Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah dan Orang-orang Tersayangnya

8 September 2019   15:51 Diperbarui: 8 September 2019   16:04 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nenek dan Kakakku perempuan adalah orang- orang tercintanya. Begitu dekatnya sehingga saat- saat terakhir hidup ayah dalam sakitnya selalu menyebut keduanya. Aku maklum sebab perjuangan ayah untuk kedua orang itu luar biasa. Nenek adalah sosok yang selalu menjadi panutan ayah, yang selalu dekat saat kakek begitu kerasnya mendidik anak- anaknya dengan lecutan dan pukulan. Ayah selalu mendapat pembelaan, meskipun begitu bukan berarti ayah lemah. Ia kuat dan tangguh, disiplin dan rapi.

Ia bukan seperti saya yang lebih amburadul dalam menjalani kehidupan. Segala kegiatan dicatatnya, segala peristiwa tidak pernah luput dari pengamatannya yang tertulis rapi di buku agenda. Sedangkan saya hanya mencatat dengan menuliskannya lewat blog atau tulisan- tulisan yang tersebar entah ke mana, Ayah selalu mempunyai catatan yang membuat ingatannya terus terpelihara.

Aku mungkin bukan orang tersayangnya, tetapi aku baru tahu bahwa rindunya padaku sama besar dengan deretan orang- orang tercintanya. Meskipun di sepanjang hidupnya aku selalu merepotkan, tetapi ia selalu bangga saat mendengar tulisanku dimuat di majalah, di koran atau terpilih menjadi penulis pilihan. Ayah tidak berbicara tetapi kadang ingin menangis bangga walaupun tidak terkatakan. Ia seorang ayah yang tidak terbiasa bicara panjang tentang keluarganya, tetapi ayah adalah seorang penasihat yang baik bagi orang- orang yang bermasalah. Banyak saudaranya mengakui bahwa  kata- kata ayah selalu menjadi senjata pendamai untuk orang orang yang sedang dirundung masalah. Ponakannya yang nakal, adik iparnya yang berulah, atau tetangga yang sedang dalam mengalami konflik parah merasakan betapa bermanfaatnya ngobrol dengan ayah. Maka Bersama orang -- orang tercintanya selalu ada rasa damai ketika mendengar suara ayah.

Ayah adalah orang paling sabar mendampingi kakakku saat vonis dokter mengatakan bahwa kakak adalah penderita down syndrome akibat waktu kecil  berkali- kali jatuh dari jendela. Ketika kakak belum bisa berjalan dan melakukan aktivitas lain susah ia selalu dengan sabar menggendongnya dan selalu berkomunikasi aktif dengan bahasa- bahasa sederhana. Walaupun kakak tetap tidak mengerti obrolan ayah ia seperti mempunyai ikatan bathin kuat antara ayah dan anak. Pertalian bathin yang kuat membuat rasanya dengan tatapan mata saja kakak mengerti kegalauan ayah begitupun sebaliknya.

Ayah dan orang- orang tercintanya mengerti kedalaman cinta ayah. Kesabarannya menerima kenyataan bahwa hidup memang penuh dengan beban salib. Harus mampu memapah penderitaan karena hidup memang sesungguhnya adalah pencobaan. Tidak ada kebahagiaan sempurna tanpa pernah melewati penderitaan. Demikian ayah menerima salib (atau lambang penderitaan) yang harus dipikulnya sepanjang waktu. Waktu demi waktu terus berjalan, perbagai rintangan dan masalah itu terus menghampiri dan kekuatan doa menjadi penyeimbang untuk menerima bahwa orang- orang tercinta butuh pendampingan lebih. Kami (Aku dan adikku) harus mau berbagi dan menerima bahwa dalam hidup ayah perhatiannya pada kakaknya amat berlebih. Ayah harus memastikan bahwa kakak baik- baik. walaupun sebenarnya tidak ada perkembangan berarti karena kakak saya yang down sindrom semakin hari semakin parah saja. Tetapi paling tidak kakak bahagia, sebab dalam perjalanan hidupnya ada malaikat yang selalu menerima dia apa adanya walau kenyataannya ia hanya bisa berharap pada kemurahan hati orang lain, termasuk sosok seorang ayah yang begitu sabar memandikan, merapikan pakaian dan menyediakan makan.

Lelaki sabar itu benar- benar luar biasa. Apakah bisa menjalani hidup sekuat dan sekokoh ayah. Bahkan aktivitasnya di organisasi dan pekerjaannya tidak pernah ditinggalkannya. Ia bisa membagi waktu antara memperhatikan orang- orang tercintanya, serta pekerjaan dan organisasinya yang membuat ia disegani.

Ayah tahu mungkin ada anak- anak lain yang cemburu kurang mendapat perhatian penuh. Tetapi kami tidak pernah menuntut sebab berat jika harus mendampingi seseorang yang berkebutuhan khusus. Butuh konsentrasi dan totalitas. Maka kami tetap terus menjalani hidup dengan semangat belajar seadanya. Secara akademis kami bukan orang yang menonjol, bahkan aku hampir gagal ketika lebih suntuk pada hobi hobi yang menyita waktu.

Nenek adalah ujian kesabaran keduanya. Ketika mengalami stroke dalam waktu lama. Hanya ayah yang selalu sabar membersihkan dan memandikan kotoran- kotoran yang menempel ditubuhnya. Ayah selalu sabar menjalani laku hidup dalam segala macam penderitaan, mungkin termasuk kecewa ketika aku tidak terlalu serius belajar dan hanya senang senang dengan hobi -- hobiku yang kurang menggambarkan perjuangan anak untuk membanggakan seorang ayah. Apa sih kebanggaan ketika anaknya berambut gondrong, cenderung urakan dan bergaya sok"seniman" Katanya senang menulis tetapi karya- karyanya hanya tertumpuk di lembaran- demi lembaran kertas folio. Katanya ingin menjadi penyair tetapi yang ada hanya lamunan- lamunan dan coretan- coretan di tanah yang tidak terbaca oleh redaktur majalah atau koran.  Sepanjang waktu "ngalor- ngidul" mencari wangsit, duduk menepi sambil baca novel -- novel bekas. Katanya mencari wangsit tetapi kok bingung membaca novel- novel lawas.

Ah, Ayah dulu aku sering membuang waktu hanya untuk mencoba meraih mimpi. Sok- sokkan menjadi kontributor majalah dengan berharap tulisan dimuat. Ya dimuat tetapi honor tetap saja hanya bisa dirasakan sebentar sekedar jajan. Apa yang diharap dari seorang penulis dan loper majalah. Kekayaan? Mungkin ketenaran. Dan selama setahun menjalani profesi yang katanya pengangguran terdidik. Aku puas tapi keluargaku tidak puas, mereka menginginkan lebih bukan hanya sekedar penulis alam khayal dan lamunan, tetapi menerapkan ilmu yang kudalami semasa kuliah. Ah. Hampir saja aku, ingin menggelandang pergi, mencari pemuasan bathin. Aku sesungguhnya bahagia hidup sebagai seorang penulis, tetapi apakah aku bisa hidup hanya dari honor -- honor tidak seberapa itu?. Rupanya ujianku berakhir aku menyerah dan kemudian mencoba menyusur satu pekerjaan yang memang turun temurun dalam hidupku. Kakek seorang guru, ayah seorang guru, ibuku juga guru.

Dalam pergumulan itu aku keluar dari pertarungan dan menyerah pada jalan yang tersedia lempang. Tetapi cita- cita menjadi penulis sebetulnya tidak pernah benar- benar padam, suatu saat, pada waktu yang tepat aku harus kembali menekuninya Ayah?!

***

Ayah adalah pencatat yang baik meskipun sebenarnya ia bukanlah pengarang. Ia mencatat segala peristiwa hidupnya, ia mencatat segala pertarungannya termasuk kesabarannya ketika merawat nenek yang menderita stroke dan kakak yang down syndrome. Dua- duanya bisa dilakukan sama baiknya. Kakakku senang nenekpun bahagia dalam kesakitannya. Maka ketika kedua perempuan itu memutuskan untuk pulang, pergi jauh dan tidak kembali menjalani penderitaan demi penderitaan sewaktu di bumi, ayah seperti lepas dari segala beban, beban salibnya berkurang.

***

Ayah dan orang --orang tersayangnya datang, berbisik  sepanjang hari dan datang dalam mimpinya.

"Ibu, ibu. aku ingin pulang" Nenek seperti memanggil, memapah ayah dalam pedih perih jalan penderitaan.

"Bapak aku disisimu."

"Rin... Rin"

Ketika kesakitan penderitaan luar biasa menghampiri, segala perih, kembung dan detak- detak jantungnya yang semakin berat memompa darahnya, ayah ingin menyerah, tidak mau lagi bertarung dalam beratnya beban memanggul salib kehidupan. Ayah, aku yang dirantau tidak berdaya, aku masih harus berjuang untuk menghidupi keluarga, ingin sekali  pulang untuk merawatmu, mendampingimu dalam kesakitanmu, tetapi aku terlalu lemah dalam tekad. Rasanya, perasaan berdosa menyelinap ketika dalam sakratul maut, aku tidak berada di sisimu, melewati babak- babak akhir dalam kebahagiaan abadi.

Di titik nol dalam lepasnya penderitaanmu dan memasuki dunia barumu, kau tampak tersenyum bahagia, Hatiku meraung ayah, tetapi tidak keluar air mata, antara sedih, kalut dan bahagia. Hanya itu perasaanku. Aku melihatmu sesaat mengerang sakit. Setiap malam harus berjibaku dengan derita badan yang tidak pernah beranjak. Pada saat aku tengah lelap dalam pekerjaan rutinku, kau memutuskan menyerah, kau memutuskan menanggung segala resiko penderitaan untuk menyentuh titik bahagia.Adikku yang menyaksikan detik demi detik peperangan ayah sampai bahagia telah mengakhirinya dengan kemenangan.

Setelah kau kembali dan hanya fotomu yang bisa kupandang, rasanya banyak hutangku yang ingin kulunasi, aku ingin membahagiakanmu di rumah barumu dengan doa - doaku.  Kau telah bersama orang- orang tersayangmu, bersama orang- orang yang yang memutuskan kembali ke rumah Bapa. Salam sayang untukmu aku selalu merindukan sapamu. Ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun