Hidup ini memang aneh ada istilah Jawa yang sering terucap Tunggak Jarak Mrajak Tunggak Jati Mati. Mereka yang pernah hidup di menara gading kekuasaan mau tidak mau harus merasakan jadi bawahan. Orang yang kesrakat yang masa kecilnya dan jarang menikmati kemewahan suatu saat menjadi pemimpin dan berada dipuncak.
Jokowi masa kecilnya sudah kenyang dengan suasana kemiskinan di sekitarnya, bahkan Jokowi juga merasakan sakit hati ketika menjadi orang yang tergusur, hidup di pinggiran kali yang seringkali  kena banjir bandang. Istilah lain hidup ibarat roda kadang di atas kadang di bawah.
Begitulah yang terjadi dengan Prabowo dan Jokowi. Saat Jokowi masih berjuang untuk menaikkan taraf hidup berusaha keluar dari zona kemiskinan, Prabowo saat itu sedang merasakan kejayaan hidup dalam keluarga yang menggenggam kekuasaan. Pada waktu itu semua orang pasti tidak menyangka ada seorang anak tukang kayu bisa begitu melaju menjadi presiden.
Terbayang saja tidak. Orang sudah membayangkan yang akan menjadi presiden tentu mereka yang lahir dari keturunan bangsawan, anak pejabat atau mereka yang bisa merengkuh pendidikan militer hingga mencapai posisi tinggi pangkatnya. Tidak akan pernah menyangka bahwa akan ada seorang anak yang kecilnya keling, hitam dan akrab dengan banjir dan penggusuran bisa menjadi presiden. Bayang realita itu mungkin hanya fantasi orang- orang kecil, mana mungkin bisa merangkak tinggi sampai level tertinggi pemerintahan.
Ternyata tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Kalau sudah takdir sudah garis tangannya ya kun fayakun apa yang terjadi terjadilah. Kenyataan ini yang dirasakan bangsa Indonesia, siapa yang mengenal Jokowi 20 tahun lalu. Di Solo saja mungkin hanya terbatas yang tahu. Orang mulai melirik ketika menjadi wali kota Solo.
Gaya kepemimpinannya yang unik, tidak pernah mau mengambil gaji dan gaya blusukan yang nyeleneh membuat ia dengan cepat terkenal dan dikenal publik. Semula tidak ada yang menyangka Jokowi bisa menjadi presiden. Nah itu yang namanya takdir. Sudah guratan alam bahwa akan ada  anak rakyat yang bisa merasakan tampuk kekuasaan pemerintahan.
Disamping sukses secara karir Jokowi bukan tanpa tantangan. Semakin hari tantangannya semakin bertambah. Terutama warga medsos, para oposisi yang berusaha menjatuhkan dia ditengah jalan lama- lama bertumbangan dan akhirnya dari oposisi malah menjadi rekan kerja tepatnya sebagai anak buah presiden, atau tepatnya pembantu presiden.
Bagaimana seorang yang semula menjadi sponsor, lalu tiba- tiba angin bertiup menjauh dan akhirnya harus menerima kenyataan bahwa ia adalah lawan dalam kontestasi presiden. Sudah berdarah, berkeringan, mengerahkan cerita cerita, isu- isu untuk menyerang petahana. Ternyata investasi hoaks tetap saja tidak mampu menumbangkan dan mengalahkan petahana.
Di tikungan terakhir malah Prabowo yang merendahkan diri sanggup menjadi "pembantu" Presiden yang mengemban tugas negara dengan tidak enteng. Menjadi benteng pertahanan (maksudnya menteri pertahanan) Jokowi itu berat. Maka meskipun datang dari trah pemimpin rasanya tidak mungkin menang jika melawan Jokowi yang dibela jin dan semua orang yang senang hidup dalam perubahan.
Beberapa minggu yang lalu atau beberapa bulan yang lalu rasanya masyarakat mengikuti perseteruan antar calon presiden. Media mencatat sindiran- sindiran, kritikan- kritikan. Pasti tercatat entah di mana masuk dalam hati dan akhirnya menjadi pembicaraan seru sang Macan Asia berkobar- kobar berpidato. Kebocoran anggaran, suara wong cilik yang selalu disinggung meskipun dalam keseharian di masa jayanya ia jarang berteman dengan netizen.
Prabowo harus mengalah. Ia ingin merasakan kekuasaan dan selama lawannya setangguh Jokowi susah bagi Prabowo Subianto untuk bisa menjadi presiden. Entah apa yang dipikirkan Prabowo Subianto. Untuk saat ini sudah cukup masuk jajaran kekuasaan walau hanya mengurusi makanan ancaman. Menjadi "pembantu" tidak apa- apa toh itu jabatan prestise, tidak semua orang sanggup mengikuti atau dengan rela menerima kenyataan bahwa takdi Prabowo Subianto itu tidak.
Kemarin pertandingan telah usai, Prabowo berpikir maju, ia tidak malu merendahkan diri, ia menjadi orang pertama (mungkin)bersejarah seorang calon presiden yang akhirnya harus menerima kenyataan bahwa menterilah yang bisa ia gapai. Lalu bagaimana dengan pengagumnya, relawannya yang sudah berdarah- darah membelanya sampai habis uangnya.
Masa bodoh. Politik itu amat cair, apa yang tidak mungkin dulu bisa jadi mungkin sekarang ini, dan itulah yang terjadi. Semula Prabowo yang ikut andil membawa wali kota Solo hijrah ke Jakarta menjadi pucuk pimpinan ibu kota negara. Tapi betapa terkejutnya Prabowo ketika Jokowi yang tadinya ia promosikan menjadi lawan berat meraih kursi RI 1.
Suratan takdir apa yang ditakuti itu terjadi. Jokowi tengah moncer dan memang sedang "pulung". Ia bisa mengalahkan Promotornya. Pahit tetapi harus diterima. Dua kali kalah dan akhirnya ia harus menempatkan diri sebagai seorang yang kedudukannya harus mengimplementasikan keinginan presiden. Menjadi pembantu presiden menggerakkan roda pemerintahan.
Semoga tidak ada lagi perseteruan yang menyeret rakyat masuk dalam perseteruan politik, kegaduhan -- kegaduhan yang mencemaskan sampai politik identitas. Capai merasakan perseteruan yang buntutnya lagi- lagi masyarakatlah yang rugi. Prabowo yang datang dari trah bangsawan dalam pemerintahan harus mau dan merunduk pada perintah Presiden Jokowi yang hanya berasal dari rakyat jelata.
Semoga tidak muncul dua matahari atau dua sopir yang membuat masyarakat semakin merana dan kebingungan. Periode kedua pemerintahan Jokowi semoga memberi harapan akan munculnya banyak talenta Indonesia yang mampu membangkitkan kreatifitas dan memberi Indonesia bukan pengekor dalam hal teknologi tetapi pelopor. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H