Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gibran, Buktikan bahwa Kemenanganmu Bukan karena Dinasti Politik

10 Desember 2020   13:49 Diperbarui: 10 Desember 2020   15:45 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran saat Pemilu kemarin (nasional.kompas.com)

Hasil Sementara PILKADA Solo dari perhitungan Charta Politica mengumumkan bahwa kemenangan Gibran Rakabuming Raka -- Teguh Prakosa adalah 87, 23 persen dibanding lawannya yang hanya mengantongi suara sekitar, 12, 77 persen yaitu Bagyo Wahono Fransiscus Xaverius.(informasi dari Kompas.com Kemarin tgl 9 Desember 2020) Tak pelak itu sebuah kemenangan besar dari anak pertama dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Lalu mengapa menjadi ramai karena tidak dipungkiri muncul kluster baru dinasti politik.

Tentang Dinasti Politik yang Menjadi Trend dalam Politik Indonesia

Sebetulnya saya prihatin juga dengan fenomena dinasti politik yang merebak di Indonesia. Kalau bapaknya jadi pemimpin partai maka otomatis ada kans anaknya akan mengikuti jejak orang tuanya, kalau orang tuanya pengusaha, paling tidak anaknya melihat keseharian orang tuanya yang mobat - mabit jadi pengusaha dan akhirnya sukses hingga membuat mata anaknya pun kemecer  (tergiur) ingin menjadi pengusaha juga. Menjadi kaya, calon taipan, konglomerat.

Saya tidak memungkiri bahwa saya pun ikut melestarikan budaya dinasti. Dinasti keluarga saya sejak kakek nenek menjadi seorang guru. Begitu lahir ceprol saya sudah berada di lingkungan guru.

Kakek saya biasa dipanggil Den mantri, karena kakek saya itu kepala sekolah alias guru juga, Bapak saya pun lulusan SGA (Sekolah Guru Atas ) ibu saya lulusan SPG sekolah pendidikan guru setingkat SMA. Dalam darah saya mengalir darah guru berbaris -- baris.Tentunya orang - orang mengira bahwa saya dan adik saya pastinya akan mengikuti jejak sebagai guru.

Sejak kecil saya berusaha menghindar stigma itu namun ujung- ujungnya sekolah saya tetap berhubungan sebagai guru juga. Artinya jalan hidup saya memang guru. Adik saya malah Kepala Sekolah mewarisi gen dari ayah dan kakek yang juga kepala sekolah. Apakah sama dinasti guru dengan dinasti politik. Ya jelas beda, gengsinya jauh. Dan yang dibicarakan saat ini adalah dinasti politik, cara orang melanggengkan kekuasaan, tetap di jalur sebagai orang terkenal.

Siapa Jokowi Saat Reformasi baru Bergulir?

Itu yang dialami oleh keluarga Presiden Joko Widodo. Apakah tahun 1998 ada yang mengenal Joko Widodo? Selama saya aktif menulis repertoar politik di surat pembaca, belum terdengar siapa Joko Widodo. Baru sekitar 2009 - 2010 mendengar sepak terjang walikota Solo yang akan mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta. Itupun masih jauh yang saya dengar dari teman guru yang asli Solo.

Jokowi itu adalah wali kota fenomenal. Gajinya sebagai wali kota tidak diambil, ia cekatan dan sangat tegas memecat mereka yang kerjanya tidak benar. Ia sangat alergi dengan pelanggaran. Makanya suara - suara mulai bermunculan yang mengarahkan Joko Widodo menjadi calon pemimpin masa depan.

Mengapa beredar berita begitu, karena begitu sedikitnya pemimpin yang mampu merebut hati rakyatnya. Semuanya sepertinya tampak tamak dan ingin melanggengkan kekuasaan dengan berbagai cara.

Tahu sendiri yang terkenal mempunyai keluarga yang disebut -- sebut adalah produk dinasti. Rupanya takdir sebagai pemimpin memang harus diemban Jokowi yang akhirnya melesat cepat dari Wali Kota, Menjadi Gubernur dan akhirnya menjadi Presiden sampai sekarang.

Maklum saja diantara banyaknya orang yang kagum, selalu saja ada orang yang sinis, bahkan tetangganya sendiri yang kadang begitu bencinya dengan "keberuntungan sebuah keluarga" yang tampaknya selalu pulung, bisa melompat dari zero ke hero dari yang tidak apa - apa menjadi semacam Raja baru di tengah kemajemukan rakyat.

Menjadi Pemimpin Era Medsos dan Tantangan Berat Menyandang Nama Besar

Jokowi menjadi fenomenal karena disamping banyak yang suka, tidak kurang - kurang yang membencinya sampai ke ubun - ubun. Itu sah - sah saja. Lihat saja di sebuah keluarga besar, ada selalu orang yang regejegan atau istilahnya bermusuhan karena berebut harta warisan,atau sekedar sirik atas kesuksesan saudaranya.

Kalau baik - baik saja mana serunya sebuah negara. Makanya ketika muncul cerita "pating ceblung" tentang Jokowi dan keluarganya sah - sah saja diantara tetangganya pasti ada yang senang dan banyak yang tidak suka.

Gibran saat Pemilu kemarin (nasional.kompas.com)
Gibran saat Pemilu kemarin (nasional.kompas.com)
Apalagi sekarang anak mbarep Jokowi Gibran Rakabuming Raka tampaknya menang secara meyakinkan di Solo. Mereka menang atas Subagyo yang anggaplah hanya sebagai piyik melawan wulung ( Garuda), ya tentu kalah segala - galanya. Gibran didukung hampir seluruh partai politik sedangkan Subagyo hanya mengharapkan dewi keberuntungan yang pasti susah terealisasi.

Nah Gibran harus membuktikan bahwa suara pating ceblung(suara noise atau simpang siur) yang menyindir bahwa dinasti baru telah lahir, Jokowi dan keluarganya ya sami mawon dengan pejabat lain yang gemar memelihara asa untuk meneruskan laju kekuasaannya turun temurun. Sekarang ini godaan duniawi sangat kuat.

Kekuasaan memberikan keleluasaan untuk menimbun harta, dan menyelewengkan kekuasaan. Sangat sedikit pemimpin yang murni berjuang untuk masyarakatnya. Untuk sampai ke taraf menjadi megaloman itu butuh biaya butuh relasi yang berjuang pasti dengan "pamrih" apalagi partai politik. Sedikit banyak akan tersandera oleh yang namanya balas budi. Ada istilah tidak ada makan siang gratis. Pasti dibelakang selalu ada embel -- embelnya.

Buktikan Bahwa Kemenanganmu Bukan Karena Faktor Jokowi

Jadi Gibran dengan kemenanganmu buktikan bahwa tidak selamanya dinasti politik itu jelek. Kalau bisa membuktikan dan tidak terlibat dalam mafia besar korupsi, pasti dirimu akan melenggang, Yang penting buktikan khasak -- khusuk tetanggamu yang pesimis bahwa kemenanganmu itu ya jelas karena diuntungkan dengan Jokowi sebagai presiden. Memang susah sih.

Kalau guru tidak ada yang menggunjingkan bila anaknya menjadi guru, bahkan menjadi aneh bila bapaknya guru kok anaknya memilih sebagai petani atau pemulung tapi banyak duitnya. Menjadi guru itu meskipun uangnya sedikit pahalanya lebih besar, karena mencerdaskan anak orang, meskipun kadang anak sendiri keleleran.

Sekarang ketika sebagai anak presiden Mas Raka akhirnya tergoda untuk terjun dalam dunia politik, sudah siapkah anda dengan semua suara - suara minor di sekitar anda, atau godaan - godaan duniawi yang pasti tidak akan jauh - jauh di hadapan anda. Hanya waktu yang akan membuktikan.

Selamat atas kemenangan sebagai  walkot terpilih.Jangan nggege mongso jalani saja amanah rakyat di tengah situasi pelik pandemi. Kalau menyimpang ingat bahwa sejarah akan mencatat dan bisa jadi akan mencoreng nama besar keluarga Jokowi. Berat khan. Mending menjadi dinasti guru, sepi - sepi saja nih tidak ada gejolak. Hehehe. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun