Kemarin pertandingan telah usai, Prabowo berpikir maju, ia tidak malu merendahkan diri, ia menjadi orang pertama (mungkin)bersejarah seorang calon presiden yang akhirnya harus menerima kenyataan bahwa menterilah yang bisa ia gapai. Lalu bagaimana dengan pengagumnya, relawannya yang sudah berdarah- darah membelanya sampai habis uangnya.
Masa bodoh. Politik itu amat cair, apa yang tidak mungkin dulu bisa jadi mungkin sekarang ini, dan itulah yang terjadi. Semula Prabowo yang ikut andil membawa wali kota Solo hijrah ke Jakarta menjadi pucuk pimpinan ibu kota negara. Tapi betapa terkejutnya Prabowo ketika Jokowi yang tadinya ia promosikan menjadi lawan berat meraih kursi RI 1.
Suratan takdir apa yang ditakuti itu terjadi. Jokowi tengah moncer dan memang sedang "pulung". Ia bisa mengalahkan Promotornya. Pahit tetapi harus diterima. Dua kali kalah dan akhirnya ia harus menempatkan diri sebagai seorang yang kedudukannya harus mengimplementasikan keinginan presiden. Menjadi pembantu presiden menggerakkan roda pemerintahan.
Semoga tidak ada lagi perseteruan yang menyeret rakyat masuk dalam perseteruan politik, kegaduhan -- kegaduhan yang mencemaskan sampai politik identitas. Capai merasakan perseteruan yang buntutnya lagi- lagi masyarakatlah yang rugi. Prabowo yang datang dari trah bangsawan dalam pemerintahan harus mau dan merunduk pada perintah Presiden Jokowi yang hanya berasal dari rakyat jelata.
Semoga tidak muncul dua matahari atau dua sopir yang membuat masyarakat semakin merana dan kebingungan. Periode kedua pemerintahan Jokowi semoga memberi harapan akan munculnya banyak talenta Indonesia yang mampu membangkitkan kreatifitas dan memberi Indonesia bukan pengekor dalam hal teknologi tetapi pelopor. Salam damai selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H