Baru ketika banjir orang - orang egois itu teriak - teriak minta tolong, minta bantuan karena rumahnya kebanjiran. Padahal ketika tidak terkena banjir mana mau kenal tetangga, masa bodo. Sebodo teing kata orang Sunda. Prekkks kata orang Jawa.
Sampai saat ini ketika hujan deras saya masih gelisah. Jadi ingat beberapa tahun lalu, ketika sekitar daerah Cengkareng, Pedongkelan, Daan Mogot Estate, Cengkareng Indah hampir semuanya terendam air.
Sekitar 400 meter dari rumah saya hampir semuanya rata terendam. Kotoran, air menghitam, sampah plastik mengambang. Semuanya bercampur menjadi satu.Â
Yang terendam penuh sampai hampir langit - langit mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Semua aktifitas yang berhubungan dengan pekerjaan kantor di Kota tiba - tiba libur.Â
Percuma juga ketika nekat keluar karena hanya berputar dari tempat itu ke itu saja. Intinya tidak ada jalan keluar, kecuali berani menerobos banjir. Sekitar 2006 -2007 banjir parah melanda Jakarta.Â
Cengkareng terkepung dan bahkan untuk bisa keluar mesti melewati tol. Motor masuk tol, pengungsipun memanfaatkan fly over untuk sekedar menghindari banjir. Tenda - tenda darurat cepat berdiri, stasiun Busway sementara dihuni oleh orang- orang yang rumahnya terendam.
Tentang Banjir Jakarta
Jakarta seperti danau besar, mengerikan karena di mana -- mana air, berangkat ke belakang sekitar taun 2001 2002 saya pernah terpantek di rumah Om saya di sekitar Petogogan, Jakarta Selatan ( di samping SMA Tarakanita Jakarta).Â
Hampir sebulan kawasan Petogogan tergenang banjir hingga sampai langit- langit lantai 1. Selama dua minggu tidak bisa keluar dari rumah. Untuk makan kami menunggu kiriman bantuan yang lewat dengan perahu karet. Kala kepepet untungnya masih ada kompor gas yang bisa dinyalakan.Â
Lilin menjadi teman setia malam hari karena di sekitar rumah mengalami pemadaman total. Air tidak surut- surut dan suasana sunyi sering muncul.Â