Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melindungi Papua dari Ancaman Separatis dan Radikalisme Agama

1 September 2019   14:32 Diperbarui: 1 September 2019   14:39 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
makanan pokok Papua adalah Sagu (papeda)dan ubi rambat, serta ulat kayu (fak-tanews.com)

Mencintai Papua sebagai bagian dari saudara sebangsa wajib hukumnya. Saya terus terang tidak kompeten sebab sejauh ini kurang begitu kenal dengan saudara dari Papua. Kalau memaksa memberikan tips bagaimana caranya memahami saudara yang lahir, besar dan berasal dari Suku suku dari Papua ya kelewatan. Menganggap bahwa suku mereka sebagian terbelakang itu khan persektif pendapat suku lainnya khususnya Jawa yang tampak lebih luwes dalam menghadapi perubahan zaman.

Memahami dan Mencintai Budaya Papua

Papua sebagai tanah dengan kekayaan alam yang luar biasa, harus terbelakang karena masyarakatnya sebagian masih hidup dalam budaya yang  cenderung masih susah berubah. Mereka masih banyak yang mengandalkan hasil hutan, makan dari umbi- umbian serta hasil berburu. Masuk ke pedalaman Papua juga tidak mudah. Mereka terisolir oleh alam yang masih ganas.

Sementara dunia berubah cepat semenjak ada teknologi apalagi sejak perangkat digital menjadi andalan generasi milenial. Penduduk Papua yang maju bisa mengikutinya tetapi yang berada di pedalaman yang jauh dari jangkauan transportasi sangat susah untuk keluar dari adat, hukum suku dan pengetahuan minim tentang dunia luar. Mereka hidup dalam kemerdekaan alamnya, meskipun kini mulai terancam oleh para pendatang yang jauh lebih pintar memanfaatkan teknologi untuk mengolah alam Papua menjadi tambang uang. Mereka yang kreatif dan menganggap alam Papua menjanjikan segera bisa bangkit dan mampu sejahtera dari apa yang tersedia di alam dan kreatif memanfaatkan celah budaya Papua yang masih primitif.

Saudara- saudara Papua yang berpendidikan banyak yang berprestasi, baik prestasi akademik maupun prestasi kerja. Kekuatan fisik, ketangguhan menaklukkan medan berat, kesabaran mengolah alam menjadi modal besar untuk berusaha dan berwiraswasta. Sayangnya banyak kawan- kawan Papua sering cepat panas dan emosional jika dikaitkan dengan fisik, warna kulit dan keterbelakangan budaya.

Problema Kaum Urban dan Penduduk Asli

Orang Jawa pendatang banyak yang sukses di Papua karena keuletan dan kreatifitasnya dalam memanfaatkan peluang. Mereka juga tidak putus asa dan tidak takut miskin, hingga segala resiko ditempuh untuk bisa bertahan di rantau. Maka dengan semakin banyaknya pendatang dan mereka sukses di sana mungkin membuat iri penduduk asli. Ketangguhan pendatang dan majunya perekonomian para pendatang menjadi salah satu pemicu iri hati penduduk setempat. Semakin lama kesenjangan ekonomi meningkat sementara penduduk asli yang berkembang dan hidup seadanya semakin merasa tersisihkan.

Sebetulnya problemnya sama dengan Penduduk Betawi asli yang semakin lama semakin tersisih dan akhirnya hidup dipinggiran kali/sungai atau menjauh dari pusat Jakarta dan hidup semenjana di pinggiran Jakarta dengan pekerjaan yang hanya mengandalkan fisik, sementara para pendatang sangat menguasai perekonomian dan akhirnya bisa menyisihkan penduduk "asli" menyingkir ke tepian.

Problem manusia urban dan penduduk asli itu sekarang semacam virus yang susah ditanggulangi. Obatnya ya penduduk asli harus sama tangguhnya dengan pendatang agar bisa menguasai ekonomi dan tidak tersisih dari persaingan. Hukum alam akan selalu membela yang kuat dan menyingkirkan yang lemah.

Yang terjadi di Papua saat ini salah satunya adalah kecemburuan ekonomi, gesekan- gesekan ideologi, agresifitas agama yang membuat manusia bisa saling membunuh hanya karena beda keyakinan, beda suku, beda keberuntungan.

Pengaruh Politisi dan Pengusaha "Hitam"

Kebetulan ada politisi jahat yang memanfaatkan kecemburuan sosial, memanfaatkan rawannya masalah agama yang kemudian bisa digoreng dan dimanfaatkan untuk memecahbelah persaudaraan. Tmbuh kebencia, tumbuh rasa tidak suka yang menyebabkan manusia satu dengan yang lainnya saling curiga- mencurigai. Ditambah munculnya paham agama radikal yang ingin mengacak- acak persatuan dan kesatuan bangsa.

Dengan sedikit kepandaian mempengaruhi orang dan iming- iming masuk surga para aktifis agama yang kebetulan suka dengan faham radikal, bergerak di kantong- kantong penduduk yang masih mudah dipengaruhi di brainwash sehingga muncul lagi semangat suku- suku yang tidak suka pada para pendatang untuk memusnahkan pengaruh pendatang dan berusaha merusak apapun harta benda para pendatang. Muncul sparatis- sparatis yang berjuang dari pedalaman, mengobarkan api kebencian. Dan banyak Masyarakat internasional khususnya yang berkepentingan dengan kekayaan bumi Papua ikut nimbrung memanaskan suasana. Berbagai kepentingan menyuntikkan dana, menggerakkan kerusuhan dengan kekuatan uang tidak terbatas, tujuannya satu, Papua lepas dan merdeka sehingga mereka kembali pesta mengeruk kekayaan Bumi Lorosae.

Politisi, pengusaha- pengusaha yang dulu ikut menikmati betapa gurihnya emas, saham saham Freeport, sangat gusar dengan ketegasan pemerintah menghentikan kerakusan mereka. Maka mereka dengan meminjam tangan lewat gerakan Papua Merdeka, Sparatis yang keji, aktifis agama yang berusaha mencuci otak penduduk dengan paham radikal.

Penulis tentunya tidak bisa menjamin seratus persen benar dugaan penulis, tetapi  motif pemberontakan, sparatisme itu bisa dipelajari. Awal mulanya karena rasa iri hati, kecewa, merasa ditinggalkan, dijauhi hingga akhirnya muncul perlawanan.

Pemerintah harus bergerak cepat untuk mencegah kekerasan di Papua akibat maraknya isu- isu di media sosial dan riuh rendahnya pengaruh- pengaruh agama yang berusaha menghilangkan kultur asli kebudayaan Papua. Banyak aktivis agama yang berusaha menyetop apapun paham klasik budaya Papua yang sudah turun temurun mereka lakukan. Memaksa merubah kiblat budaya menjadi mempercayai seratus persen ajaran agama baru yang belum tentu cocok dengan budaya setempat.

 Jangan Paksa Papua makan Nasi

Saran penulis kalau mereka lebih nyaman makan Papeda, Petatas (ubi rambat Papua) sebagai makanan pokok jangan dipaksa harus makan nasi, Jika mereka lebih nyaman memakai koteka ya jangan langsung dipaksa memakai baju, perlu proses untuk berubah... sebab pemaksaan hanya akan membuat persoalan baru, biarlah Papua berkembang dengan kearifan budaya setempatnya. Pemuka agama, misionaris, politisi harus menguasai dan belajar dari kearifan lokal untuk merubah Papua menjadi lebih maju. Papua didengarkan dari suara hati mereka, dirubah yang menghambat untuk maju, dipahami budayanya sebagai kekayaan budaya yang mesti dilestarikan. Toh banyak filosofi suku- suku di sana yang bisa dipelajari dan diserap sebagai sumber kebijakan manusia dalam memandang kehidupan.

makanan pokok Papua adalah Sagu (papeda)dan ubi rambat, serta ulat kayu (fak-tanews.com)
makanan pokok Papua adalah Sagu (papeda)dan ubi rambat, serta ulat kayu (fak-tanews.com)

Sekarang ini masyarakat sering terjebak oleh ajaran- ajaran para pemuka agama yang lebih suka mengobarkan kebencian, mempertajam perselisihan dan memperkuat fanatisme beragama. Agama menjadi pemicu pertengkaran dan perselisihan bukan sumber ketenangan dan perdamaian. Inti ajaran agama adalah cinta kasih tetapi sering dipahami lain oleh para pemuka agama yang ingin menggiring pengikutnya mencintai membabi buta agamanya tetapi tidak mengembangkan watak sosial bahwa disamping beragama manusia juga perlu bekerja sama, saling menolong tanpa sekat. Agama adalah keyakinan tiap pribadi sedangkan manusia tetap harus hidup normal dalam komunitas yang beragam.

Mencintai Papua Seperti Mencintai Diri Sendiri

Mencintai Papua itu seperti halnya mencintai diri sendiri, berusaha bijak menjauhi pengaruh buruk dari luar, mengembangkan kebaikan yang berasal dari bisikan hati nurani, mempertahankan watak baik yang sudah ada turun temurun, dan membuang kebiasaan buruk yang menghambat kemajuan.Karena sesungguhnya watak sparatisme itu muncul karena manusia jarang mendengarkan nasihat orang lain.(sama seperti ego saya yang kadang susah untuk dinasihati demi kebaikan karena merasa sudah benar). Salam Merdeka, Mari kita cintai Papua sebagai satu saudara. Tanpa harus memaksa sama dengan kita. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun