Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Puncak "Bully" Sang Gubernur Jakarta

27 Januari 2020   14:01 Diperbarui: 27 Januari 2020   14:08 2085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: gambar manado.tribunnews.com

Para pengamatpun seperti mendapat durian runtuh. Turut bahagia karena seringnya diundang televisi, sering nampang di televisi membahas sisi baik buruknya pemimpin. Karena bukan seperti orde baru lagi yang jika sering mengkritik dan memaki pemerintahannya maka akan hilang dari radar berita alias, menghilang dari rumor- rumor riuh genosida, penculikan dan penghilangan paksa oleh penguasa orde baru masa itu.

Pemimpin negara sih cuma tersenyum manis, tetapi dari balik layar dengan mengibarkan peperangan memerintahkan "pasukan hantu" maka orang yang vokal -- vokal akan dibuat bertekuk lutut. Segera hilang dari peredaran. Itu katanya. Sekarang era demokrasi. Era di mana orang- orang bisa bebas bicara. Kalau sekedar mengkritik akan dibiarkan saja.

Tetapi bagaimana dengan etika komentar yang cenderung terkesan kebablasan?Itulah salah satu dari kebebasan atau demokrasi adalah menemukan orang- orang yang memanfaatkan kebebasan untuk secara membabi buta mengejek dan menyalurkan kekasaran dan minimnya pengetahuan untuk memuaskan diri dengan cara membuli dan mencaci orang. Apakah dengan mencaci lalu terpuaskan. Entah bagi saya kadang sering ikut arus juga dengan mengurai kelemahan demi kelemahan pemimpin.

Ahok yang keras dan tampak ketat dalam disiplin menjadi kendala atau penghambat orang- orang yang terbiasa santai, selalu terlibat dalam bisnis jasa pengurusan seperti KTP, SIM, Catatan sipil. Semua kesuksesan pengurusan tergantung seberapa uang mengalir ke kantong, mafia, makelar dan mereka yang bahagia bisa memeras orang lain. Ahok akhirnya terjebak dalam pasal penistaan agama harus mendekam di penjara selama 2 tahun.

Anies Baswedan

Giliran Anies yang beruntung karena masyarakat lagi kesal dengan Ahok maka kesalahan yang sebetulnya masih menjadi perdebatan itu menguntungkan Ahok secara politis.Aniespun sukses mengalahkan Ahok melalui Djarot Saiful Hidayat.

Era Anies Baswedan( 2017 - sampai sekarang ) pun akhirnya tiba. Masyakat menunggu janji --janji Anies yang ingin membahagiakan warganya, memberi kesempatan lebar- lebar untuk bisa memanfaatkan Monas sebagai kegiatan apa saja termasuk kegiatan agama. Aturan -- aturan gubernur sebelumnya seperti diabaikan.

Babak selanjutnya Aniespun mempunyai terobosan sendiri dalam memajukan Jakarta yang sudah sengkarut dalam hal birokrasi. Jakarta seperti mendapatkan kebahagiaan kembali, terutama para pegiat agama, penganut aliran- aliran keras yang ingin menunggangi perseteruan Pendukung gubernur lama dengan Anies Baswedan.

Anies Baswedan seperti antitesis Ahok dan Jokowi. Dalam menggerakkan roda pemerintahan Anies banyak melontarkan gagasan, narasi. Ide- idenya sering menjadi polemik. Masih banyak pendukung gubernur sebelumnya yang mendongkol dan marah atas kebijakan Anies yang seolah- olah mengoreksi semua kebijakan gubernur terdahulu, termasuk dalam hal transparansi. Ada Kesan Anies tertutup dalam hal pemerintahan. Bekerja berdasarkan masukan dari orang- orang terdekat, lebih banyak dalam tataran gagasan minim eksekusi.

Banyak orang berpendapat Anies itu cocoknya adalah dosen(opini netizen, pengamat) bukan birokrat atau pemimpin yang diperlukan sebagai eksekutor. Anies diuntungkan dengan serangan- serangan masif terhadap dirinya,semakin dibincangkan maka semakin populerlah dia dan semakin kencang akan mampu bersaing sebagai calon Presiden 2024.

Anies dilahirkan untuk menduduki jabatan gubernur Jakarta, entah melalui jalan penuh intrik, melalui berbagai peristiwa sosial, isu- isu nasional. Kebetulan faktanya Ahok terbantu dengan politik busuk politikus yang memanfaatkan isu agama untuk membuat iklim politik lebih panas. Perang pengaruh partai politik melahirkan etika politik kumuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun