Sakit,kematian, kehilangan sesuatu dalam hidup adalah siklus. Manusia tidak bisa menghindarinya. Boleh jadi takdir, nasib itu adalah suratan dari Maha Pencipta. Tetapi meskipun nasib dan takdir sudah ditentukan manusia tetap harus bekerja, berusaha untuk memperbaiki nasibnya hingga ia memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan itu relatif, tidak ada ukuran resmi yang bisa menghitungnya. Bisa jadi kebahagiaan saya dengan anda para pembaca beda. Tapi itulah keunikan manusia.
Dari satu sisi Corona itu wabah, boleh jadi orang akan mengatakan bedebah senbagai ungkapan kekesalan. Kenapa mesti ada Corona? Kenapa manusia harus lockdown, berhenti sejenak, libur, gara- gara Corona. Apakah sudah ada indikasi kiamat? Berbagai pertanyaan berputar, manusia mencari jawabnya. Yang tenang akan mendapat jawabannya, yang panik akan selalu bilang bahwa itu karena gara- gara itu ini.Â
Para politisi memanfaatkan momen Corona untuk mencari panggung, mencari simpati dan kesempatan menyalahkan pemerintah,menganggap kebijakan pemerintah tidak becus, masih ada manusia yang seharusnya diam merenung malah memanfaatkan situasi, mengail di air keruh. Situasi yang tintrim dan panik ditambah lagi dengan isu langkanya makanan, susahnya transportasi dan lumpuhnya perekonomian dan ancaman resesi dunia.
Dunia sejenak diam, era digital menghasilkan jutaan kesempatan melakukan bisnis sejenak tiarap, manusia tidak bisa melawan alam, meskipun sesungguhnya sebelum Corona datang eksploitasi luar biasa terhadap alam begitu 'nggegirisi' atau mengerikan. Watak adigang, adigung, adiguna manusia muncul dan membabat apa saja untuk dijadikan panggung agar ia dapat meraih kekuasaan, kekuatan dan dan harta untuk kepentingan diri sendiri.
Lockdown dan Introspeksi Manusia Setelah Bencana
 Setelah terkena bencana ada sebagian masyarakat akhirnya bisa mengoreksi diri, belajar dari situasi darurat. Yang pintar dan mempunyai insting baik, serta waspada tahu apa makna dibalik bencana tersebut. Yang bandel dan tidak "mudeng- mudeng" akan selalu mengulang masalah, memanfaatkan situasi tanpa sadar bahwa bencana itu sebetulnya peringatan untuk introspeksi diri.Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H