Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jangan Paksa Aku Menulis!

18 Juni 2020   12:15 Diperbarui: 18 Juni 2020   12:14 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keterpaksaaan itu membuat pekerjaan apapun menjadi tanggung. Tidak pernah mencapai titik prestasi yang bisa dibanggakan. Keterpaksaan membuat pekerjaan apapun hanya sebagai sebuah beban bukan rasa cinta yang tumbuh dari dalam. Jadi seperti robot yang melakukan pekerjaan berdasarkan kontrol dari operatornya. Jadi apalah artinya memaksaku menulis tetapi tulisanku lahir karena tekanan darimu.

Memang aku bisa terbang tinggi merengkuh khayalan dengan cerita -- cerita fiksi yang ditulis oleh para pengarang. Apakah jika terampil menulis terus bisa mengibarkan bendera merah sebagai lambang semangat menyambut hari dengan penuh daya pikat. Ah, banyak para penulis yang hanya pandai berkhayal, pandai menulis namun tidak pandai berkomunikasi, terutama komunikasi menggunakan lisan menggunakan ketrampilan yang bisa memukau para pemirsa mendengar anda berbicara.

Banyak hal yang bisa dilakukan selain menulis, banyak pekerjaan yang tidak membutuhkan ketrampilan menulis toh mereka sukses, mereka mampu mandiri dan menghasilkan uang banyak. Lalu apakah yang bisa dibanggakan seandainya aku pintar menulis, apakah lantas bisa merayu perempuan cantik dan bisa menggaet mereka masuk dalam pesona tulisan kamu?

Ah para penulis terlalu lebay dalam membuat tips  menulis. Apakah dengan semakin banyaknya penulis anda bisa bernafas lega melihat persaingan pekerjaan semakin sengit. Banyaknya penulis akan membuat peluang sukses mengecil. Kenapa harus memberikan resep, memberikan solusi supaya menulis itu terlihat mudah.

Biarlah yang ingin menjadi penulis diseleksi dan dikerucutkan pada mereka saja yang tidak merasa terpaksa menulis, jangan paksa menulis jika tidak suka. Hanya memperberat pekerjaan saja. Menjadi penulis itu adalah panggilan jiwa, bukan karena suapan dan iming- iming provokatif. Jika dengan terpaksa seseorang terjun dalam dunia penulisan akan ada kemungkinan bahwa seorang penulis yang berangkat dari keterpaksaan itu akan mandeg di tengah jalan jika tersinggung.

Jika ada hal yang membuat penulis itu frustasi dan dalam puncak emosi tertingginya, hobi menulis atau profesi menulis hanya dianggap sebagai pekerjaan para pengangguran. Apakah dengan menulis seseorang langsung melejit, hidup dalam menara gading suksesnya pengarang semacam JK Rowling. Yang bisa menjadi milyarder berkat karangannya yang mendunia.

Berharap dan bercita -- cita itu hak setiap orang,  merengkuh mimpi itu hak setiap orang tetapi melakukan pekerjaan yang datang dari keterpaksaan apakah terjamin langgeng, tidak membosankan. Ah, hanya pekerjaan orang- orang gendheng saja yang mau -- maunya memaksa orang yang hidupnya selalu dalam keterpaksaan mencintai sesuatu yang awalnya tidak pernah masuk dalam alam khayalnya.

Passion memang penting, rasa cinta itu penting dan bulsyit dengan keterpaksaan. Kalau ada yang memaksaku terus untuk menulis, aku akan teriak dan mempermalukan kamu yang datang bagai malaikat hanya untuk merusak masa depanku.

Kamu tipulah semua orang berlagak menjadi motivator, menawari semua orang kelas menulis, menawari orang -- orang dengan propaganda yang bikin perut mau muntah.

