Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Karena Anies Memang Harus Beda dengan Jokowi

8 Juni 2020   16:28 Diperbarui: 8 Juni 2020   16:50 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa sih kok masalah perbedaan begitu ditonjolkan di era media sosial saat ini. Kenapa sih selalu saja perbedaan yang harus dikemukakan saat membahas persoalan antara Anies Baswedan dan Joko Widodo. Saling sikut, saling bertengkar mencolok antara pendukung.

Lagi -- lagi ada wakil kata yang dipinjam untuk menajamkan perbedaan antara pendukung dua tokoh itu. Kadrun, Kampret, otak sekolam, cebong, kaum 58+, 62 + kaum nyinyir, para buzzernya terus berkelahi.

Bermula dari reshuffle kabinet di mana Anies Baswedan tidak lagi menjabat sebagai mendikbud. Perseteruan menajam ketika akhirnya Anies Baswedan mencalonkan diri sebagai calon gubernur Jakarta diusung oleh Gerindra PKS, PAN. 

Serangan demi serangan isu, fitnah dan kampanye hitam mewarnai pemilihan gubernur Jakarta. Ahok yang sebelumnya menjadi gubernur menggantikan Jokowi yang maju sebagai presiden pada akhirnya kalah dengan beberapa kasus seperti pasal penghinaan, demonstrasi besar- besaran oleh para pendukung yang dari awal tidak menyukai gaya Ahok dalam memimpin Jakarta. Cerita tentang pemilihan Gubernur seperti menjadi api dari perseteruan antara kubu Ahok, Jokowi dan Anies Baswedan.

 Media yang Berpihak Memperkeruh Situasi Politik

Sejak itu seperti sudah terkotak - kotak antara pendukung Jokowi Ahok dan Anies Baswedan dan sekutunya. Semuanya merasa benar. Saling sindir, saling membuka aib, saling mengklaim kebenaran terus terjadi.

Tidak lelah - lelahnya para buzzer terus memainkan bola panas agar suasana politik terus memanas. Media - media berita di internet sepertinya ikut bicara, bukan memainkan gaya jurnalistik independen yang tidak memihak salah satu partai. 

Media di internetpun seakan menjadi corong untuk menajamkan betapa konflik politik itu menjadi habit baru di mana uang dan kekuasaan serta era post truth lebih menonjol. Media seperti memihak, seperti ingin ikut arus, apalagi ditambah lagi dengan panasnya isu yang berhubungan dengan ras dan agama.

Banyak orang tengah mabuk agama, mabuk oleh sikap - sikap rasialis yang tidak juga berhenti menajamkan perselisihan. Bahkan rasanya birokrasi pun ada pemihakan, ada pembelahan. Antara kecebong dan kampret, antara kadrun dan kaum pembela Jokowi.

Apa sih untungnya. Yang untung pasti medianya, karena semakin seru diskusi, komentar dan viewer di medianya otomatis menambah perolehan iklan dan market share. 

Di aplikasi semakin media mendapat momentum "keributan" yang berimbas perang komentar akan menaikkan rating media tersebut, otomatis akan menambah kesempatan untuk mendapatkan iklan dan pemasukan dari polemik tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun