Tapi mengkritik lewat bahasa rupa tetaplah lebih aman, asal tidak melanggar simbol-simbol. Beda dengan kritikan lewat media sosial, lewat cuitan-cuitan berani yang kadang bisa berakhir di jeruji. Kebebasan berpikir, dan menajamkan intuisi kritikan lewat seni rupapun kalau tidak hati-hati bisa menjadi bumerang.
Lihatlah efek dari Karikatur di Majalah Perancis Charlie Hebdo. Efeknya bisa membuat nyawa melayang dan hujatan dan kemarahan merebak oleh mereka yang menganggap tidak boleh ada orang yang berani menghina agama, apalagi menghina nabinya.
Padahal agamanya tidak pernah mengajarkan untuk menghukum seseorang dengan cara kriminal atau nyawa dibayar nyawa, hinaan, atau kritikan dibayar dengan tindakan anarkis.Â
Saat ini ketika zaman semakin maju, era digital, internet seperti tampak mengerdilkan jarak dan memudahkan mengakses berita dan diterima dunia dalam waktu sangat cepat, manusia menjadi gampang menghakimi, gampang memviralkan kasus-kasus yang akan memperuncing perbedaan.
Seni rupa berfungsi sebagai ilustrasi, memperjelas sebuah teks atau artikel dan memberi ruang visual untuk membayangkan tentang arti dari barisan tulisan itu.Â
Banyak orang mulai beralih dari pemahaman literer, ke bahasa gambar. Merasa lebih jelas ketika membaca cerita disertai banyak gambar, seperti halnya novel bergaya web toon. Cerita bergambar yang digandrungi kaum milenial.
Pada Film lihat film Starla yang sering menampilkan tempat nongkrong anak muda dengan mural dan perwajahan kafe yang temboknya dipenuhi mural dan grafitti.
Berbincang tentang seni rupa, rupanya memang saat ini bahasa visual atau rupa tampaknya lebih diminati oleh para penikmat digital yang bisa menampilkan gambar- gambar dengan warna-warni menarik hingga sebegitu asyiknya manusia sekarang yang suntuk memelototi gawai. Sebuah dunia visual, produk desain yang mau tidak mau memang telah mengubah mindset manusia modern.
Dan sampai beberapa tahun ke depan dunia rupa, atau seni rupa termasuk desain di dalamnya akan tetap berkibar, bagaimana dengan dunia literasi.
Meskipun muncul keprihatinan pada minat baca yang rendah, tapi sebetulnya bisa diakali dengan melakukan terobosan literasi yang menggambungkan seni visual atau seni rupa dengan seni menulis, membuat karangan, membuat tulisan menarik dengan mengkolaborasikan isi karangan atau tulisan dengan sentuhan seni rupa.