"Ayo, sisihkan waktumu menulis. Jangan  biarkan dirimu terjebak dalam dunia khayalan tanpa ada penyaluran. Kalau kamu suka berkhayal alangkah lebih baik jika kamu salurkan dengan menulis, siapa tahu kamu masuk jajaran penulis terkenal seperti halnya Pidi Baiq, Tere Liye, Ayu Utami, Fiersa Besari,"

Aku melihat para motivator tampak berbusa -- busa menari narikan lidahnya untuk memaksa orang- orang menyukai apa yang sudah dilakukannya. Ketrampilan menulis."

Kelas online menulis sudah banyak, kelas motivasi belajar sudah bejibun, kelas cerpen, kelas menulis fiksi, paket menulis antologi cerpen....berderet. Apa hasilnya hanya sebuah sertifikat, hanya sebentuk pengakuan, hanya sederetan tugas -- tugas yang memperberat hidup. Lalu kapan bisa nongkrong ngopi di kafe, berjoget merem melek di diskutik, menyaksikan para penari kesetanan dalam bergerak. Jika akhirnya aku tetperangkap dalam dunia tulis menulis, hidup ini hanya mengenal deretan kata, wajah laptop, deretan huruf di keyboard. Membosankan. Sekarang bukan jamannya pemaksaan, sekarang jamannya kebebasan berbicara, bebas memilih menjadi buzzer provokator, penulis komentar yang tidak perlu masuk dalam kelas menulis.

Kalau masuk kelas menulis akan aneh komentar para buzzer tersebut, terlalu sopan dan tidak kontroversial lagi. Bukannya banyak orang lebih suka membagi sesuatu tanpa melihat isinya dahulu, hanya melihat tampak mukanya, melihat judulnya, lantas seperti sudah seperti orang pintar. Wajah WA sudah berlepotan bopeng artikel -- artikel hoax, yang diviralkan tanpa melakukan cek dan ricek.  Jadi apa perlunya memaksa diri menjadi penulis dengan kelas paksaan, sederet tugas berat, yang ditentukan waktu, deadline.

Jangan paksa menjadi penulis dengan modal terpaksa hanya karena suka honornya lantas mengorbankan idealisme. Banyak penulis ketengan, tidak perlu disebutkan nama yang penting uang tebal terkumpul penulis seperti itu matinya tragis pelan -- pelan termakan rayap, lusuh seperti uang yang kelamaan tersimpan di balik kutang emak -- emak.

Datang Pramoedya mendekat, ia memelototiku karena aku sangat benci pemaksaan, apalagi dipaksa mencintai dunia literasi. Hanya melotot saja sudah menakutkan apalagi ketika sedang marah, aku seperti tengah dikuliti dan tegang berdiri tegang dalam tuntutan jaksa yang siap menuntut hukuman seberat- beratnya.

Pramoedya Ananta Toer ternyata hanya lewat lalu duduk. Ia mencari tempat duduk nyaman, membuka mesin ketiknya, Jarinya menari nari, dengan senyuman mengembang, namun kadang raut mukanya berubah ketika menuliskan kata- kata tentang politik. Ia seperti kesal, ketikannya menghentak- hentak dengan kobaran emosi meluap -- luap. Kertas  kosong berlembar- lembar langsung terisi. Secara tidak sengaja ada lembaran kertas terbang mendekat, aku mencuri kesempatan untuk melihat kata kata yang tertulis di  barisan terakhir. Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.(kutipan dari buku bumi manusia)

Tuh khan kubilang juga apa jangan paksa aku mencintai yang tidak pernah aku cintai... Memaksaku mencintai  aktivitas menulis berarti sebuah kekeliruan seperti apa yang ditulis oleh Pramoedya...karena aku lebih suka menjadi pengangguran, preman yang rajin mangkal di pengkolan... tidak perlu mikir bagaimana menyusun kata -- kata.

"Jangan paksa aku, jangan paksa aku..."  Kriiiiiiiinngggg, alarm berbunyi. Jam 4 pagi memanggilku kembali untuk meneruskan satu chapter novel tentang preman dan dunia para penganggur. Wah sudah kepikiran watak ngeyel para penganggur di mimpiku rupanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun