Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Goro-goro" itu Bernama Corona

17 Maret 2020   07:00 Diperbarui: 17 Maret 2020   11:45 2156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda yang biasa tinggal di daerah Jawa dan sering menonton wayang pasti kenal dengan salah satu adegan seru saat wayang mencapai puncaknya. Dalang biasa memberikan penekanan betapa kalutnya,betapa ruwetnya dan tintrimnya saat goro goro tiba. Bumi gonjang -- ganjing langit kelap -- kelap. Srengenge soyo angslup, langit pating jletar bledege...'Akeh udan salah mongso, guntur gludhug bledheg sesamberan, peteng ndhedhet lelimengan. Gunung jugrug sinartan lindhu, padhas gempal, tebing longsor, lesus pindha pinusus. Jawah deres angin garudha ugi banjir bandhang'. 

Bumi bergetar, langit mendung, gelap, matahari semakin tenggelam, langit petirnya terus menerus menggelegar...'Banyak hujan yang salah musim (waktunya panas tetap hujan), guntur dan guruh sambar menyambar, mengakibatkan gelap gulita tanpa cahaya (gelap mata). Gunung meletus yang disertai dengan gempa bumi, tanah-tanah keras pada rontok, tebing banyak yang longsor dan puting beliung beriringan. Hujan deras disertai dengan badai taufan serta banjir bandang di mana-mana'. Sumber: malang voice.com. di artikel Titi Mongso Goro Goro)bencana selalu menimbulkan suasana tintrim atau panik.

Goro Goro dan Kepanikan Melanda akibat Corona

Begitulah yang terjadi sekarang ini. Ancaman Corona telah memberikan efek psikologis luar biasa yang membuat masyarakat terjebak dalam suasana tidak nyaman. Ada ketakutan, ada kegelisahan, kegalauan akan tertular. Sebab virus itu ada di udara yang kita hirup, ada di sekitar yang kita tidak tahu bentuknya.Virus menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyerang psikologi kita dan membuat banyak orang saling lempar pendapat. Menyalahkan pemerintah, menyalahkan sistem, menyalahkan keadaan darurat yang membuat manusia tidak bisa bekerja secara normal.

Dalam keadaan darurat dan bencana itulah sang ksatria sejati seperti Arjuna dan ksatria lain melakukan meditasi, topo broto, madhem manah, diam untuk merenung dan meresapkan masalah. Semuanya harus dihadapi dengan tenang. Pagebluk, atau bencana itu sebagai peringatan agar manusia tidak bertindak dursilo atau jahat, atau diluar batas kemanusiaan. Selalu ada waktu di mana  manusia mendapat peringatan baik dari Tuhan maupun dari alam.

Selalu ada pembelajaran hingga akhirnya menemukan solusi untuk memberantas sesuatu yang negatif. Dalam pewayangan biasanya adegan  setelah goro- goro kebanyakan adalah bagamana ksatria dan orang- orang yang dulunya mengalami tekanan, diposisikan selalu sebagai korban akhirnya bisa mengambil kendali. 

Menang terhadap kejahatan, menang terhadap godaan setan, berupa rasekso, atau raksasa jahat, dalam imajinasi penulis rasekso itu adalah hati yang jahat yang selalu merencanakan kejahatan hingga akhirnya mendapat teguran alam atau akhirnya bisa ditumpas oleh ksatria sakti mandraguna yang sudah melakukan tapa brata, mesu budi, untuk mengumpulkan kekuatan baik cinta, kesabaran, keanggunan, keagungan jiwa hingga akhirnya kejahatan tidak berdaya melawannya.

Filsafat wayang selalu merujuk peristiwa- peristiwa alam. Wayang adalah wewayangan manusia, bayangan manusia dalam segala tindak tanduknya. Dalam tokoh- tokoh wayang menggambarkan watak dan tingkah laku manusia. Cermin dari manusia sesungguhnya.

Setelah bumi gonjang ganjing atau istilahnya mengalami cobaan berat akan terbit  harapan. Harapan itu merujuk pada kesadaran manusia untuk bertobat, tidak mengulangi perbuatan yang membuat ia terjebak dalam goro -- goro.

Setelah goro -- goro biasanya muncul adegan dialog ponokawan (Punakawan). Gareng, Petruk, Bagong dan Semar.  Punakawan itu abdi dari ksatria yang tengah melakukan laku prihatin, bertapa di tengah hutan atau di gua atau ditempat sepi Mereka menjaga agar tidak ada godaan yang membuat ksatria batal melaksanakan tapa bratanya. Untuk mengisi waktu mereka bercanda, sambil menyisipkan pesan pesan kemanusiaan, Tanpa digurui sebetulnya para punakawan itu sedang menyindir manusia, dengan bahasa komedi Gareng, Petruk, Bagong itu sedang membahas sisi - sisi kehidupan manusia. Yang pahit, getir maupun yang manis.

Manusia diajak tertawa tetapi dengan tidak sengaja diingatkan untuk tidak melakukan kebodohan. Punakawan akan membahas baik buruk apa yang dilakukan manusia. Sebab akibat. Biasanya Petruk atau Semar yang menyisipkan pesan moral. Diantara dialog- dialog lucu setelah goro -- goro.

Sakit,kematian, kehilangan sesuatu dalam hidup adalah siklus. Manusia tidak bisa menghindarinya. Boleh jadi takdir, nasib itu adalah suratan dari Maha Pencipta. Tetapi meskipun nasib dan takdir sudah ditentukan manusia tetap harus bekerja, berusaha untuk memperbaiki nasibnya hingga ia memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan itu relatif, tidak ada ukuran resmi yang bisa menghitungnya. Bisa jadi kebahagiaan saya dengan anda para pembaca beda. Tapi itulah keunikan manusia.

Dari satu sisi Corona itu wabah, boleh jadi orang akan mengatakan bedebah senbagai ungkapan kekesalan. Kenapa mesti ada Corona? Kenapa manusia harus lockdown, berhenti sejenak, libur, gara- gara Corona. Apakah sudah ada indikasi kiamat? Berbagai pertanyaan berputar, manusia mencari jawabnya. Yang tenang akan mendapat jawabannya, yang panik akan selalu bilang bahwa itu karena gara- gara itu ini. 

Para politisi memanfaatkan momen Corona untuk mencari panggung, mencari simpati dan kesempatan menyalahkan pemerintah,menganggap kebijakan pemerintah tidak becus, masih ada manusia yang seharusnya diam merenung malah memanfaatkan situasi, mengail di air keruh. Situasi yang tintrim dan panik ditambah lagi dengan isu langkanya makanan, susahnya transportasi dan lumpuhnya perekonomian dan ancaman resesi dunia.

Dunia sejenak diam, era digital menghasilkan jutaan kesempatan melakukan bisnis sejenak tiarap, manusia tidak bisa melawan alam, meskipun sesungguhnya sebelum Corona datang eksploitasi luar biasa terhadap alam begitu 'nggegirisi' atau mengerikan. Watak adigang, adigung, adiguna manusia muncul dan membabat apa saja untuk dijadikan panggung agar ia dapat meraih kekuasaan, kekuatan dan dan harta untuk kepentingan diri sendiri.

Lockdown dan Introspeksi Manusia Setelah Bencana

 Setelah terkena bencana ada sebagian masyarakat akhirnya bisa mengoreksi diri, belajar dari situasi darurat. Yang pintar dan mempunyai insting baik, serta waspada tahu apa makna dibalik bencana tersebut. Yang bandel dan tidak "mudeng- mudeng" akan selalu mengulang masalah, memanfaatkan situasi tanpa sadar bahwa bencana itu sebetulnya peringatan untuk introspeksi diri.Salam damai selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun