Tak Alergi Kritik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun