Di Jakarta polisi tidur itu ada di mana- mana, rebahan di sepanjang jalan perkampungan, pemukiman padat penduduk. Perumahan dan jalan- jalan yang potensial untuk dibuat ngebut-ngebutan oleh pemilik motor yang keranjingan balapan atau banyak pelaju, pekerja yang selalu diburu- buru waktu.
Kadang saking terburu-buru  waktu naluri pembalap ala Rossi bangun. Polisi tidur saja yang memberi tanda agar pelan- pelan masih diterjang. Tidak tanggung- tanggung ABG dan emak- emak juga sering kangen jadi pembalap sik sak main terjang jalanan.
Sungguh takut sebenarnya jalan di kota Jakarta. Motor matic yang bertebaran di jalanan dengan santai berakrobat meliuk- liuk dari satu motor ke motor lain dari barisan mobil ke mobil lain. Tidak di Daan Mogot, Jalan Yos sudarso, Cilincing, Marunda atau S. Parman sama saja perilaku orang. Apalagi di pinggir kali Malang. Mereka seperti mempunyai nyawa lebih. Dan pantaslah jika Pak RW, RT perlu memasang polisi tidur untuk meredam adrenalin masyarakat Jakarta yang mempunyai DNA pembalap.
Sebetulnya polisi tidur itu tidak perlu jika ada kesadaran dari pengendara motor untuk tahu diri. Di jalanan yang ramai dengan perkampungan dengan lalu lintas padat, banyak anak -- anak sungguh aneh jika ngebut. Kecepatan standar untuk melintasi jalan ramai padat penduduk seharusnya sudah dipahami. Kalau ngebut resikonya benjut dan kalau apes bisa menabrak orang. Mengerti tidak! Kata mbak Monica di TOP(Tukang Ojek Pengkolan yang tayang di RCTI).
Peruntukan polisi tidur itu sebetulnya ada undang- undangnya.
Tidak sembarangan jalan- jalan perkampungan dan perumahan dibangun polisi tidur. Efek negatif polisi tidur, selain membuat shock cepat aus juga membuat pinggang cepat capai. Gajlukan istilah jawanya istilah bakunya tanggul jalan, atau tanggul pengaman jalan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring  Polisi tidur adalah bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang untuk menghambat laju kendaraan. Dalam Pasal 1 angka 6 UU LLAJ polisi tidur itu bisa diistilahkan sebagai alat pengendali dan pengaman pengguna jalan.
Dalam beberapa pengetahuan hukum sarana dan prasaran alat pembatas jalan antara lain meliputi: Speed bumb, speed hump dan speed table. Bentuk polisi tidur yang ada dilingkungan perkampungan biasanya speed table.
Di Jakarta pemasangan polisi tidur dilakukan lebih karena reaksi emosional masyarakat yang kesal dengan perilaku pengendara.Â
Pemasangan polisi tidur sebenarnya harus mengacu pada peraturan gubernur. Karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
Sayangnya memang masyarakat Ibu kota negara ini ingin selalu coba- coba untuk melanggas aturan. Rasanya bangga jika bisa melanggar peraturan. Itulah banyak yang malah emosi, kembali balik marah ketika diingatkan tentang peraturan  peraturan hukum. Polisi dimarahi, masyarakat yang sudah tertib dibenci dan hal- hal yang baik yang menguntungkan masyarakat malah dilihat aneh.
Makanya kadang tulisan " Dilarang" kadang bisa berarti silahkan. Contohnya Dilarang buang sampah di lingkungan ini. Masyarakat mengartikan silahkan buang sampah di sini. Itulah, kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Ada istilah unik untuk menggambarkan realitas pada masyarakat Indonesia khususnya Jakarta "peraturan dibuat untuk dilanggar". Ironis memang kata- kata itu. Nyatanya banyak masyarakat yang sengaja melanggar karena merasa bangga, gagah dan "laki banget".
Padahal emak- emak sangat banyak kasusnya yang terbukti melanggar lalu lintas. Emak- emak itu sering lupa menyalakan sen bila sedang berbelok, tiba- tiba belok atau berubah arah tanpa menyalakan lampu dim.Pokoknya kalau sama emak- emak mendingan ngalah deh, hehehe...
Apapun istilahnya polisi tidur itu tidak boleh sembarangan dibuat.
Kesadaran masyarakatlah yang seharusnya bisa memfungsikan polisi tidur secara semestinya. Jika masyarakat masih selalu ingin terburu- buru, ngebut ditempat yang rawan kecelakaan, sok jagoan membalap di perkampungan padat maka itu tindakan konyol. Jangan salahkan gubernurnya jangan salahkan politik yang sedang amburadul. Introspeksilah, bertanya pada diri sendiri apakah melanggar memang sudah menjadi habit. Kalau Menganggap gagah bisa melanggar ya  sumonggo tidak perlu capek capek Jakarta jadi apa karena masyarakatnya sendiri sudah berubah dan cenderung "nggugu karepe dewe" kalau Jakarta sering memakai istilah "bodoh amat !" EGP Emang Gue Pikirin.
Jakarta harus berubah untuk mengejar ketertinggalan dengan ibu kota negara lain. Perubahan akan terjadi jika masyarakatnya sadar untuk mengikuti dan mematuhi peraturan yang dibuat pemerintah. Jika lebih suka melanggar, yang pas untuk anda ya,ke laut saja!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H