Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jangan Paksa Aku Menulis!

18 Juni 2020   12:15 Diperbarui: 18 Juni 2020   12:14 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelas online menulis sudah banyak, kelas motivasi belajar sudah bejibun, kelas cerpen, kelas menulis fiksi, paket menulis antologi cerpen....berderet. Apa hasilnya hanya sebuah sertifikat, hanya sebentuk pengakuan, hanya sederetan tugas -- tugas yang memperberat hidup. Lalu kapan bisa nongkrong ngopi di kafe, berjoget merem melek di diskutik, menyaksikan para penari kesetanan dalam bergerak. Jika akhirnya aku tetperangkap dalam dunia tulis menulis, hidup ini hanya mengenal deretan kata, wajah laptop, deretan huruf di keyboard. Membosankan. Sekarang bukan jamannya pemaksaan, sekarang jamannya kebebasan berbicara, bebas memilih menjadi buzzer provokator, penulis komentar yang tidak perlu masuk dalam kelas menulis.

Kalau masuk kelas menulis akan aneh komentar para buzzer tersebut, terlalu sopan dan tidak kontroversial lagi. Bukannya banyak orang lebih suka membagi sesuatu tanpa melihat isinya dahulu, hanya melihat tampak mukanya, melihat judulnya, lantas seperti sudah seperti orang pintar. Wajah WA sudah berlepotan bopeng artikel -- artikel hoax, yang diviralkan tanpa melakukan cek dan ricek.  Jadi apa perlunya memaksa diri menjadi penulis dengan kelas paksaan, sederet tugas berat, yang ditentukan waktu, deadline.

Jangan paksa menjadi penulis dengan modal terpaksa hanya karena suka honornya lantas mengorbankan idealisme. Banyak penulis ketengan, tidak perlu disebutkan nama yang penting uang tebal terkumpul penulis seperti itu matinya tragis pelan -- pelan termakan rayap, lusuh seperti uang yang kelamaan tersimpan di balik kutang emak -- emak.

Datang Pramoedya mendekat, ia memelototiku karena aku sangat benci pemaksaan, apalagi dipaksa mencintai dunia literasi. Hanya melotot saja sudah menakutkan apalagi ketika sedang marah, aku seperti tengah dikuliti dan tegang berdiri tegang dalam tuntutan jaksa yang siap menuntut hukuman seberat- beratnya.

Pramoedya Ananta Toer ternyata hanya lewat lalu duduk. Ia mencari tempat duduk nyaman, membuka mesin ketiknya, Jarinya menari nari, dengan senyuman mengembang, namun kadang raut mukanya berubah ketika menuliskan kata- kata tentang politik. Ia seperti kesal, ketikannya menghentak- hentak dengan kobaran emosi meluap -- luap. Kertas  kosong berlembar- lembar langsung terisi. Secara tidak sengaja ada lembaran kertas terbang mendekat, aku mencuri kesempatan untuk melihat kata kata yang tertulis di  barisan terakhir. Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.(kutipan dari buku bumi manusia)

Tuh khan kubilang juga apa jangan paksa aku mencintai yang tidak pernah aku cintai... Memaksaku mencintai  aktivitas menulis berarti sebuah kekeliruan seperti apa yang ditulis oleh Pramoedya...karena aku lebih suka menjadi pengangguran, preman yang rajin mangkal di pengkolan... tidak perlu mikir bagaimana menyusun kata -- kata.

"Jangan paksa aku, jangan paksa aku..."  Kriiiiiiiinngggg, alarm berbunyi. Jam 4 pagi memanggilku kembali untuk meneruskan satu chapter novel tentang preman dan dunia para penganggur. Wah sudah kepikiran watak ngeyel para penganggur di mimpiku rupanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun