Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Penulis Mendengar Suara Hati Nurani Berbisik

28 Mei 2020   16:15 Diperbarui: 28 Mei 2020   16:07 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
awan Gemawan, di depan rumah (Foto By. Joko Dwi)

Aku mendengar kau tengah berbisik tentang kebenaran, apakah itu kebenaran? Kebenaran dari sisi mana?Apakah dari bacaan bacaanmu, dari berita -- berita yang kau serap tiap hari?  

Terkadang suara hati itu seperti suara seorang politisi yang tampak tegas membela namun sebenarnya ada maksud dibalik kengototannya membela seseorang ataupun tokoh.

Di era sekarang ini di mana kebenaran kadang kabur dimanakah kau letakkan nuranimu. Di kepala di hati atau di lututmu. Kau menulis untuk apa, Menerima pesanan dari seseorang untuk merangkai kata dan diletakkan di tempat strategis di portal berita untuk mengecoh kebenaran sejati. 

Bahasamu penuh emosi, seperti menutup apapun kebenaran dari para musuhmu. Kau hanya mendengar kebenaran dari satu sisi dan menutup telinga satunya untuk sengaja tidak melakukan upaya apapun untuk memberi kesempatan musuhmu bicara dengan nuraninya.

Kau sengaja menutup kebenaran yang lain karena bagaimanapun tetap ada keberpihakan dari setiap penulis. Sudah berkali kali kau hanya percaya berita sayup- sayup sementara berita kebenaran sebenarnya kau tutupi. Kau sering mengelak bahwa nuranimu sering kritis dan sengit menyerang idealismemu yang kaku. Lihat saja dunia bukan hanya sisi kiri, kau perlu sisi kanan sebagai penyeimbang dan perlu juga melihat ke atas dan ke bawah.

Egoismenya penulis hanya menulis dari suara kebenaran diri sendiri, tidak berusaha belajar untuk memberi keseimbangan nilai -- nilai dari berita yang membanjir lewat telinga dan matamu. Camkan bisikan nuranimu penulis. Barangkali ketika kau lelah dan benci ada satu baris kebenaran yang lupa kau hadirkan, sehingga kebenaran yang panjangnya berkilo -- kilo tertutupi oleh mata bathinmu yang hanya percaya pada satu dimensi.

Kau berjalan, melangkah, mendengar dari kegaduhan manusia, mencoba menggiring persepsi berdasarkan komunitas, idola baru dalam dimensi politik bahkan agama. Kau tidak mau mendengarkan secara seksama makna di balik kata- kata yang tampil.

Dalam dimensi agama kepercayaan, kebenaran tentu sudah teruji, Hati nurani perlu dijelaskan agar tidak terjerembab dalam kepalsuan dan fanatisme sempit. Kau perlu mengenal satu -- satu orkestrasi dari suara -- suara kebenaran yang tidak hanya datang dari satu instrument musik kehidupan. 

Perlu melihat instrument lain dengan bunyi yang berbeda. Itu lebih memperkaya nurani daripada hanya mendengar satu suara lantang namun dalam perjalanan waktu ada bada, ada angin yang tiba -- tiba meleburkan suara dan akhirnya hanya suara desisan tidak jelas namun kau tuliskan dan sampaikan kepada pembacamu.

Penulis perlu mendengar suara hati berbisik. Bukan dari emosi tinggi tetapi dari kesadaran bahwa kau perlu mendapatkan berita berimbang hingga bisa membuat manusia tercerahkan bukan malah cemberut menahan cemburu dan nestapa.

Mendengarkan hati berbisik itu bukan dengan kemarahan, namun dengan kesabaran. Bukan dengan rasa kesal namun dengan tenang mendengar dengan penuh konsentrasi. 

Kadang- kadang seringkali seorang penulis apalagi yang biasa dipesan hanyalah menulis berdasarkan alur dan referensi yang sudah ditentukan pemesannya. Sesekali penulis perlu mendengar dirinya sendiri, mendengarkan dengingan kuping dan barangkali ada sandi morse yang membisiki dengan bahasa isyarat.

Perlu kehati -- hatian sebelum menulis agar tidak muncul masalah yang menyebabkan goresan tulisan dapat memicu dendam dan air mata. Sekarang di media sosial, platform blog bersebaran artikel opini yang kadang tendensius, penuh pemihakan, penuh misi politik. Sebagai penulis aku tidak bisa mengelak oleh kata- kata yang meluncur berdasarkan bisikan hati nurani. Kadang seperti sembilu, kadang susah menerima.

Penulis seperti terbata -- bata menerima kenyataan bahwa tulisannya adalah antagonis dari sebuah rezim yang melekat yang membuat nurani kadang terabaikan karena pintarnya pemimpin memainkan emosi masa. 

Penulis sebaiknya perlu netral agar tidak terjebak dalam keberpihakan yang kadang membuat polemik memanjang, menyebabkan penulis hanya bisa berteriak lewat katanya dengan nurani yang timbul oleh kenyataan bahwa ada keberpihakan nurani yang sudah mulai dari awal membuat apapun selalu menganggap salah yang lain.

Nurani ternyata bisa bermain politik, itu terjadi karena hasrat politik lebih besar dari berita -- berita kebenaran yang lama tertutup oleh berita tidak berimbang. Yang menyerbu pengetahuan manusia sekarang ini adalah Post truth, berita -- berita bombastis yang datang dari portal yang mengaku layak dan terpercaya.

Saat Penulis mendengar hatinya berbisik, diam sejenak dan adu saja dengan berita- berita yang terbaca dari mata dan logikanya. Semua berita diolah dan dengan mata bathin yang jernih menulislah dengan duduk di tengah -- tengah masalah bukan membebani satu sisi masalah.

Ah ternyata ada bisikan lembut nasihat masuk dalam pikiranku. Maafkan jika tulisan ini terlalu mengguruimu, terlalu polos, sok pintar menasihati padahal dirinya sendiri masih banyak salah dan sering luput dari kenyataan bahwa nurani sering salah diterjemahkan.

Ketika hati berbisik dan kebetulan tertulis lewat jemari, saya yang kebetulan adalah seseorang yang senang menulis, apalah layak disebut penulis atau tidak sedang berusaha mendengarkan hati berbisik dengan penuh seksama. Sebab karena emosi dan keberpihakan kebenaran sebenarnya malah tidak tertulis.

"Maaf, kau lupa memberi  tahu istrimu bahwa kau tengah menulis?"

"Lupa, kadang aku asyik sendiri bergulung dengan dunia sendiri hingga lupa untuk mencium istri dan anak dan pamit menulis."

"Maka itu setelah menapaklah kau ke bumi, tidak hanya terombang -- ambing di awan khayalan"

Bisikkan pada awan yang tengah merayakan cerahnya hari untuk berbisik penuh cinta, hingga bisikanmu mengarahkan para penulis untuk bicara jujur seperti hati nurani. Meskipun untuk saat ini bagiku sungguh amat berat karena beban dosa sebagai manusia lebih asyik mengaduk aduk fitnah daripada menggenggam kebenaran hakiki.

"Jadi apakah kau sanggup bertahan dalam kebenaran, sementara kau masih merasa lapar dan kekurangan."

"Entahlah, aku hanya ingin berjalan mengikuti bisikan hatiku, meskipun kadang sangsi bahwa bisikan itu kebenaran mutlak atau hanya perasaanku saja, yang beda dengan orang lain."

"jadi mana yang layak kau dengar?"

"Yang layak kudengar yang membawa perjalanan menuju terang. Bukan yang menuju gelap!"

"Yang mana?"

"Entah. Biarlah waktu yang menjawab."

"Sekarang kau pilih mana yang berbisik benar, nuranimu atau referensimu?

Aku memilih di tengah tengah. Karena aku perlu idealisme dan juga kenyataan. Aku perlu berkembang sebagai manusia tetapi setidaknya aku juga mendengar bisikan nuraniku yang melabuhkan kebenaran meskipun jika dituruti terasa pahit. Aku masih manusia. Sebagai penulis aku masih mencari jalan untuk menggenggam kebenaran yang sering luput kupegang saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun