Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Setelah Sidang MK Mari Hentikan Bicara Bodoh

29 Juni 2019   06:34 Diperbarui: 29 Juni 2019   07:08 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Mendengarkan kebodohan- kebodohan dari orang- orang yang sebetulnya pintar dan cerdas setelah sidang MK, saya mengajak diri sendiri dan tentunya teman yang sempat membaca tulisan saya  hentikan bicara bodoh, bicara tanpa fakta dan asal beda.

Berhenti Bodoh dan Berpura -- pura Pintar tapi Berbohong

Dalam sidang Mahkamah Konstitusi banyak orang pintar tetapi menempatkan diri sebagai orang bodoh, seakan- akan ia menyalahi kenyataan bahwa yang terjadi selama pemilu telah terjadi kecurangan secara Masif, Sistematis dan Terstruktur. 

Deretan saksi, pengacara dan para pengamat pembela pemohon seakan- akan sedang mencari panggung untuk menipu pemirsa dengan membacakan kesaksian seolah- olah benar padahal sesungguhnya ia tahu salah. 

Mereka sengaja mencari celah untuk menggiring masyarakat bahwa banyak sekali penyimpangan, banyak sekali kebohongan yang dilakukan kubu lawan. Padahal bukannya mereka tidak tahu, tetapi sengaja bicara salah agar yang salah itu akhirnya menjadi benar. 

Bahkan pemuka agama yang seharusnya diandalkan berkata jujur dan cerdas nurani dan imannya malah membuat provokasi tentang surga dan neraka, sengaja membelokkan fakta hanya untuk hasrat berkuasa. Politik memang sah- sah saja melakukan kelicikan, tetapi agama seharusnya tidak terseret dalam arus.

Kebodohan apalagi yang diperlihatkan ketika masyarakat semakin cerdas memahami fakta, jejak digital dan mampu membedakan berita bohong dan berita fakta. Dengan seluler, informasi -- informasi dari berbagai portal berita seharusnya warga bisa selektif mana yang berita bohong penuh intrik dan berita benar berdasarkan bukti- bukti otentik.

Banyak orang bisa melihat, bagaimana melakukan kecurangan dan penggelembungan besar jika setiap tahapan pemilu selalu diikutkan saksi- saksi yang disumpah untuk membuktikan kinerja  petugas KPPS, KPU dan Panwaslu. 

Kalau masih ada kesalahan dalam situng, itu karena human error dan masih bisa diperbaiki dengan memperkuat hitungan manual. Penghitungan manualpun masih menyertakan saksi yang bisa melihat secara gamblang proses perhitungan.

Orang- orang cerdas, pengacara, ajarkan kami masyarakat berpikir pintar dan dana jangan coba- coba  membangun citra sebagai orang bodoh, mengorbankan diri diberi cap konyol yang akan melekat pada diri anda setelah sidang selesai. 

Negara butuh orang- orang  cerdas untuk membangun tahapan pendidikan karakter yang baik bagi generasi penerus, bukan memperlihatkan kebodohan yang sengaja dilakukan untuk membantah fakta dan menipu kenyataan dengan ngotot menampilkan dalil- dalil halusinasi yang nyatanya tidak terbukti kebenarannya.

Kami tahu setelah sidang anda para pakar di bidang hukum sedang tertawa- tawa dan foto- foto selfie bersama sebagai satu almamater yang tahu persis celah- celah hukum. Anda saja sedang bersandiwara sebab anda memang dibayar untuk memenangi perkara meskipun harus mengacak - acak nurani pendengar dan pemirsanya.

Jangan Sampai Masyarakat Menjadi Gila Gara- Gara Perdebatan Tidak Berujung

Hampir setahun kami dibuat gila oleh ulah- ulah petualang politik yang terus bersikeras berperang opini. Mental lelah dan capai melihat anak- anak bangsa saling bersitegang untuk sebuah pilihan politik. 

Tahukah anda, gara- gara sidang masif di televisi yang siarkan secara live ataupun streaming persahabatan dengan teman sempat putus, silaturahmi dengan tetangga sempat stagnan dan simpang siur pembicaraan di WA menjadi tidak sehat.

Jangan lagi digiring ke arah isu bodoh yang membuat lagi- lagi harus mengerutkan dahi untuk sebuah kegiatan yang seharusnya digunakan untuk usaha produktif. 

Menghadapi masalah sehari- hari saja di mana barang- barang kebutuhan sehari- hari  mahal sementara pendapatan tidak seberapa sudah pusing tujuh keliling, masih harus berlelah menyaksikan pertunjukan kebodohan yang menjadi perhatian hampir setiap hari di layar kaca atau di internet.

Banyak Youtuber berusaha mengaduk aduk emosi dengan judul yang membuat adrenalin membuncah meskipun faktanya beritanya sangat biasa jauh dari menarik, tetapi kesan sensasi sudah muncul lewat judul yang heboh. Satu persatu orang tertipu oleh penampilan luar, visualisasi yang diperlihatkan seolah- olah pemilik kebenaran.

Banyak orang menjadi pandai bicara, pandai khotbah padahal hanya mempunyai bekal popularitas dan viewer. Pengkhotbah- pengkhotbah selebritas berseliweran di layar kaca memenuhi dahaga masyarakat pada siraman rohani instan sehingga yang terlihat secara fisik dengan kata- kata hiperbolis muncul tanpa terkendali. Banyak orang percaya tanpa mengendapkan dulu dengan proses permenungan, penelaahan, pemahaman akan fakta dan logika. Fanatisme pada tokoh menutup nurani yang sebetulnya cerdas.

Mengapa banyak orang tertipu pada penampilan, pada narasi- narasi yang mengajak orang berpikir jungkir jempalik. Sudah hilangkah rasa, sudah hilangkah kenyataan bahwa kehidupan manusia itu penuh ujian. Orang dewasa sudah melewati masa penjelajahan pada benturan- benturan masalah yang sering hinggap dalam kehidupan. 

Sudah banyak belajar pada kesalahan, sudah banyak melewati beratnya ujian entah kegagalan, duka, lara, putus asa. Dari pengalaman tersebut manusia pasti sudah belajar bagaimana menghadapi kegagalan dan rasa frustasi. 

Tidak mungkin satu manusia yang selalu bahagia dan melewati perjalanan hidup tanpa masalah. Orang sukses dan berhasil pasti pernah merasakan pahit dan duka lara dan itulah sesungguhnya manusia.

Memusatkan Energi Untuk Indonesia yang Maju

Sekarang Indonesia baru saja melewati pertunjukan yang menguras energi dan mental. Sidang melelahkan yang akhirnya menetapkan pemimpin yang dipilih oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Setiap kontestasi pasti akan ada yang kalah dan menang. 

Yang kalah sejenak kecewa, sedih dan merasa gagal, sedangkan yang menang merasa tersanjung dan senang. Yang gagal tidak harus berlarut merasakan kekecewaan dan kekesalan, sedangkan yang menangpun sudah siap- siap memikul tanggung jawab besar untuk memanggul beban janji selama kampanye.

Panggung selanjutnya adalah paparan kecerdasan, bersama- sama kompak membangun bangsa dengan caranya sendiri. Yang menang harus mampu memegang janji dan berusaha keras tidak mengecewakan pemilihnya. Yang kalah menjadi oposisi dan partner yang akan selalu mengingatkan janji- janji saat kampanye, menjadi sosok kritis yang akan selalu mengkoreksi kekurangan, tetapi tentunya tidak membabi buta mencari kesalahan. 

Lawan yang tangguh, oposisi yang baik  juga mampu memberi masukan. Sebab mengkritik diasumsikan sudah mempunyai solusi untuk mengatasi kekurangan tersebut, jika hanya sekedar mengkritik tanpa solusi namanya waton suloyo kembali lagi menjadi orang pintar tetapi sok bodoh.

Energi bangsa ini harus dikerahkan untuk mengejar ketinggalan dari negara- negara maju yang sudah berpikir jauh untuk menemukan teknologi baru, mengatasi masalah klasik dari lambatnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

China sudah berpikir menemukan cara untuk membuat teknologi yang lebih canggih dari sistem android dan bahkan sudah menemukan formula  teknologi industri. 5.0, Indonesia masih berkutat pada perdebatan masalah agama dan politik yang tidak kunjung selesai.

Anak- Anak Cerdas Banyak Perlu Wadah dan Penghargaan Tinggi

Anak- anak cerdas masih kebingungan mencari induk semang panutan yang bisa menampung mereka menciptakan formula baru dan produk intelektual yang dihargai tinggi, pemerintah masih mencari cara bagaimana meningkatkan sumber daya manusia di tengah simpangsiur pendidikan yang belum merata dan jauh dari penguasaan literasi.

Banyak orang yang masih mabuk gelar sehingga akhirnya memilih jalan pintas dengan membeli gelar dan memanipulasi proses. Gelar doktor bisa dibeli hanya demi ambisi memperoleh kedudukan sebagai rektor atau posisi politik. 

Gelar menjadi sebuah kebanggaan, padahal kenyataannya semakin tinggi gelar tanggungjawab pada keilmuwan semakin berat karena tuntutan karya ilmiah dan penemuan formula baru pengetahuan.

Mari berhenti bodoh dalam memanipulasi informasi. Saatnya berusaha pintar dan cerdas membangun jaringan komunikasi yang mampu menjawab tantangan zaman. 

Jangan sampai Indonesia menjadi lahan subur dari para ahli luar negeri sedangkan Indonesia hanya menjadi penonton yang melongo merenungi kebodohan terstruktur, masif dan sistematis dari kesalahan diri sendiri yang menipu diri sendiri bahwa sesungguhnya setiap manusia Indonesia itu cerdas, hanya kurang mempunyai mental kuat dalam usaha dan belajar.Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun