Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sempatkah Penceramah "Populer" Melakukan Kontemplasi?

20 Agustus 2019   09:29 Diperbarui: 20 Agustus 2019   09:49 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penceramah Sesekali perlu menyendiri untuk kontemplasi dan koreksi diri atas aktifitas yang rutin dilakukannya (pixabay.com)

Seorang penceramah pernahkah melakukan kontemplasi, permenungan, perenungan atas segala perkataannya. Mereka yang sepanjang hari dikejar- kejar oleh jadwal ketat memenuhi job sebagai pembicara, penceramah agama. 

Jam istirahat sedikit, materi- materi yang bertumpuk untuk dipelajari, lalu secara spontan dikemukakan di depan orang-orang yang menantinya memberikan pencerahan iman.

Apa Sih Kontemplasi itu?

Dalam KBBI bisa dikatakan bahwa kontemplasi adalah renungan dan sebagainya dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh. Boleh jadi kontemplasi itu memberi perhatian pada suatu obyek bisa benda bisa diri sendiri. 

Kembali menyentuh kehakikian, menyentuh relung paling dalam dari sisi manusia. Manusia perlu berhenti beraktifitas untuk sekedar berdialog dengan tubuh berdialog dengan diri sendiri.

Apakah seorang penceramah masih sempat mengoreksi segala perkataannya, meneliti sejauh mana semua naskahnya yang akan dipaparkan kepada khalayak Jemaahnya mampu memberi pencerahan, motivasi dan memberikan dorongan untuk meneliti diri sendiri. 

Bukan bertujuan untuk menjelekkan dan mengupas kejelekan orang lain dan kelompok lain, melainkan mengajak untuk meneliti diri sendiri apakah sudah mampu menghormati orang lain sebelum dan memperlakukan orang lain sebagai mitra sejajar, sesama ciptaan Tuhan meski beda dalam keyakinan dan beda dalam tata ibadat.

Kalau dalam pikiran penceramah hanya menjaga agar tetap populer di kalangannya sendiri, hanya berusaha menyenangkan dan tetap laris ditanggap di mana -- mana bagaimana bisa memberi cermin bagi tiap pribadi yang rendah hati, pribadi yang melakukan praktik cinta kasih tanpa sekat perbedaan ideologi dan agama.

Negara berkembang yang sedang membangun diri untuk bangkit dan mengejar ketinggalan masih bekerja giat untuk membedakan kepentingan agama dan kepentingan umum. 

Pergaulan tanpa dinding fanatisme sempit, mau mencela diri sendiri, mau mengoreksi kekurangan kelompok dan mampu melawan arus bila kelompoknya melakukan pelencengan ajaran kasih.

Penulis tidak hendak membandingkan para top pemuka agama yang laris manis ditanggap dan mengumpulkan pundi- pundi uang hasil kemahiran berkata- kata dan tabungan pengetahuan semasa sekolah yang bisa diutak- atik gatuk untuk memperkaya isi ceramah.

Ceramah harus memukau, membuat bangkitnya semangat untuk mengikuti apa yang diucapkan penceramahnya. Penceramah mampu menghipnotis dan mencuci otak orang- orang yang terpukau dengan kata- kata saat berada di mimbar.

Maka bila seorang penceramah terlihat sukses mengaduk -- aduk sisi emosi manusia yang mendengarnya, ia termasuk orang yang mempunyai masa depan karena mampu menterjemahkan keinginan orang terdekat, atau orang yang dibayar untuk saling memotivasi diri.

Bagi mereka yang mendengar penceramah berbicara ada yang terhipnotis;semua perkataannya seperti doa. Perkataan penceramah seperti mewakili Tuhan. Dan akhir-akhir ini banyak kelompok, ormas, kelompok- kelompok keagamaan mengandalkan kekuatan dan sugesti dari penceramah untuk meraih surga yang diimpikan.

Jernih Membuka Ruang Bathin agar Ceramah Bisa Menyentuh Sisi Terdalam Manusia

Siapapun yang ingin menjaga penceramah dicintai umatnya maka mau tidak mau harus belajar, mencoba melihat dengan jernih setiap kata- kata yang terucap. Kalau manusia sudah menganggap yang lain paling bodoh dan dirinya paling pintar maka manusia seperti itu patut dikasihani.

Ada waktunya saat hening, sangat sakral  masyarakat digiring untuk mengenang pahlawan yang gugur membela tanah air dengan cucuran darah dan air mata, mengenang betapa manusia selalu mendapat cobaan- cobaan saat menjalani kehidupan. Ada saatnya sesempurna apapun penceramah diri mereka juga mempunyai sisi lemah yang tidak diketahui yang mengelu - elukannya

Penceramah "dalam" khotbahnya saat ia merasakan benar apa yang diucapkan. Penceramah jujur dengan pengalaman pribadinya, jujur dengan orang- orang yang sangat berharap mendengarkan ceramah  yang datang dari hati bukan karena pesanan dan bukan karena tema yang dipaksakan karena menyesuaikan diri dengan komunitas, atau mendengarkan pesanan orang- orang yang berani mengundangnya dengan bayaran mahal.

Ketika ranah privasi sudah susah ditemukan penceramah harus semakin waspada untuk tidak melecehkan, menghina kelompok lain, dan memberikan suasana sejuk pada masyarakat sekitar baik yang beragama sama maupun yang berbeda.

Sempatkah penceramah mengisi ceruk nuraninya dengan mempertebal pengetahuannya (bila penceramah tentu ilmu- ilmu tentang agama hapal. Bukan sekedar hapal tetapi harus menghayati, mampu mencerna simbol- simbol pengetahuannya. 

Mampu menghargai masyarakat yang berbeda keyakinan, mampu mengendalikan kejahilannya dalam mengupas kejelekan orang lain, atau agama lain. Bisa jadi isi khotbah seorang pendeta, pastur sangat tidak nyaman didengar orang lain karena sebenarnya isinya hanya menjelek- jelekkan orang lain.

Orang- orang yang melakukan kontemplasi dan yang  sering meluangkan waktu untuk diri sendiri dan membangun dialog dengan manusia lain adalah orang- orang yang top. Top karena ia tidak gila hormat, tidak minta ditempatkan di ruang khusus, eksklusif. Ia adalah bagian dan kehidupan, bagian dari masyarakat.

Mulut semakin sering digunakan sering juga malah menjadi sasaran empuk orang- orang yang  memanfaatkan keseleo lidahnya untuk dijebloskan ke penjara. 

Yang tidak sinkron antara yang keluar dari mulut dengan alur cerita yang senyatanya terdengar mendebarkan, mengharukan harus tahu diri dan menunggu dengan sabar jika hendak lewat di jalan yang sedang digunakan kelompok orang lain.

Mereka yang berada di puncak popularitas kadang
mabuk pujian, mabuk kehormatan, ingin selalu diperhatikan seperti menjadi selebritas baru, apapun bisa menjadi berita, dan lupa bahwa sekali- sekali ia perlu berdialog dengan diri sendiri, melakukan kontemplasi, melakukan introspeksi atas segala kata yang pernah terlontar ke khalayak.

Bahwa manusia bukan malaikat, bukan dewa yang maha benar, ia pun kadang salah dalam memahami masalah dan sering tersudut oleh pertanyaan tiba- tiba yang mesti bisa dijawab.

Tetapi karena tuntutan ingin sempurna kadang sekali- sekali menipu audiencenya, menipu pendengarnya dengan pengetahuan yang sebetulnya belum dikuasainya. 

Dan apa yang menimpa seorang pemuka agama terkenal, yang pengikutnya sampai jutaan, menjawab pertanyaan tetapi dengan pengetahuan tidak lengkap, dengan melakukan perbandingan, atau berdiskusi untuk menjawab pertanyaan sensitif. 

Penceramah seharusnya tidak sok tahu, menutupi diri bahwa ada pertanyaan yang mesti tidak perlu dijawab kalau hanya menimbulkan kehebohan.

Tragedi bisa terjadi yang bisa mencederai kerukunan, persatuan dan keutuhan bangsa. Berderetnya penceramah yang bermodal kepandaian berbicara atau berorasi, dengan latar belakang ilmu yang terbatas, menjadi keprihatinan masyarakat. 

Di era digital, internet apapun pembicaraan bisa direkam, bisa deteksi. Kalau sampai viral dan akhirnya menimbulkan kegaduhan maka setiap penceramah harusnya bisa mengerem laju kata- katanya untuk tidak memicu polemik dan akhirnya memecah belah masyarakat.

Sebagai penulis yang hanyalah debu dari mereka yang sedang dalam menara gading popularitas, yang bisa saya sumbangkan adalah tulisan, entah mau membacanya atau tidak, penulis berusaha bertanya pada nurani, apa yang bisa penulis sumbangkan untuk  negeri ini untuk tidak menimbulkan kegaduhan yang berujung kecamuk perang saudara.

Masalah nasionalisme, masalah kebangsaan akan sangat rawan bila banyak ceramah yang isinya menjelekkan kelompok lain. 

Semakin sering memojokkan kelompok orang lain atau keyakinan lain sesungguhnya ia sedang bermasalah dengan dirinya. Sebaiknya mereka yang memutuskan menjadi penceramah adalah mereka yang sudah selesai dengan diri sendiri. Karena sesungguhnya perkataannya adalah cermin dirinya sendiri. Salam Damai, Salam Merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun