Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemusnahan Babi, Intoleransi, dan Pudarnya Harkat Martabat Manusia

12 Februari 2020   12:07 Diperbarui: 12 Februari 2020   12:21 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Era sekarang ini tradisi dan kearifan lokal seperti meluntur akibat pengaruh politik dan isu- isu tentang agama. Masyarakat terjebak pada pola pemecahbelahan akibat klik- klik politik dan masuknya agama dalam ranah kekuasaan. Masyarakat yang dulunya menjunjung tinggi tradisi, budaya lokal sebagai local wisdom mulai meluntur.Banyak isu isu budaya  tercederai oleh masyarakat yang mengatasnamakan pembela agama.

Ketika tradisi meluntur tatanan sosial berubah drastis

Mereka merusak tatanan kebudayaan dan melunturkan nilai tradisi yang memberikan rasa damai bagai masyarakat meskipun dengan latar belakang keyakinan/ agama, suku, bahasa yang berbeda. Tradisi dalam  masyarakat yang berasal dari rumah sendiri terdesak oleh pengaruh kebudayaan luar yang sangat jauh dengan pendekatan sosial budaya masyarakat timur yang menyatukan manusia, alam semesta dan kebudayaan lokal.

Kasus wacana pemusnahan babi di masyarakat Batak dengan alasan takut terjangkit penyakit hog cholera merupakan contoh nyata banyak pejabat negara tidak memahami tradisi dan kebudayaan setempat, Ada emosi berdasarkan egoisme kekuasaan yang membuat masyarakat berhak marah atas keputusan emosional gubernur Sumatra Utara dalam hal ini Edi Rahmayadi. Media sosialpun kadang menjadi pemicu adanya keresahan masyarakat yang cenderung memviralkan berita hoaks.

 Jika benar,Seharusnya Edi Rahmayadi perlu memahami bahwa tradisi makan babi, beternak babi merupakan warisan tradisi asli masyarakat Batak. Jika menyentuh sensitivitas kesukuan dan kebiasaan masyarakat, harusnya Edi Rahmayadi perlu berdialog dengan para pemuka adat Batak. Jangan sampai tiba- tiba memutuskan untuk memusnahkan babi untuk menghindari virus mematikan dari China tersebut.

Bagaimana peri-kebabian manusia di uji. Jika ribuan, bahkan mungkin jutaan babi dimusnahkan apakah sudah dipikirkan dampaknya termasuk dalam perekonomian di Sumatra Utara. Meskipun masyarakat muslim sangat banyak tetapi tradisi itu sudah ada turun temurun untuk menyatukan suku Batak meskipun berbeda kepercayaan.

Sangat disayangkan jika karena keputusan politik terimbas pada pola kehidupan masyarakat dan tradisinya. Menghilangkan tradisi, kebudayaan sama saja menghilangkan kekayaan non bendawi Indonesia. Jepang saja yang modern dan maju dalam teknologi tidak menghilangkan budaya dan tradisi yang sudah diwariskan turun temurun.

Rasanya sejak muncul organisasi pembela agama, munculnya radikalisme dalam agama banyak ancaman intoleransi dan ancaman perpecahan mengemuka. Penulis ingat jaman dulu ketika masih di kampung. Ketika tradisi masih dijunjung tinggi, ketika ritual- ritual masih rutin dilakukan kebersamaan, toleransi antar agama begitu harmoni. Tidak muncul komentar- komentar pedas menyangkut perbedaan kepercayaan dan agama. Ketika berkumpul dalam sebuah acara budaya masyarakat berbaur tanpa sekat.

Fanatisme dan Sempitnya Cara Pandang Manusia dalam Beragama

Sekarang penulis rasanya pedih sekali melihat banyaknya orang yang berusaha menghalangi agama berkembang, menutup kesempatan untuk menjalankan agama berdasarkan keyakinan masing- masing. Yang muslim membantu pembangunan dan renovasi gereja, yang non muslim sering bertandang ke mushola dan masjid untuk melepas lelah, ikut berhening ria, tidur di teras masjid tanpa masalah.

Sekarang ketika kotbah- kotbah menyinggung tentang kejelekan agama lain, ketika para penceramah tampak arogan melakukan pembenaran diri dan mengutak atik kelemahan agama lain dan hebatnya lagi para pendengarnya juga terpengaruh oleh kotbah berbau SARA hingga pergaulan anak kecil, remaja sampai dewasa seakan muncul sekat antar agama.

Untuk apa memperuncing perbedaan, untuk apa menyebut kebesaran nama Allah tapi mencederai hak asasi agama lain untuk mengumandangkan kekaguman manusia pada Allah juga. Secara keyakinan memang berbeda tetapi pada intinya adalah sama memuja keagungan dan kebesaran Tuhan yang menciptakan bumi dan seisinya.

Apakah dengan berteriak. Allah Maha besar kemudian menendang tempat ibadah lalu Tuhan akan tersenyum dan bangga. Malah sedih sebenarnya. Apa sih sebenarnya yang kau cari manusia. Aku membebaskan kamu memeluk agama, berdoa menurut caramu. Mau bersujut, mau telungkup, mau berdiri terserah yang penting tulus dan sungguh -- sungguh. Mengapa harus mengancam manusia lain untuk seturut dengan caramu.

Kalau caramu beragama hanya membuat manusia lain sengsara, bagaimana agama mampu memberi jalan menuju surga. Jika dengan beragama kamu merasa selalu terancam dan tersaingi maka rasanya doamu belum sempurna. Silaturahmi, saling menyapa, saling melemparkan senyuman lebih baik daripada selalu melakukan kajian- kajian khusus mencari titik lemah keyakinan lain. Padahal manusia sendiri adalah makhluk lemah yang kebetulan diberi akal dan budi lebih baik dari makhluk lain.

Kalau mendalami agama dengan tujuan memprovokasi, menakut- nakuti bahkan membantai yang tidak bersalah lalu apa sih tujuan beragama itu. Bukankah tiap agama selalu mengkampanyekan damai, kasih sayang, memaafkan, menghargai harkat dan martabat manusia. Tetapi atas nama agama banyak negara malah selalu berkonflik dan tidak henti -- hentinya berperang berebut pengaruh kekuasaan dan kebenaran.

Banyak gerakan radikal mencederai kemanusiaan, membunuh tanpa ampun dengan dalih dalil dalil agama dan restu dan Tuhan. Aneh! Apapun jika agama akhirnya dimanfaatkan sebagai pembenar kekerasan maka ada yang salah dengan tafsir manusia terhadap agama. Tidak ada agama yang mengajarkan membunuh (saya sudah menulis berulang- ulang dalam setiap artikel tentang budaya, agama dan sosial), tidak ada agama yang mengajarkan untuk melakukan fitnah dan melontarkan ujaran kebencian.

Jika ada orang yang memanfaatkan agama, melakukan fitnah demi tujuan politik dan kekuasaan itu adalah oknum. Oknum tersebut salah menterjemahkan ajaran agama sehingga muncul fanatisme, intoleransi.

Agama mayoritas merasa terancam, sedangkan agama kecil yang sering tergencet kadang juga tidak tahu diri. Sebab kadang munculnya intoleransi, miss komunikasi karena minoritas tidak mau membaur, tidak mau bareng- bareng bekerja sama. Ini menjadi sebuah permenungan bersama agar muncul garis penghubung, jembatan menuju toleransi yang didasari oleh perasaan saling simpati dan empati.

Sekarang Indonesia tengah diuji oleh banyaknya intoleransi. Satu tenggelam muncul yang lain, baru saja reda sudah datang lagi kasus yang menjadi viral di media,  yang tadinya sepi dan tanpa gejolak lalu membandang karena kipas media sosial yang seakan -- akan membangkitkan luka lama.

Pemerintah Harus Tegas terhadap Radikalisme dan Intoleransi

Pemerintah rasanya kurang tegas ketika ada permasahan tentang intoleransi. Nyatanya jarang ada solusi yang menguntungkan kedua pihak. Di Riau Kasus intoleransi muncul dengan demo yang dilakukan FUIB menggugat IMB Gereja Santo Yoseph  Tanjung Balai Karimun, Riau.

Aneh padahal gereja itu sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka (1928), jauh sebelum ada balai kota dan di depan gereja masih berupa rawa- rawa. dan rencananya mau direnovasi karena kondisi bangunan yang sudah kurang layak. Aparat tampak lemah menghadapi masyarakat yang melakukan demo. Jangan sampai pemerintah dicap tidak tegas dalam perkara relasi antar agama.

Pun yang terjadi di Sulawesi ketika ada mushola atau balai pertemuan yang digunakan untuk kegiatan berdoa. Ada elemen masyarakat yang melakukan protes hingga pengrusakan sarana ibadah sehingga muncul komentar viral tentang mengutuk perbuatan biadab yang dilakukan masyarakat sehingga menyeret isu sensitif yaitu agama.

Masyarakat yang sebetulnya biasa berinteraksi dan hidup rukun tanpa mempersoalkan status agama kadang diprovokasi oleh media massa, media sosial dan orang- orang politik yang menggerakkan ormas untuk menajamkan kebencian dan melakukan upaya memecah belah persatuan dan kesatuan.

Masyarakat dikondisikan untuk takut terhadap keyakinan lain sehingga terkesan dengan adanya bangunan tempat ibadah akan muncul ekspansi agama. Padahal banyak tempat ibadah (gereja, masjid yang membantu masyarakat yang kekurangan, melakukan bakti sosial, bakti masyarakat dengan pengobatan gratis. Karena provokasi maka niat baik dicurigai sebagai upaya penyebaran agama.

Bagaimana dengan harkat dan martabat manusia. Apakah terlalu sombong untuk menyatakan bahwa diri mereka dan kelompoknya yang paling benar, paling mulia sehingga berhak menghakimi orang lain atas nama keyakinan dan agama.

Dalam sejarah jika agama dan kekuasaan saling bersinergi akibatnya adalah kerunyaman dan kehancuran. Harkat dan martabat manusia itu akan terasa damai jika setiap manusia mau mengakui kekurangan dan kelebihan orang lain, membiarkan dengan cara mereka sendiri menemukan kebenaran.

Yang sekarang terjadi harkat dan martabat manusia terjun bebas karena nafsu berkuasa. Dalam kekuasaan jalan yang ditempuh kadang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. salam damai selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun