Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik Gas Melon, Gas Subsidi untuk Orang Miskin

23 Januari 2020   22:38 Diperbarui: 23 Januari 2020   22:55 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang saya cukup malu ketika ikut- ikutan menggunakan gas elpiji 3 kilogram. Tabung gas bentuk melon itu dipergunakan untuk kebutuhan masak -- memasak yang dikategorikan miskin dengan pendapatan di bawah UMR. Gas yang sangat membantu untuk memasak keseharian. Terus terang saya yang penghasilannya lebih dari UMR agak kikuk ketika menggunakan gas yang disubsidi pemerintah untuk membantu orang miskin melangsungkan kehidupan sehari -- hari dengan energi yang hemat dan murah.

Masalahnya bagaimana mendeteksi antara yang miskin dan yang mampu di kota besar maupun di desa- desa. Banyak orang yang mampu merasa harus "rendah hati" mengaku miskin agar bisa menekan biaya kehidupan. Semakin hari semakin banyak kebutuhan yang mesti dipenuhi, semakin hari banyak kebutuhan yang harus ditekan agar bisa menabung dan menikmati aneka hiburan untuk sekedar menikmati kenikmatan atau berwisata.

Gas Elpiji adalah pengganti minyak tanah yang sudah susah ditemui saat ini. Pergantian minyak tanah ke gas elpiji itu salah satunya  untuk menekan penggunaan minyak bumi. Sebab minak bumi akan semakin habis seiring dengan eksploitasi gas bumi yang semakin gencar. Pemerintah berinisiatif mengganti dengan gas dengan cara subsidi khususnya untuk gas  3 kilogram.

Pada praktiknya bukan hanya orang miskin yang menikmati gas elpiji 3 kilo gram. Hampir semua keluarga baik miskin maupun kaya mempunyai gas 3 kilogram. Perkecualian untuk bisnis restoran dan perusahaan besar yang memakai gas dalam tabung besar. Miskin memang relatif ada orang kaya bermental miskin, ada orang miskin yang benar- benar tidak mampu membeli gas yang dibanderol sekitar 20 ribu harga pasaran umum.  Kebutuhan malah sering ditumpuk pada keluarga cukup mampu yang bisa memiliki gas 3 kilogram lebih dari satu.

Jika subsidi akhirnya dicabut pasti muncul gejolak, muncul protes dan gegar budaya. Tetapi jika itu memang jalan yang harus ditempuh mau apalagi. Konon subsidi akan diganti semacam BLT (bantuan langsung tunai) bagi yang merasa berat harus membeli gas yang di pasaran dibanderol sekitar 18 sampai 21 ribu rupiah. Katakanlah harganya sekitar 35 sampai 37 ribu rupiah, yang menjerit tentu yang menggunakan gas elpiji untuk berdagang keliling, warung makan, masyarakat miskin yang setiap hari harus gali lubang tutup lubang agar bisa bertahan hidup.

Kebijakan BLT pun dulu pernah dilakukan nyatanya banyak yang salah alamat. Banyak juga orang- orang mampu secara finansial merasakan nikmatnya BLT. Pemerintah pasti sedang pusing memikirkan alternatif  subsidi jika gas harus dinaikkan.

Tetapi kadang pro kontra akan heboh tapi masyarakat akan mulai terbiasa dengan kebijakan yang dieksekusi. Memang pahit, sebab dengan penduduk yang banyak dengan kompleksitas masalah yang juga tidak kalah peliknya mesti ada yang dikorbankan. Pendewasaan masyarakat harus dilakukan dengan memberi tekanan pada masyarakat untuk lebih bekerja keras. Yang susah adalah mengubah pola pikir masyarakat yang terlanjur tergantung pada bantuan, subsidi, keringanan -- keringanan dari pemerintah.

Masyarakat yang mandiri tentu akan semakin tidak bergantung pada subsidi, sebab subsidi itu lebih terkesan memanjakan membuat masyarakat selalu berharap pada bantuan. Tidak ingin munafik sebagai masyarakat banyak sekali sebenarnya bantuan yang sudah masyarakat nikmati  ( termasuk saya ) ada KJP (Kartu Jakarta Pintar), BPJS. Masyarakat Indonesia kadang terdorong untuk hidup melebihi kemampuan. Dengan kartu kredit, pinjaman lunak, kredit kendaraan bermotor, kredit kebutuhan rumah tangga bahkan kredit untuk kebutuhan gaya hidup.

Padahal sebenarnya keuangan tidak mencukupi. Terdorong oleh pengaruh lingkungan, tuntutan hidup di kota yang cenderung materialistis menyebabkan banyak orang sering "sok" kaya, ingin tampil glamour meskipun barang- barang yang dipakai kadang diperoleh dengan cara utang. Ketergantungan pada kartu kredit membuat masyarakat serasa menikmati kemudahan, padahal sebetulnya menjerat dan mencekik jika tidak bijak menggunakannya. Setiap hari harus khawatir jika dikejar- kejar oleh penagih utang, ditilpun dan ditawari kemudahan setiap hari.... Aduh pusiiingg!

Gas Elpiji peruntukannya untuk masyarakat miskin, tetapi pada praktiknya yang menggunakan malah yang mampu. Itulah dilemanya. Jika subsidi dicabut gejolak sosial pasti akan muncul dan lagi -- lagi yang tidak mampu yang menjadi korbannya. Kesadaran dikembalikan pada pribadi masing- masing terutama yang mampu untuk beralih ke gas elpiji 12 Kilogram.

Menurut saya sebaiknya jangan dicabut keseluruhan subsidi gas melon, yang harus dibenahii adalah mental miskin masyarakat yang harus dibenahi. Jika mampu yang tidak ikut- ikutan menikmati gas elpiji 3 kilo gram, biarkan yang menikmati mereka yang benar- benar butuh subsidi agar ringan mereka menjalani kehidupan yang kebetulan tidak mampu dan harus perlu bantuan termasuk pemerintah ya memang wajib untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Ini menjadi semacam introspeksi pada siapa saja, termasuk saya sebagai keluarga yang mempunyai kebutuhan rutin keluarga dan anak- anak serta saudara  yang butuh bantuan serta berbagai kebutuhan dasar seperti sekolah, makan, membayar listrik, membayar PAM, membayar kebutuhan untuk interaksi sosial dan berbagai pajak lain yang harus dibayar tepat waktu, termasuk cicilan rumah.

Orang yang kelihatan kayapun kadang mempunyai problem hidup kompleks, termasuk (mungkin) keberanian untuk meminjam uang di bank dalam jumlah besar, membayar gaya hidupnya yang terlanjur hedonis, membayar segala pajak untuk kendaraan mewahnya, membayar pembantu dan tabungan untuk travelling ke luar negeri.

Semakin kaya, semakin mampu rasanya tuntutan kebutuhan dan gaya hidup semakin meningkat, maka problem orang miskin dan orang kayapun sebenarnya sama. Yang kaya sebenarnya karena mereka lebih berani berspekulasi untuk meminjam uang atau kredit dalam jumlah besar. Asal tidak besar pasak daripada tiang maka setiap orang harus bijak dalam mengelola keuangan.

Konsumsi gas melon saat ini adalah sebuah kepraktisan, kecil, mudah ditenteng dengan harga yang masih cukup terjangkau. Disamping itu gas melon sangat mudah ditemukan di sekitar rumah. Di warung 24 jam, di warung pengecer, di pasar swalayan. Maka banyak orang berpikir bahwa bukan karena ada subsidinya membeli gas 3 kilogram tapi karena ukurannya kecil, menjadi lebih praktis ditenteng. Coba kalau beli yang 12 kilogram, selain berat, tidak akan mudah ditenteng dari warung. Butuh bantuan untuk membawa gas itu dari pengecer ke rumah.

Kalau terlalu berat masih ada tabung gas dengan ukuran lebih kecil yang bisa dibeli di beberapa Pom Bensin atau toko swalayan semisal Indomart dan Alfa Mart. Saatnya berubah dan belajar untuk tidak tergantung pada subsidi. Bisa?! Salam damai selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun