Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jakarta, Jokowi, Anies Baswedan dalam Pusaran Corona

3 April 2020   12:33 Diperbarui: 3 April 2020   12:56 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kaltim.tribunnews.com

Semakin hari jumlah pasien Virus Corona terus bertambah. Di Jakarta sendiri sudah sekitar 897(menurut data dari Kompas.com) Korban meninggal sudah 90.Tetapi berdasarkan Press release Anies Media Anies memberi data 283 meninggal dengan prosedur standar penanganan coronavirus. Padahal data nasional kematian akibat Corona  170 orang. Perbedaan itu memunculkan polemik karena tidak ada kesamaan data antara pusat dan daerah.

Pusat-pusat perbelanjaan, kantor-kantor sepi, pedagang-pedagang dengan pusat perkantoran mulai mudik ke Kampung halaman dan pergerakan ekonomi akibat Corona melambat. Jakarta tengah mengalami kepanikan saat melihat aktivitas sehari-hari di pusat perkantoran dan perdagangan.

Dengan meningkatnya kasus Corona banyak yang dipikirkan oleh Pemprov DKI ada wacana Isolasi ketat terhadap Jakarta dan menghimbau warganya untuk tidak beraktivitas di luar rumah. Anies Baswedan bahkan tampak bergetar ketika membacakan jumlah korban Corona di Jakarta. Jakarta adalah kota terdampak Corona paling banyak korbannya. Berbagai upaya sudah dilakukan, dari penyemprotan disinfektan di jalan- jalan utama Jakarta sampai mengubah Wisma Atlet menjadi rumah sakit bagi para pasien yang terpapar virus Corona.

Jakarta tampak genting dan mulai memperngaruhi sisi psikologis warganya. Masyarakat mulai gelisah, sebab semakin lama di rumah tidak beraktivitas maka pendapatan semakin menipis. Kebutuhan untuk makan dan beraktifitas di rumah membutuhkan banyak uang, sedangkan harga-harga sembako di pasaran semakin naik tidak terkendali. APD (Alat Pelindung Diri) menghadapi covid-19 semakin langka. Jika bisa ditemukan harganya mencekik leher. 

Banyak pedagang, penimbun, pengepul mulai jahat memainkan harga dan ingin meraih keuntungan besar di tengah penderitaan masyarakat menghadapi wabah ini. Sebagai kota besar harusnya Jakarta bertindak cepat membagikan masker, yang terjadi masyarakat malah kebingungan dengan harga masker yang gila-gilaan.

Rasa kemanusiaan para pedagang dan para pelaku penimbunan menipis. Mereka seperti ingin mengatakan biar saja mereka menderita yang penting saya untung besar. Persoalan lingkaran setan harga-harga masker ini tentu muncul dari pedagang besar. Mereka yang mempunyai modal luar biasa melepas masker di tataran pedagang dibawahnya dengan harga sudah di markup dan sampai pedagang kecil maka harganya menjadi melonjak tajam.

Indonesia memang luar biasa dalam solidaritas. Nilai-nilai kegotongroyongan yang dulu terkenal mulai luntur oleh sikap serakah dan individual. Nilai-nilai Pancasila benar-benar hanya tipis tertanam dalam jiwa raga masyarakatnya. Masyarakat mulai egois dan memikirkan diri sendiri.

Di Perkampungan Jakarta seperti tempat tinggal saya di Pedongkelan suasana tetap biasa. Hanya satu dua orang yang memakai masker, lainnya tetap beraktifitas biasa, semakin banyak orang yang duduk-duduk nongkrong di depan rumah, semakin terlihat kerumunan orang karena banyak dari mereka yang diliburkan. 

Bagaimana melakukan darurat Corona jika disiplin masyarakatnya masih amburadul. Bukannya takut akan semakin merebak wabah akibat masyarakat yang cenderung cuek terhadap persebaran Cororna. Semakin lama wabah bertahan pasti akan semakin terdampak pada perekonomian terutama Jakarta sebagai pusat persebaran uang. Lihat aktifitas pedagang di Tanah Abang, Mangga Dua, Glodok, Asemka. Jika pusat perdagangan itu akhirnya tidak ada aktifitas berapa kerugian Jakarta dan juga Indonesia.

Jokowi sudah jauh -- jauh hari menghimbau masyarakatnya mematuhi anjuran pemerintah untuk sementara mengisolasi diri, beribadah di rumah, melakukan pekerjaan dari rumah. Tapi di sementara perkampungan padat penduduk sosialisasi isolasi diri itu rupanya hanya angin lalu. Jakarta Harusnya adalah tempat orang- orang yang berpengetahuan luas. Hampir tiap kepala punya HP punya kesempatan untuk update berita dan memberitahukan kepada keluarganya tentang bahayanya berkeliaran di jalan saat wabah Corona mengancam di mana- mana.

Kepada aparat Jakarta turun ke lapangan, coba masuk ke perkampungan padat penduduk, lakukan sosialisi, memberi pengertian kepada mereka untuk mulai menerapkan Social Distancing, Phisical Distancing. Bukannya ketakutan dan cemas, tetapi Jakarta adalah embrio dari persebaran Corona ke segala arah. Mereka yang pulang kampung barangkali membawa virus ke daerahnya, mereka yang santai tetap beraktifitas normal di tempat umum barangkali tidak sadar tertempel virus. 

Di Negara- negara lain pemerintah serius benar- benar membatasi warganya keluar rumah, di Jakarta terutama di RW dan RT pencegahan hanya atas inisiatif warga, mereka iuran untuk membeli cairan disinfektan, meracik sendiri dan menyemprot dalam keterbatasan dana. Atau barangkali sebetulnya tiap RW sudah di beri anggaran dari pemerintah daerahnya tetapi mereka tetap memungut dana dari masyarakat. Entahlah. Semoga dugaan penulis salah.

Pemprov silahkan cek langsung. Bukan di perumahan elite, bukan di pusat-pusat perkantoran tetapi lihat di perkampungan padat penduduk yang pengetahuan tentang dampak Corona masih minim yang terus selalu bergesekan dan susah menerapkan social distancing. Anak-anak malah mempunyai aktifitas baru dengan main layang-layang berkerumun lagi. Para Orang tua membiarkan anak- anak bermain padahal seharusnya mereka tetap belajar di rumah bukan libur.

Inilah persoalan urban, persoalan kota yang penuh dengan pendatang, Di sisi kaum urban yang masih berjuang memperoleh penghasilan harian dampak Corona sangat berpengaruh terhadap perekonomian mereka, kalaupun disubsidi dan dibantu tetapi sampai kapan? Yang penting harusnya mematuhi peraturan untuk memutus persebaran virus. Semakin disiplin maka wabah semakin cepat berlalu.

Kepada Anies Baswedan, jangan hanya pidato di mimbar, lihat dan cek di lapangan, terutama di sini di kampung-kampung padat yang kebanyakan penduduknya menggantungkan diri dari pekerjaan riil yang dilakukan tiap hari. Dari penjual bakso, penjual mie ayam, sayur mayor, satpam, karyawan kantor yang diliburkan, pegawai swasta, buruh pabrik yang tidak takut wabah tetapi lebih takut jika tidak punya penghasilan. Semakin lama wabah melanda, semakin stres dan banyak dari mereka yang kejiwaannya terganggu akibat wabah ini.

Jokowi memikirkan dampak perekonomian skala global. Pemberlakuan Lockdown misalnya benar-benar menjadi perhatian utama. Jokowi melihat banyak sisi jika melakukan Isolasi ketat. Dampaknya pasti pada gejolak sosial, lumpuhnya perekonomian dan krisis berkepanjangan karena Indonesia termasuk yang terbesar dalam jumlah penduduk. 

Jika dilakukan lockdown tetapi tidak memberi insentif atas resiko penghentian total aktifitas makan gejolak sosial besar akan muncul. Kerusuhan, demonstrasi, penjarahan bisa terjadi seperti halnya peristiwa tahun 1998. 

Atas pengalaman itu Jokowi merasa harus memikirkan semuanya. Jadi banyak pengamat melihat dari satu sisi sehingga merasa bisa menilai bahwa Jokowi sangat lamban dalam menangani persebaran Corona. Mereka banyak membandingkan dengan negara lain. Nyatanya di negara maju seperti Perancis saja lonjakan pasien Corona tidak terkendali.

Indonesia dengan ribuan pulau- pulau tersebar dengan persoalan tingkat pengetahuan masyarakat yang kurang, kedisiplinan mematuhi peraturan pemerintah yang masih minim, jiwa "ngeyel"nya yang luar biasa hebatnya pasti susah membuat mereka kompak menghadapi bencana ini tanpa gejolak. Pasti akan ada gejolak, perlawanan, gerakan masa.

Jadi Jika ingin sukses maka Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bersama- sama bergotong royong untuk menanggulangi wabah. Tidak bertindak- sendiri- sendiri, tidak panik sendiri. Benar anjuran dari pimpinan di China bahwa untuk menanggulangi wabah pemerintah pusat, daerah, masyarakat sipil, politisi, aparat harus satu suara. 

Lupakan dulu kampanye pemilihan wakil rakyat atau Presiden. Semua bersatu tanggulangi wabah. Jangan ada yang ingin memanfaatkan gawat darurat untuk kepentingan politik. Kalau semua kompak dan bersama - sama berdoa untuk berlalunya wabah maka dampaknya tidak akan berkepanjangan.

Jakarta sebagai ibu kota Negara mau tidak mau terus di sorot. Sebagai ibu kota pemerintahan sinergi dengan pemerintah pusat sangat diperlukan maka Jokowi dan Anies tidak boleh menonjolkan ego masing-masing. Presiden dan gubernur harus satu paket untuk penanggulangan wabah. Jika semua bisa dilakukan maka badai akan cepat berlalu. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun