Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Nyinyir "Kebiasaan" ala Trump yang Disukai Politikus?

10 Januari 2021   08:02 Diperbarui: 10 Januari 2021   08:14 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rupanya banyak politikus kita, pejabat terhormat, pada wakil rakyat, lebih senang menaikkan tensi nyinyirnya daripada menunjukkan kinerjanya. Bayangkan Menteri Sosial Tri Rismaharini alias Ibu Risma langsung mendapat santapan nyinyir. Padahal dia pengin kerja benar dengan melihat ke lapangan, kebetulan yang ia lihat ya sekitar kantornya yang ada di wilayah Jakarta.

Apa sih sebenarnya kata nyinyir. Akhir akhir ini kata itu menjadi trending topik pembicaraan. Menurut KBBI kata nyinyir berasal dari perintah yang diulang- ulang. dalam survey media sosial nyinyir adalah mengritik orang lain terus menerus secara pedas. 

Dalam ranah tangkapan pemikiran penulis orang nyinyir itu orang yang suka membicarakan kebiasaan orang lain, mencari kesalahannya dan kemudian membuat opini di media sosial menurut tafsir dia sendiri. Dari kritikan yang berulang ulang dan menjadi viral, membuat penggiringan opini publik.

Jenis peminatan Bu Risma khan lapangan ingin melihat langsung apa masih ada orang miskin dan gelandangan ada di ibu kota. Secara kebetulan perempuan yang hobi blusukan itu ketemu gelandangan di Jakarta.Yang punya wilayah rupanya "agak" kebakaran jenggot sehingga perlu menyindir polah tingkah Bu Risma yang beraroma pencitraan.

Tindakan Bu Risma itu menurut sumber dari media sosial katanya blunder, kurang ajar, tidak mengenal tata krama karena membuka aib rumah tangga orang. Harusnya yang diblusuki  itu bukan Jakarta. 

Nah seandainya ibu kota negara itu Surabaya dan kebetulan kantor bu Risma ada di Surabaya tentunya yang di blusuki ya Surabaya, piye tho. Lalu apa Bu Risma harus pamitan dulu ke Gubernur jika ingin jalan - jalan keluar kantornya yang berada di wilayah Jakarta. Dan ketika mencoba keluar dan mengambil sampel persoalannya di ibu kota banyak politisi geger, curiga, crigis, tidak terima bahwa Risma berusaha mengambil simpati warga Jakarta, Berusaha merusak reputasi gubernurnya.

 Menjadi pemimpin, pejabat yang tulus dan bekerja keras memang repot. Blusukan salah, diam ditempat salah, ngomong terus salah, tidak bertindak salah. Ya Opo Rek kata orang Jawa Timur. Sebenarnya apa sih yang dilakukan para pejabat, wakil rakyat itu selama Pandemi. Apa ngevlog, tiktokan, Webinar- webinaran atau rapat menggunakan Media internet.

Banyak pejabat, wakil rakyat, politikus  lebih sibuk mengurusi orang lain daripada menunjukkan kinerjanya yang cemerlang. Kebanyakan omdo dan nyerocos tapi pekerjaan nol. Banyak pejabat publik, seperti halnya Anggota DPR, politikus, lebih senang membuka aib orang lain, jarang yang mau introspeksi diri. Apa - apa dikomentari, apa - apa dibuka rahasia dapurnya agar banyak orang gagal dan dirinya sendiri yang sempurna.

Kadang benar juga perkataan kalau bisa dibuat susah mengapa harus digampangkan. Kalau bisa dibuat susah mengapa harus dipermudah. Duh benar khan manusia sekarang jahat - jahat. Semakin pintar, semakin bukannya semakin rendah hati atau semakin baik dalam tingkah laku malah semakin jahat dan tidak membiarkan orang lain bahagia dan senang atau sukses. Rasa iri hati itu yang mendorong manusia berbuat jahat dan menjadi kriminalis.

Kalau Bu Risma mengawali pekerjaan di kementrian dengan blusukan apa salahnya, jangan campuradukkan antara politik dan pekerjaan. Kalau sudah dipolitisir semuanya menjadi runyam, kalau semuanya dikaitkan dengan intrik politik bisa bubar negara. Mengapa sih banyak bangunan tempat ibadah, banyak khotbah yang dipublikasikan baik di tempat ibadah, media masa, televisi, radio, You Tube, Instagram ternyata tidak mengubah perilaku manusia yang cenderung iri dan dengki. 

Coba saja manusia Indonesia kompak untuk lebih banyak bekerja daripada memproduksi berita bohong, memproduksi kata- kata bombastis, bekerja berdasarkan tupoksinya, bekerja keras sesuai bidangnya. Kalau model bekerjanya dengan cara blusukan ya hargai saja, mungkin dengan demikian ia akan tahu bagaimana memetakan pekerjaan setelah tahu permasalahan di lapangan.

Kalau Indonesia tidak ingin maju, tidak  bergerak cepat menyambut teknologi dan hanya menjadi pengguna tanpa pernah menjadi pencipta teknologinya harusnya introspeksi saja, koreksi diri sendiri bahwa ternyata diri sendiri belum becus bekerja, masih dalam tataran pintar menilai orang lain dan senang menyalahkan.

Penulis  sendiri tidak sedang membela Bu Risma, tapi ingin mempertanyakan saja pada mereka yang nyinyir itu apa yang sudah ia sumbangkan buat negara, apakah senang menjadi provokator semacam Donald Trump. Kalau ingin dinilai baik, tunjukkan saja dengan prestasi. Bisa nyinyir saja bangga, kalau bisa menulis dan menghasilkan banyak tulisan mendingan daripada menulis status yang isinya nyinyiran semua, hadeuh.

Presiden dinyinyiri, menteri dinyinyiri, Gubernur dinyinyiri, itu namanya lambe turah. Kalau pengin mengkritik teliti dulu diri sendiri, apakah sudah lebih baik dari yang dijadikan sasaran kritik. Kalau belum, ya proporsional. Bukan berarti pemerintah tidak boleh dikritik, boleh, bahkan harus, tapi jika kritikan itu sudah berlebihan, dan terus memojokkan padahal siapa sih manusia yang sempurna bisa mengatasi semuanya tanpa bantuan orang lain.

Kalau ingin menjadi bangsa bermartabat ya jangan mempermalukan diri sendiri. Mendingan bekerja keras membangun kesuksesan untuk keluarganya dan nantinya jika semua warga berpikiran sama maka pemerintah menjadi ringan karena masyarakatnya lebih serius bekerja. Kesulitan, krisis ekonomi, krisis finansial semua orang pernah merasakannya. Tapi jika setiap pribadi mau bekerja dan terus berusaha keluar dari krisis maka akan banyak masalah bisa dipecahkan. Dan tidak perlu mendengar komentar - komentar di media massa yang cenderung kontraproduktif.

Biarkan Bu Risma atau menteri lain melakukan gebrakan pekerjaan. Dukung saja, kalau berdampak positif dukung, kalau ternyata malah menimbulkan kegaduhan ya ditegur dan diarahkan menjadi lebih baik. Itu saja saya cukupkan artikel bernada nasihat nanti saya dikritik Tante Vaksin yang katanya kompasianer centang biru itu membosankan dan lebih senang menasihati atau sok menggurui.

Jujur menyandang Kompasianer centang biru itu sebetulnya tidak ringan, saya mesti membuktikan bahwa tulisan yang saya hasilkan bukan ecek - ecek tapi hasil kontemplasi, hasil dari banyak membaca, melakukan riset, banyak melakukan pengamatan, bukan pula artikel yang sekedar mencuplik, melakukan copy paste dan mengekor. 

Penulis centang biru harus menjadi diri sendiri, mempunyai karakter sehingga bisa membuktikan bahwa tulisan yang dihasilkan bukan hanya mengobral judul bombastis saja tapi artikelnya setidaknya menginspirasi. Nanti kalau semakin banyak ngomong jatuhnya jadi nyinyir dan gosip. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun