Kadang- kadang seringkali seorang penulis apalagi yang biasa dipesan hanyalah menulis berdasarkan alur dan referensi yang sudah ditentukan pemesannya. Sesekali penulis perlu mendengar dirinya sendiri, mendengarkan dengingan kuping dan barangkali ada sandi morse yang membisiki dengan bahasa isyarat.
Perlu kehati -- hatian sebelum menulis agar tidak muncul masalah yang menyebabkan goresan tulisan dapat memicu dendam dan air mata. Sekarang di media sosial, platform blog bersebaran artikel opini yang kadang tendensius, penuh pemihakan, penuh misi politik. Sebagai penulis aku tidak bisa mengelak oleh kata- kata yang meluncur berdasarkan bisikan hati nurani. Kadang seperti sembilu, kadang susah menerima.
Penulis seperti terbata -- bata menerima kenyataan bahwa tulisannya adalah antagonis dari sebuah rezim yang melekat yang membuat nurani kadang terabaikan karena pintarnya pemimpin memainkan emosi masa.Â
Penulis sebaiknya perlu netral agar tidak terjebak dalam keberpihakan yang kadang membuat polemik memanjang, menyebabkan penulis hanya bisa berteriak lewat katanya dengan nurani yang timbul oleh kenyataan bahwa ada keberpihakan nurani yang sudah mulai dari awal membuat apapun selalu menganggap salah yang lain.
Nurani ternyata bisa bermain politik, itu terjadi karena hasrat politik lebih besar dari berita -- berita kebenaran yang lama tertutup oleh berita tidak berimbang. Yang menyerbu pengetahuan manusia sekarang ini adalah Post truth, berita -- berita bombastis yang datang dari portal yang mengaku layak dan terpercaya.
Saat Penulis mendengar hatinya berbisik, diam sejenak dan adu saja dengan berita- berita yang terbaca dari mata dan logikanya. Semua berita diolah dan dengan mata bathin yang jernih menulislah dengan duduk di tengah -- tengah masalah bukan membebani satu sisi masalah.
Ah ternyata ada bisikan lembut nasihat masuk dalam pikiranku. Maafkan jika tulisan ini terlalu mengguruimu, terlalu polos, sok pintar menasihati padahal dirinya sendiri masih banyak salah dan sering luput dari kenyataan bahwa nurani sering salah diterjemahkan.
Ketika hati berbisik dan kebetulan tertulis lewat jemari, saya yang kebetulan adalah seseorang yang senang menulis, apalah layak disebut penulis atau tidak sedang berusaha mendengarkan hati berbisik dengan penuh seksama. Sebab karena emosi dan keberpihakan kebenaran sebenarnya malah tidak tertulis.
"Maaf, kau lupa memberi  tahu istrimu bahwa kau tengah menulis?"
"Lupa, kadang aku asyik sendiri bergulung dengan dunia sendiri hingga lupa untuk mencium istri dan anak dan pamit menulis."
"Maka itu setelah menapaklah kau ke bumi, tidak hanya terombang -- ambing di awan khayalan"
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!