Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Andil Seni Rupa Menarik Minat Literasi Kaum Milenial

31 Januari 2021   16:19 Diperbarui: 1 Februari 2021   22:36 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter.com/shane_hotchkiss

Aslinya latar belakang pendidikan saya adalah seni rupa, tapi bukan berarti saya tahu banyak tentang seni rupa.

Apalagi saat ini saya malah berasyik masyuk dengan dunia tulis menulis (saya takut mengatakan berkecimpung dalam dunia sastra, sebab takut saya tidak cukup mumpuni ilmu saya dalam bidang sastra).

Secara teori dan sedikit pengetahuan tentang nirmana, tentang unsur unsur seni, kritik seni dan ilmu mencampur warna. Tapi teori seni rupa itu akan percuma saja jika tidak disertai dengan praktek menggambar dan melukis.

Bidang- bidang praktek seperti melukis, menulis, adalah bidang-bidang yang harus dilakukan dengan konsisten. Melalui proses panjang latihan. Tidak bisa ujug-ujug bisa. Kuliah atau belajar di institusi khusus seni, akan gagal total jika tidak pernah melakukan praktek, hanya membaca dan mengandalkan literasi. 

Secara teori bisa saja memberi saran dan pencerahan tapi yang terpenting adalah aksi itu sendiri. Goresan - goresan sketsa akan tampak lebih hidup jika pelaku, atau senimannya selalu mengasah keahliannya dengan terus menerus membuat coret- coretan, mencoba hal baru, menantang diri membuat sketsa puluhan, ratusan bahkan ribuan sketsa sampai ia hapal dan tangannya luwes dalam menangkap momen, angle dan ruh dari obyek yang ia gambar.

Secara umum yang namanya rupa adalah semua yang terlihat oleh mata, ada visualisasinya, bisa direkam dengan pandangan mata. Bendanya yang terlihat bisa dua dimensi, bisa tiga dimensi. Setiap benda bisa digambar sesuai sudut pandang, atau perspektif si seniman tersebut.

Maka muncul semacam aliran-aliran dalam seni rupa. Goresannya bisa dikategorikan realis, abstrak, surealis, kubistis, pop art. Seni rupa itu bisa dinikmati sebagai pajangan saja ada bernilai estetis prepresentatif, bisa bernilai terapan atau dalam istilah seni rupa dinamakan Applied Art. 

Kursi ukir, meja ukir, pintu ukir itu bernilai seni tapi juga bisa bernilai guna. Kursi ukir selain indah dan berkesan elegan, mahal dan mewah juga bisa berfungsi sebagai tempat duduk.

Atas dasar pemikiran, bulan Februari nanti saya ingin membahas banyak tentang dunia seni rupa. Sebetulnya di Kompasiana dulu saya cukup sering melakukan review pameran, membahas tentang kegiatan seni rupa. 

Saya pikir perlu juga saya akan mencoba membahas dunia politik, tentu dari sudut pandang yang berbeda. Kalau saya terkesan takut menulis dan mengkritik situasi kondisi terkini, tidak juga, Saya hanya ingin menulis politik tidak ikut latah, memojokkan dan menghakimi.

Meskipun dalam hati saya punya pilihan tentang siapa pemimpin yang tulus, merakyat dan kerja keras, namun sebagai penulis yang juga guru saya mesti harus empan papan. 

Kekritisan di Indonesia kadang disamaratakan dengan nyinyir, ketidaksukaan pada sebuah rezim karena ada sentimen, entah agama, entah ras, entah karena dikotomi mayoritas dan minoritas. 

Sebuah isu yang berhubungan dengan agama bisa saja menjadi perbincangan hangat. Bisa digoreng-goreng sehingga hal yang sebetulnya "sepele" menjadi perkara maha penting.

Nah, yang lebih nyaman untuk mengkritik itu sebetulnya lewat bahasa gambar, memainkan kritikan dengan karikatur. Tapi seni rupa pun rupanya cukup ngeri - ngeri sedap bila menyangkut kritikan tentang agama. 

Sebab banyak yang masih sensi, mabuk agama, mabuk ideologi sehingga jika seniman, pelukis, tidak peka bisa menjadi biang "kesalahan" Contohnya Raden Saleh, atau Kasus Charlie Hebdo di Perancis. Jadi tetap ada koridor dan batasan jelas bagaimana "memanusiakan" kritik.

Tapi mengkritik lewat bahasa rupa tetaplah lebih aman, asal tidak melanggar simbol-simbol. Beda dengan kritikan lewat media sosial, lewat cuitan-cuitan berani yang kadang bisa berakhir di jeruji. Kebebasan berpikir, dan menajamkan intuisi kritikan lewat seni rupapun kalau tidak hati-hati bisa menjadi bumerang.

Lihatlah efek dari Karikatur di Majalah Perancis Charlie Hebdo. Efeknya bisa membuat nyawa melayang dan hujatan dan kemarahan merebak oleh mereka yang menganggap tidak boleh ada orang yang berani menghina agama, apalagi menghina nabinya.

Padahal agamanya tidak pernah mengajarkan untuk menghukum seseorang dengan cara kriminal atau nyawa dibayar nyawa, hinaan, atau kritikan dibayar dengan tindakan anarkis. 

Saat ini ketika zaman semakin maju, era digital, internet seperti tampak mengerdilkan jarak dan memudahkan mengakses berita dan diterima dunia dalam waktu sangat cepat, manusia menjadi gampang menghakimi, gampang memviralkan kasus-kasus yang akan memperuncing perbedaan.

Seni rupa berfungsi sebagai ilustrasi, memperjelas sebuah teks atau artikel dan memberi ruang visual untuk membayangkan tentang arti dari barisan tulisan itu. 

Banyak orang mulai beralih dari pemahaman literer, ke bahasa gambar. Merasa lebih jelas ketika membaca cerita disertai banyak gambar, seperti halnya novel bergaya web toon. Cerita bergambar yang digandrungi kaum milenial.

kolaborasi literasi dan seni rupa pada sebuah kafe tempat tongkrongan milenilal | dokpri
kolaborasi literasi dan seni rupa pada sebuah kafe tempat tongkrongan milenilal | dokpri
Maka di Kafe-kafe, tempat-tempat nongkrong banyak sekali tembok yang mendapat sentuhan artistik. Sifat kaum milenial yang cepat bosan harus diikat oleh interior dan gambar-gambar memikat agar mau lama-lama nongkrong. 

Pada Film lihat film Starla yang sering menampilkan tempat nongkrong anak muda dengan mural dan perwajahan kafe yang temboknya dipenuhi mural dan grafitti.

Berbincang tentang seni rupa, rupanya memang saat ini bahasa visual atau rupa tampaknya lebih diminati oleh para penikmat digital yang bisa menampilkan gambar- gambar dengan warna-warni menarik hingga sebegitu asyiknya manusia sekarang yang suntuk memelototi gawai. Sebuah dunia visual, produk desain yang mau tidak mau memang telah mengubah mindset manusia modern.

Dan sampai beberapa tahun ke depan dunia rupa, atau seni rupa termasuk desain di dalamnya akan tetap berkibar, bagaimana dengan dunia literasi.

Meskipun muncul keprihatinan pada minat baca yang rendah, tapi sebetulnya bisa diakali dengan melakukan terobosan literasi yang menggambungkan seni visual atau seni rupa dengan seni menulis, membuat karangan, membuat tulisan menarik dengan mengkolaborasikan isi karangan atau tulisan dengan sentuhan seni rupa.

Contohnya sudah saya sebut tadi dengan web toon, membuat mural di dinding dengan quote- quote dari penulis, atau penggalan bait puisi.

Sebut saja sastra visual seperti yang dilakukan oleh Pidi Baiq, dan sejumlah seniman lain yang sering menggambungkan gaya literasi dan bahasa rupa. Contoh pelukis dan seniman yang sering mengkolaborasikan tulisan dan lukisan adalah S Sudjojono. Ia kadang menyelipkan ide atau semacam kritik dengan pendekatan sastra atau literasi namun dilukiskan pada sebuah kanvas, jadilah lukisan yang muncul ada petikan paragraf dan kalimat namun menyatu menjadi unsur - unsur visual yang bersenyawa dan membentuk sebuah karya seni lukis.

Bagaimana tertarik berbincang tentang seni rupa, saya bertekat akan sering menulis tentang seni rupa di bulan Februari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun