Mendung menggelayut di angkasa, gelap pekat menyelimuti langit, sudah dipastikan hujan deras akan turun. Ketika hujan menghunjam bumi manusia sebetulnya merasa bersyukur mendapatkan siraman air. Itu pertanda bahwa tanah mendapat asupan air untuk menyuburkan tanaman. Tanaman menggeliat bersuka ria karena siraman air. Itu dulu, ketika keseimbangan air masih terjaga, ketika ekosistem masih sempurna. Ruang terbuka hijau masih luas dan manusia belum terlalu rakus memanfaatkan petak demi petak tanah.
Sekarang selalu muncul berita tentang banjir, selalu ada rasa khawatir munculnya longsor, bingung meletakkan benda karena sewaktu - waktu banjir datang dan merendam perabotan rumah tangga.Â
Bahkan yang sebelumnya tidak terjangkau banjir saat ini tanpa tanda - tanda bisa muncul banjir bandang. Apa sih penyebabnya.Â
Di kota daerah resapan air jauh berkurang, hampir semua tanah kosong sudah berisi rumah. Semuanya tidak menyisakan tanah, dilapis beton, diberi tancapan kawat menembus pori - pori bumi.
Kerusakan Lingkungan Memicu Datangnya Bencana Banjir
Manusia mana peduli dengan konsep rumah ramah lingkungan. Sudah bisa membuat rumah saja sudah bersyukur. Kalau berpikir rumah ramah lingkungan di kota besar rasanya akan ditertawai tetangga.Â
Bahkan untuk membuat rumah berkonsep ramah lingkungan biayanya jauh lebih mahal daripada ketika membangun rumah biasa yang penting bisa menjadi tempat berteduh.
Nah karena banyak manusia yang berprinsip yang penting bisa membuat seisi rumah terlindungi dari panas terik matahari, hujan deras tidak kena tampias maupun banjir, egosentrispun muncul.Â
Manusia tidak akan melirik tetangga, tidak akan melirik tata kelola rumah dan pemanfaatan tanah. Yang dipikirkan adalah bagaimana rumahnya lebih megah dari tetangganya, tempatnya lebih tinggi dari tetangga rumah atau tetangga kampungnya.
Semuanya menganut Emang Gue Pikirin. Bahkan saking egonya ada kasus di mana banyak rumah di perkotaan tidak mendapat akses masuk dan keluar karena gaya membangunnya semau gue. Tidak peduli menutup jalan tetangganya, atau membuat repot kanan kirinya.
Egoisme Manusia Berbuah Bencana
Baru ketika banjir orang - orang egois itu teriak - teriak minta tolong, minta bantuan karena rumahnya kebanjiran. Padahal ketika tidak terkena banjir mana mau kenal tetangga, masa bodo. Sebodo teing kata orang Sunda. Prekkks kata orang Jawa.
Sampai saat ini ketika hujan deras saya masih gelisah. Jadi ingat beberapa tahun lalu, ketika sekitar daerah Cengkareng, Pedongkelan, Daan Mogot Estate, Cengkareng Indah hampir semuanya terendam air.
Sekitar 400 meter dari rumah saya hampir semuanya rata terendam. Kotoran, air menghitam, sampah plastik mengambang. Semuanya bercampur menjadi satu.Â
Yang terendam penuh sampai hampir langit - langit mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Semua aktifitas yang berhubungan dengan pekerjaan kantor di Kota tiba - tiba libur.Â
Percuma juga ketika nekat keluar karena hanya berputar dari tempat itu ke itu saja. Intinya tidak ada jalan keluar, kecuali berani menerobos banjir. Sekitar 2006 -2007 banjir parah melanda Jakarta.Â
Cengkareng terkepung dan bahkan untuk bisa keluar mesti melewati tol. Motor masuk tol, pengungsipun memanfaatkan fly over untuk sekedar menghindari banjir. Tenda - tenda darurat cepat berdiri, stasiun Busway sementara dihuni oleh orang- orang yang rumahnya terendam.
Tentang Banjir Jakarta
Jakarta seperti danau besar, mengerikan karena di mana -- mana air, berangkat ke belakang sekitar taun 2001 2002 saya pernah terpantek di rumah Om saya di sekitar Petogogan, Jakarta Selatan ( di samping SMA Tarakanita Jakarta).Â
Hampir sebulan kawasan Petogogan tergenang banjir hingga sampai langit- langit lantai 1. Selama dua minggu tidak bisa keluar dari rumah. Untuk makan kami menunggu kiriman bantuan yang lewat dengan perahu karet. Kala kepepet untungnya masih ada kompor gas yang bisa dinyalakan.Â
Lilin menjadi teman setia malam hari karena di sekitar rumah mengalami pemadaman total. Air tidak surut- surut dan suasana sunyi sering muncul.Â
Di antara kami yang ada di kawasan itu hanya bisa ngobrol berjauhan dari atap atau lantai dua, tidak terbayang yang hanya punya rumah tidak bertingkat, pasti sebulanan hidup di tenda darurat atau masjid terdekat, motor yang sempat terselamatkan diungsikan di depan masjid, para pemuda setempat menunggu dengan setia motor yang diparkir di depan masjid.
Bagaimana dengan mandi dan BAB (Buang Air Besar)... Kalau diceritakan lucu, Kalau mandi masih bisa menggunakan air PAM yang kebetulan masih mengalir, namun bila kehabisan air bersih ya puasa mandi berhari - hari.Â
Bau amis air menyeruak menembus penciuman dan itu menjadi sahabat sehari - hari, kadang ada kotoran manusia lewat dengan santainya. Yah satu -- satunya cara BAB ya nangkring di jendela belakang rumah, membiarkan kotoran terbawa arus air. Sedaaap hahaha.
Jadi itulah sekelumit pengalaman menjadi korban banjir, korban dari lebatnya hujan yang mengguyur sementara sudah jarang ada tanah resapan yang ada adalah beton- beton yang menutupi tanah.Â
Airpun mengapung, hingga Jakarta yang seperti cekungan mendapatkan limpahan air dari pegunungan semacam Bogor, Depok, Sukabumi. Yang kebetulan punya rumah di dataran rendah ya pasrah karena banjir sewaktu - waktu datang menghampiri.
Manusia Peduli Alampun Ramah
Alam bisa saja ramah terhadap manusia, tetapi pada suatu ketika alampun teramat murka dengan manusia dengan mengirimkan bencana, mengirimkan duka cita, akibat tertimbun longsor, terbawa arus air, tenggelam dalam banjir bandang dan tersengat awan panas dari erupsi gunung berapi. Permenungannya adalah bahwa kadang kecerdasan, akal manusia yang lebih unggul dari makhluk lain tidak digunakan  semestinya, lebih banyak untuk menipu, membodohi dan merusak.
Bencana Tidak "ujug-ujug, Pasti Ada Sebabnya
Kecerdasan manusia kalah oleh akal bulus, rakus dan ingin menguasai semuanya. Alam yang sudah memberi kekayaan tapi dieksploitasi, dijarah rayah, hingga akhirnya keseimbangan terganggu.
Ekosistem rusak,pohon - pohon di hutan ditebangi, sumber akar bumi dibabat, mata air yang berasal dari akar - akar pohon di dalam tanah dicerabut diganti dengan beton, kawat.Â
Sumber cadangan air di dalam bumi menipis, kerontang tanah semakin menjadi - jadi sedangkan manusia tetap saja tidak sadar.
Alam akhirnya memberi shock terapy, mengirimkan bencana, wabah agar manusia sadar bahwa mereka harus kembali merawat bumi. Abad ini kerusakan lingkungan teramat parah, jadi bukan semata- mata bencana itu karena murni alam yang sedang bergolak tapi karena ada campur tangan manusia yang turut merobek dan merusak bumi.Â
Mutasi virus juga mungkin hasil dari kerakusan manusia mengirimkan gas ke lapisan ozon, berbagai sel, bahan bahan merkuri, sel - sel yang berpotensi menjadi virus mematikan bercampur dan akhirnya terisap manusia.
Begitulah, pasti ada kronologi atas munculnya bencana. Hujan deras yang sebelumnya menjadi penanda kesuburan kini seperti menjadi ancaman, terutama, ketika melewati bumi yang terselimuti beton.Â
Air tidak bisa meresap lagi maka hujan yang mengguyur deras pun mengapung, menggenang dan akhirnya banjir tidak terelakkan.
Saya, anda, kalian, punya andil merawat bumi. Air bisa menjadi monster perusak, tapi juga penyelamat kehidupan.
Ah, hari hari ini saya nikmati saja hujan yang datang, meskipun dagdigdug takut datang banjir daripada stres ya nikmati saja hujan, sambil minum, kopi eh, karena perut lagi asamnya tinggi yah minum apa yang cocok.
Oh, saya punya minuman irut, pelega perut, dicampur gula merah. Eunak Joss. Nanti suatu saat saya ceritakan khasiat apa itu minuman irut. Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI