Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memahami Falsafah Jawa, Meredam Konflik Agama dan Politik

6 Juni 2019   15:14 Diperbarui: 6 Juni 2019   15:45 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesuh menatap idolanya kalah, seperti merajut kesumat dendam yang mengalir dalam darahnya. Ia sudah tidak percaya lagi kepada teman, kawan bercanda dan berdiskusi karena ia merasa temannya ada di seberang, beda pilihan beda dunia. Dunia serasa runtuh dan ia kesal karena yang menang adalah sosok yang ia bencinya. Ia benci dan muak dengan segala celoteh orang tentang diri orang itu.

Kebencian  Menutup Kebenaran

"Benci memang menutup segala kebaikan. Ia tidak peduli bahwa sumber informasi tentang Projo bersumber dari media sosial. Sepanjang hari ia mendengar tulisan di media sosial itu terus saja menjelek- jelekkan Projo. Bahkan sebetulnya kalau dipikirkan lebih tenang dan tidak emosial agak janggal. Ilmu otak- atik gathukpun susah mengaitkan satu peristiwa dengan lainnya menjadi sebuah peristiwa bernalar "

Yang ia tahu dalam pertandingan apapun ia memaklumi kekalahan dan kemenangan, tetapi kali ini semua media sosial selalu menjungkalkan kejernihan berpikir. Semuanya dibalik- balik sesukanya. Bahkan yang mengaku cerdas dan religiuspun termakan oleh berondongan berita di media sosial. Banyak orang seperti  terkesima, merasa terpukau dengan berondongan kata- kata yang akhirnya menjatuhkan seseorang ke dalam narasi bodoh.

"Apapun kebaikan yang kau lihat, aku tidak pernah yakin bahwa Projo itu orangnya tulus, ia seperti polos tetapi sebenarnya licik, ia seperti manusia tanpa dosa tetapi sebenarnya jilmaan iblis. Ia hanya pencitraan, demi kekuasaan ia korbankan orang lain. Dan anehnya banyak yang menyukai wajah yang sebetulnya hanyalah wujud pencitraan belaka. Tuhan pasti akan memberi azab. Bagi orang yang berpura pura baik."Demikian kata Probo.

Banyak orang akhirnya termakan hasutan, terkesima oleh khotbah para pemuka agama yang tidak membahas esensi kebaikan, tentang sangkan paraning dumadi, tentang Gusti, tentang Tuhan yang tan kena kinaya ngapa (Tuhan yang tidak bisa digambarkan). Karena kebencian, banyak sanak kadang saling congkrah/saling berdebat dan akhirnya pecah persaudaraan.

"Karena pilihan politik banyak hal bisa muncul."

 Kebencian telah menutup ruang jernih berpikir manusia. Banyak yang akhirnya berpikir terbalik menabrak logika hanya karena keharusan memilih pemimpinnya berdasarkan keyakinan politik identitas dan hasutan media sosial yang membandang hingga mengaburkan kehidupan, mengaburkan kebaikan dan didorong ke jurang kebencian yang menganga lebar.

Dan meskipun momentum hari suci tetap saja cuitan di status selalu menarasikan kebencian yang sudah sampai ubun- ubun. Karena tiupan informasi yang susah dipertanggungjawabkan kebenarannya banyak orang akhirnya benci membabi buta, menganggap apapun yang dilakukan oleh orang yang dibencinya tidak pernah benar.

"Pokoknya aku tidak mau mendengarkan apapun alasanmu tentang sisi kebaikan Projo. Titik. Jangan paksa berubah haluan. Aku sudah mempunyai yang jauh lebih gagah dan baik. Ia akan memakmurkan masyarakat, menghilangkan utang dan membuat bahagia.Ia bukan orang pidak pedarakan (rakyat jelata)jadi tidak lagi silau oleh kekayaan."

"Sampai kapan kau membenci Projo?" tanya Media.

"Sampai idolaku menang di pengadilan"

***

Memahami Falsafah Jawa

Dalam filsafat Jawa seperti yang sudah saya tulis di atas yaitu Gusti tan kinaya ngapa (Tuhan yang tidak bisa digambarkan) manusia hanya bisa meraba bagaimana kira- kira rupa Tuhan, manusia tidak benar- benar bisa menggambarkan utuh siapa Tuhan yang ia sembah.

Tuhan itu adalah sangkan paraning dumadi Tuhan adalah sumber segalanya. Dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Ternyata ajaran filsafat Jawa itu sungguh luar biasa. Sekarang banyak manusia lebih suka menonjolkan identitas, entah agama, suku, ras ataupun cakupan pergaulannya.

 Agama yang pada dasarnya mengajarkan cinta kasih berubah karena dogma radikalis yang membuat manusia tersekat- sekat oleh  perbedaan agama. Fanatisme sempit telah melebarkan permusuhan antar teman, sahabat dan tetangga. Seperti saya dan banyak netizen lainnya lebih sibuk meneriakkan kebencian akibat beda pilihan presiden. Dan Presiden yang tidak pernah memaki siapapun di terjang habis- habisan oleh isu tidak sedap.

Manusia seperti menikmati gosip, menikmati bagaimana mulutnya terus mengudak- udak informasi menjadi ujaran kebencian. Darah kebencian yang akut telah mengalahkan jejak kebaikan yang dibangun lama. Ada kebencian akut pada pemimpin yang tidak pernah memaki rakyatnya tetapi ada begitu banyak orang sengaja memanas - manasi situasi sehingga seakan- akan negara sedang diambang keruntuhan. 

Mengapa ketika orang tengah beribadah masih saja ada yang tega menyuarakan kebencian. Padahal esensi khotbah dan tauziah adalah mewartakan kebaikan bukan hanya sekelompok orang atau golongan tetapi pada semua orang. Kebaikan itu universal, sebab kita tahu Tuhan itu milik semua orang dalam falsafah Jawa Tuhan itu adalah sangkan paraning dumadi. Untuk apa berdoa tekun dan khusuk sementara mulut masih nyerocos meneriakkan kebencian, menyakiti orang lain.

Saat ini banyak orang salah kaprah dalam memahami agama. Kembali ke filsafat Jawa yang ternyata mempunyai dimensi dalam untuk dimengerti manusia. Kearifan lokal ternyata sudah diwariskan nenek moyang sejak dahulu, jauh sebelum agama- agama impor masuk ke Nusantara ini. Ada falsafah Agama Ageming Aji. Agama itu baju yang sangat berharga. Jika agama diyakini hanya karena merasa lebih sempurna dari yang lain maka kesempurnaan itu terasa cacat sebab masih ada kesombongan yang terselip dari pikiran dan jiwa manusia beragama. Jika masih merasa mempunyai laku adigang- adigung adiguna maka manusia menjadi aneh dalam menjalankan laku beragama.

Sekarang ini banyak orang lebih menonjolkan identitas, dan amat bangga dengan ajaran dengan baju yang sebetulnya tidak cocok dengan kearifan lokal. Manusia dulu sangat menyatu dengan alam, merasa bisa satu jiwa sebab manusia mengandalkan "rasa", ia bisa merasakan kesedihan dan kesunyian alam, pepohonan dan alam sekitarnya. 

Banyak orang kelewat percaya diri dan menganggap orang lain tidak lebih pintar dari dirinya, maka ia pun dengan sombong terus membombardir banyak orang dengan baju yang sebetulnya tidak cocok pada alam di mana manusia seharusnya bisa saling menghargai meskipun berbeda - beda. Tetap utuh meskipun dalam cara menyembah Tuhan berbeda. Tetapi inti beragama, tiap manusia pasti sama. Manembah pada satu Tuhan, Allah Yang menciptakan Alam Semesta.

Para janma sajroning pakewuh, kasudranira andadi, daurune saya ndarung keh tyas mirong murang margi, kasetyan wus ora katon (orang- orang  di zaman sulit kerendahan budinya menjadi- jadi, tidak tanduknya berlarut larut, banyak tekad sesat  dan  salah jalan kesetiaan sudah tidak tampak)

Jadi untuk apa saling membenci hanya karena beda pilihan. Media sosial telah mengikis akal budi manusia. Banyak orang terperdaya oleh kata- kata yang seakan- akan benar namun menyesatkan. Masyarakat harus kembali menjadi manusia utuh yang mampu berpikir jernih, bukan hanya dengan emosi tetapi juga dengan "rasa". Akhirnya banyak hal sesat yang membawa manusia pada kesombongan, tidak mau kalah meskipun sebenarnya sudah kalah, terus berteriak curang, tetapi tidak pernah introspeksi diri bahwa ia juga curang.

Manusia perlu membaca kembali falsafah kehidupan lokal yang tidak kalah agungnya untuk melengkapi bekal agama dan keimanan yang dianut sekarang. Salam Damai Selalu.

Referensi: Agama Ageming Aji Menelisik Akar Spiritualisme Jawa Penulis Asti Musman. Pustaka Jawi, 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun