Tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah terhadap kualitas kesehatan itulah yang menyulitkan penentu kebijakan dalam hal ini pemerintah. Rasanya pemerintah selalu disudutkan untuk memilih pilihan -- pilihan buruk yang sama  sama mempunyai resiko terhadap rakyat. Nah Politisi yang dari awal tidak suka pemerintah seolah mendapat momentum tepat untuk memperlemah pemerintah. Rasanay tidak elok sebetulnya.Â
Mungkin hanya di Indonesia para politisi masih sempat menyerang sementara semua orang konsentrasi untuk memerangi Korona. Saya pikir kuping politisi sudah tebal, mereka tidak peduli. Yang dipedulikan adalah bagaimana menarik simpati rakyat.Â
Covid -- 19 itu bisa jadi adalah senjata untuk menyerang karena pasti pemerintah tidak bisa menggerakkan roda ekonominya, tidak bisa menghidupkan sektor pariwisata, kesulitan untuk membantu buruh, para karyawan yang kena PHK, Ojol yang tidak bisa bekerja karena ada kebijakan ojol dilarang membawa penumpang. Hampir semua sektor kena imbasnya.
Masalah Jokowi bertumpuk- tumpuk dan beliau dituntut tegas memutus mata rantai penyebaran Korona. Ia seperti menghadapi semalakama. Ia harus membuat keputusan terbaik dari semua masalah terburuk. Apakah ia mampu bertahan. Apakah mental Jokowi cukup tangguh menghadapi serangan masih masalah yang ada di sekitarnya. Belum lagi teman- teman Jokowi yang terkesan lepas tangan, tidak membantu menangani malah kethus, dengan menyindir bahwa keputusan pemerintah terlambat,
Serangan- serangan itu akan mendewasakan Jokowi bila mampu melewatinya, tetapi jika akhirnya Jokowi tumbang dan tidak kuat menghadapi serangan itu maka masa kesuraman politik akan datang.Â
Para politisi tentu akan berebut kekuasaan, tidak peduli apakah masyarakat akhirnya sangat antipati dengan politisi, atau saking bingungnya masyarakat masyarakat hanya melihat cerita- cerita dari media sosial, memiluh berdasarkan kedekatan ideologis, kedekatan ras, suku atau akhirnya kembali merindukan sosok diktaktor yang mampu dengan tegas menggebuk musuh- musuh politiknya. Jokowi juga dituntut konsisten dalam menjaga kejujurannya dan saudara, famili yang ingin memanfaatkan situasi dengan cara aji mumpung saat Jokowi masih berkuasa.
Hidup di alam demokrasi itu berat mas Bro. Kalau saya jadi Jokowi saya sudah gemetar duluan. Saya hanya bisa membantu doa dan berusaha mengikuti anjurannya dengan bekerja di rumah, beribadat di rumah, Menjaga kesehatan diri sendiri, kalau keluar memakai masker, kalau terpaksa keluar rumah maka  prosedur kesehatan diperhatikan. Itu saja, karena kalau membantu dalam finansial saya juga termasuk yang terdampak PSBB. Saya mesti bijak mempergunakan uang dari tempat saya bekerja yang beruntung masih mampu membayar gaji saya.
Saya bukan kecebong,ataupun Kampret, tetapi sebagai masyarakat saya punya opini, mempunyai pemikiran. Alangkah lebih baik politisi melupakan dulu ambisi politiknya. Putuskan dulu rantai penyebaran virus. Setelah selesai melewati ujian, silahkan ngegas, Politik berhak mengkritik, berhak mencari titik lemah penguasa.Â
Tetapi mohon mbok yao sadar yang utama sekarang diatasi dulu. Minimal seperti Didi Kempot yang dengan semangat menghibur, dan akhirnya mampu mengumpulkan dana untuk membantu masyarakat. Ini bencana nasional, juga bencana dunia. Pengertian itu yang utama.
Barangkali Jokowi juga harus mendengar masukan masyarakat untuk mengevaluasi kinerja para pembantunya. Yang utama yang datang dari partai politik yang gaungnya untuk bekerja sangat kurang. Jika harus diresuffle tidak perlu takut oleh kegusaran partai politik. Mereka harus introspeksi, apakah mereka cukup piawai sebagai birokrat. Antara keahlian berbicara di gedung DPR dan situasi pelik di pemerintah itu tidak sama. Bukan hanya pandai berbicara, tetapi eksekusi juga penting. Salam sehat. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H