All Power to The ImaginationÂ
Kalau diibaratkan politik itu adalah model cantik yang menjual untuk ditampilkan sebagai bumbu dari sebuah berita. Dalam dunia fotografi dikenal sebagai model bertipe fotogenik. Selalu menarik ketika tampil dalam pemotretan. Meskipun wajahnya biasa saja tapi tampil beda ketika di foto. Tampaknya politik juga begitu. Yang sering masuk dalam ranah politik adalah bahasa rupa kartun dan karikatur. Tapi tidak menafikan bahwa lukisanpun sering membuat kritikan dan sindiran halus mengenai politik.
Kajian Antara Politik dan Seni Rupa
Dalam buku krisis Seni Krisis Kesadaran tulisan dari Greg Soetomo,ada bahasan menarik tentang hubungan kekuasaan dan estetika. Sejarah politik dan gerakan pembebasan harus mengikutsertakan  penelusuran dimensi estetika.Â
Lalu di mana kaitannya antara estetika dan pembahasan?Â
Dalam buku ini dibahas bahwa transformasi perjuangan politik tidak hanya menuntut perubahan structural dan isntitusional, Â tetapi juga trasformasi yang nyata dalam kualitas kehidupan, lingkungan dan budaya.Â
Politik akan lebih beradab tentunya dengan memperhatikan aspek estetika. Menggunakan semua elemen imajinasi  sehingga politisi tidak secara frontal memperlihatkan hasrat politik dengan sangat kasar.
Seni dan estetika memberi sentuhan rasa, sehingga politik tidak hanya masalah hingar bingar kepentingan semata, tapi juga tertata, indah sebagaimana seni sendiri yang terbangun secara estetis. Yang terjadi di Indonesia.Â
Politik tidak terbangun dengan cantik, pendekatan terlalu kasar dan fulgar, tidak seperti karya seni merupakan sebuah karya indah di samping bisa juga bermakna kritis, sebab warna, goresan, karakter, bisa saja  menjadi refleksi manusia agar tidak tamak saat menjadi politisi atau penguasa.
Pernah membaca kartun Karya Dwi Koendoro ( sudah Almarhum ). Ceritanya tentang Panji Koming banyak yang menyinggung tentang watak perilaku politisi yang busuk.Â
Tapi Dwi Koen mengemas ceritanya dengan bahasa kocak dari komik yang mengisahkan perilaku raja-raja dan punggawa yang menyalahgunakan wewenang. Tokohnya memang kadang digambarkan mirip dengan sosok yang sedang dikritik. Orang bisa menebak siapa sosoknya.Â
Misalnya sosok presiden sebelum Jokowi, yang digambarkan berbadan besar sedikit perut membuncit, tinggi besar namun sering menggunakan jargon bahasa yang cukup dikenal umum, misalnya saya prihatin. Atau kalau sedang menggambarkan sosok seperti Presiden Jokowi misalnya tokohnya digambarkan kurus, tinggi dan kata- kata yang sering dilontarkan khas presiden Jokowi.
Dalam buku Antara Tawa dan Bahaya , buku yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, ia menggambarkan suasana aktivitas seni terutama para kartunis.Â
Kadang kartunis sering membuat kritikan tajam mengenai sebuah rezim ( sekitar tahun 1983 tentunya ketika rezim orde baru masih berjaya) Masa Orde Baru pemerintahan masih sangat sensitif maka para kartunis membuat kritikan lewat bahasa gambar dengan simbol-simbol.Â
Sebab jika mengkritik secara gamblang maka, koran-koran itu akan lenyap dan besar kemungkinan di-breidel tidak bisa terbit lagi. Para kartunis yang terkenal kritis itu tentu saja harus bisa berkompromi agar dapur terus ngebul dan media tidak diberangus.
Kartunis, seperti Pramono, Dwi Koen, GM sudarta, Si Jon, Tris Sakeh. Mereka harus berpolitik dengan menggambar meskipun harus pandai pandai membuat trik supaya tidak menimbulkan kegusaran sama sekali.Â
Dari catatan Seno Gumira Ajidarma ada pengalaman seorang kartunis Si Jon yang menggambarkan laras tank terarah ke punggung seseorang yang sedang membacakan kebulatan tekad (mendukung orde baru) meskipun dalam adegan wayang. Si Jon mendapat teguran karena menggambar itu dan luput di luar pengawasan majalah.
Jika Anda melihat lukisan-lukisan Joko Pekik sebetulnya kental dengan kritik dunia politik. Joko Pekik yang pernah menjadi tahanan politik karena dianggap aktif dalam organisasi Lekra Underbow PKI pernah mendekam lama dipenjara karena menjadi tahanan politik. Dan selama orde baru ia sangat dibatasi ruang geraknya sehingga jarang melukis, baru setelah orde baru tumbang ia kembali berkarya dan lukisannya mendapat apresiasi tinggi sehingga lukisannya tentang dunia celeng banyak diburu kolektor dan harganya menjadi selangit.
Karya lukis, Ilustrasi (Kartun, karikatur), mural, grafitti turut menyemarakkan perkembangan politik tanah air. Jika melihat mural-mural yang dilukiskan ditembok kota seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya betapa kental nuansa politiknya. Namun bahasa gambar tidaklah sampai membuat masyarakat merasa terberangus hak politiknya.Â
Mungkin satu dua oknum politisi pernah meneror, seniman, namun belum terdengar ada kartunis, pelukis  di Indonesia yang sempat mendekam di penjara gara-gara gambarnya atau lukisannya.
Estetika Politik dan Politik di mata Seni Rupa
Bahasa rupa menurut saya jauh lebih luwes daripada bahasa tutur media sosial yang terlihat lebih kasar. Bahasa gambar lebih pada pengungkapan kritik dengan sindiran halus namun mengena.
Bergson yang lucu kita katakan, menarik bagi kecerdasan, murni dan sederhana, tawa itu tidak setara dengan emosi.Â
Dalam bahasa seni rupa yang cerdas membaca gambar akan terbahak-bahak paling tidak tersenyum melihat gambar yang tampil entah di Koran, di pinggir jalan dengan kritikan lewat mural.Â
Jadi tertawa itu sederhana sekilas melihat gambar dan mengerti makna yang tersirat apalagi jika sedang update berita terkini.
Mereka para seniman cerdas dalam memvisualkan bahasa kritikan sehingga, meskipun mengkritik, tidak sampai membuat politisi lantas marah besar dan mengerahkan mesin kekuasaannya untuk memberangus kreativitas seni.
Untuk saat ini bahasa kritikan seni rupa sering dijumpai lewat mural. Dengan ambisi para politisi dan ketidakpedulian pada wabah penyakit yang seperti covid-19, para politisi terus bermanuver untuk persiapan menjelang tahun 2024. Nah Para seniman rupa sigap menangkap momen dari hasrat besar politisi menyusun rencana, membangun citra sehingga dikenal masyarakat.
Seni visual di samping mampu menjadi alat pengkritik, juga bisa membantu politisi menaikkan citra diri, bergaul dengan seniman, membuat gambar tentang dia, Menghadiri pameran, memberi ruang para seniman untuk membuat desain atau lukisan tentang dirinya dan kedekatannya dengan masyarakat.Â
Membiayai para seniman membuat mural, membangun imej positif masyarakat seniman sehingga ia bisa memberi janji, kalau nanti sukses entah menjadi wakil rakyat, menteri, birokrat akan berusaha merangkul seniman dan memberi jalan agar terkesan bahwa ia peduli akan dunia seni budaya.
Namun di zaman politik penuh karut marut, para politisi tampaknya lupa bahwa mereka harus tetap harus bermain cantik. Seperti lukisan atau karikatur yang selalu mampu mengkritik tapi tidak sampai membuat masyarakat atau penikmatnya ilfill atau bahkan alergi dengar kata politisi. Malah dengan sentuhan seni keindahan bisa dinikmati. Kalau politik kita bagaimana? Salam.
Referensi
- Quote diambil dari buku Krisis Seni Krisis Kesadaran Greg Soetomo , Slogan Sentral yang dikumandangkan pada kebangkitan Perancis 1968
- Antara Tawa dan bahaya; Seno Gumira Ajidarma Penerbit KPG
- Krisis Seni Krisis kesadaran; Greg Soetomo. Penerbit Kanisius
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H