Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mesti Hati-hati Memaknai Kata Atas Nama Rakyat

26 Mei 2019   19:45 Diperbarui: 26 Mei 2019   21:16 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membanjirnya informasi instan dari media sosial portal berita di internet/ dunia maya mengharuskan masyarakat untuk membaca gelagat. Informasi apapun harus ditelaah bukan sekedar hanya dibaca sekilas lalu kemudian berbagi pada sesama netizen. 

Netizen harus pandai memilih berita dan mengendapkannya lebih dahulu baru mencernanya dengan jernih. Sebab banyak informasi yang datang itu bisa saja informasi dari tangan ketiga, keempat dan kurang bisa dipertanggungjawabkan nilai faktualnya. Netizen harus menelaah judul, isi dan kontennya agar tidak terjebak untuk menyebarkan berita- berita bohong yang membanjir di ruang berpikir kita yang hidup di jaman serba canggih ini.

Membanjirnya informasi dan Kurangnya Pengetahuan Literasi Masyarakat

Kecepatan informasi memang luar biasa, makanya pemerintah kerepotan memilah- milah informasi yang masuk dalam ranah informasi masyarakat. Ada banyak persepsi mengenai informasi. 

Jika masyarakat terbiasa menelan mentah- mentah sebuah berita tentu akan mudah terjebak dalam penggiringan opini bahwa berita itu benar dan akhirnya berita yang sebetulnya salah karena terus membobardir ruang informasi warga maka akhirnya dipercayai kebenarannya.

Para politisi sekarang pandai memanfaatkan kelemahan masyarakat. Begitu mudahnya mendapat informasi jadi tulisan apapun yang dibaca bisa jadi referensi dan akhirnya referensi itu dijadikan pijakan pola pikir masyarakat yang serba instan tersebut. Saya merasa sebagai penulis dan penyuka literasi mesti hati- hati menulis. 

Sebuah artikel yang saya tulis mesti melalui proses untuk melakukan kroscek fakta. Apapun kecuali fiksi fantasi yang mengharuskan saya merdeka menceritakan mimpi dan khayalan. Namun fiksipun masih harus mengandung misi pencerahan bukan hanya sekedar menulis namun bisa beranjak dari fakta yang disamarkan.

Membanjirnya informasi tidak disertai dengan giatnya masyarakat pada kegiatan literasi. Masyarakat tidak boleh menerima mentah- mentah berita sehingga artikel opini dipercayai sebagai sebuah berita. Kekritisan masyarakat pada berita yang membandang itu adalah PR besar yang harus segera dipecahkan. Kalau tidak masyarakat akan menjadi korban dari media- media yang belum tentu benar mengungkap fakta.

Perilaku masyarakat yang gampang termakan informasi bohong membuat kemelut dalam sebuah negara. Negara- negara Timur Tengah yang paling awal menjadi korban dan berita- berita hoax sehingga memecah belah mereka dan akhirnya muncul ketegangan, perselisihan, saling berperang antar saudara hingga hancurnya persatuan dan kesatuan negara karena perang berkecamuk tak kunjung berhenti.

Indonesia mesti waspada, sebab sudah ada skenario untuk mengadu domba, ada upaya untuk menurunkan tingkat keprcayaan pada pemerintah, melalui berita- berita yang memojokkan. Pemerintah dibuat kalang kabut sehingga ketika dari narasi kebohongan itu memuncak pasca pengumuman KPU ada pihak ketiga yang berusaha memperkeruh suasana. Sayangnya upaya memecah belah  masyarakat itu boleh dikatakan gagal.

Politisi dengan Strategi Menggiring Opini

Para politisi gagal yang ingin merangkak pada puncak kekuasaan dengan cara- cara inkonstitusional, sengaja membangun narasi yang menyesatkan sehingga masyarakat banyak yang termakan hasutan, provokasi yang meyakinkan dari mereka. Isu isu PKI sengaja dihembuskan, isu China yang sering digambarkan menyerbu semua lini sampai tenaga kasar impor China terus berembus. Rasa iri, benci sengaja digosok- gosok sehingga pada suatu saat akan meledak dan muncul perang antar etnis. 

Antar suku dan bangsa yang susah payah mencapai kemerdekaan menjadi hancur lebur. Dari pengalaman ini sebaiknya masyarakat memang tidak boleh mudah percaya pada narasi elite politik. Masyarakat harus selalu kritis dan tidak mudah percaya pada provokasi elite yang tengah mabuk agama, mabuk untuk berkuasa. Sportifitas menerima dan menanggapi kekalahan dan kemenangan pemilu tidak harus mencederai masyarakat sehingga  muncul faksi- faksi, muncul pembelahan yang dengan mudah diadu domba.

Tagar#TidakAtasNamaSaya Sebagai Penyeimbang Masifnya #Atas Nama Rakyat

Saya setuju jika harus memasang tagar#TidakAtasNama Saya. Ini untuk mengantisipasi politisi,ataupun Tokoh agama yang mencampuradukkan urusan politik dan agama. Mereka yang hendak mengadu domba masyarakat dengan narasi- narasi atau serbuan video dan gambar yang menyesatkan.

Mari bekerja dengan tekun dan tidak mudah terprovokasi bila ada yang mengatakan Islam marah Kepada Kapolri, Islam merasa di zolimi oleh negara, dianaktirikan pemerintah. Yang beragama selain Islampun hendaknya juga berjaga- jaga dengan tetap terus mengedepankan dialog, menjaga kerukunan dan menghormati agama mayoritas. Membantu siapa saja  baik pemerintah, elemen masyarakat, ulama yang berusaha memberikan pencerahan betapa narasi sejuk, narasi Indonesia aman, tetap bersatu dengan dasar Pancasila harus selalu digaungkan.

 Mari bendung serbuan informasi hoax dengan selalu melakukan cek dan ricek. Masyarakat harus cerdas, sadar literasi dan selalu waspada pada segala macam hasutan menyesatkan. Politisi memang pandai mengemas kata- kata. Yang hanya isu saja bisa dijadikan informasi seakan- akan nyata. Bila ada tagar #bela Umat, #Bela Agama cek dulu siapa yang menggaungkan. Harus cermat melihat yang tersirat bukan hanya yang tersurat saja.

Tokoh Politik Tahan Untuk Tidak Memprovokasi Masyarakat

Amien Rais, Fadli Zon, Andre Rosiade, Danil Anzar Simanjuntak, Yusuf Martak, Riziek Shihab yang sering sekali tampil menjadi antitesis pemerintah, sepertinya anda boleh tetap mengkritik dan terus bersikap mengontrol pemerintah. Tetapi ada beberapa narasi anda yang akhirnya memicu masyarakat untuk membenci pemerintah, membenci kekuasaan, membenci apapun upaya pemerintah untuk memajukan masyarakat tanpa dibayangi sekat- sekat politik, identitas (agama, suku, ras, pribumi dan non pribumi, Muslim dan Non Muslim).

Catatan digital sangat banyak yang menyerbu publik. Pernyataan- pernyataan anda bisa jadi menjadi pemicu perpecahan, memcu konflik terus hadir. Oposisi apapun memang diperlukan untuk alat kontrol supaya tidak lagi muncul pemerintahan diktaktor dan otoriter, tetapi membangun persepsi seakan- akan pemerintah gagal menyejahterakan masyarakat, pemerintah abai terhadap umat beragama, pemerintah represif karena terlalu sering membungkam kekebasan berpendapat.

Tapi jika akhirnya banyak pelaku mengkerdilkan capaian pemerintah negara memang harus tegas. Jika ada yang menghina simbol- simbol negara tentunya sebagai pemegang tampuk kekuasaan ada legitimasi untuk menyentil dan memperingatkan dengan melalui cara- cara persuasif dan jika bandel ya dengan penangkapan sesuai prosedur hukum dengan senjata Undang - Undang yang memuat pasal penghinaan terhadap simbol- simbol negara.

Pemerintah Perlu Kritikan Tetapi Bukan Asal Kritik

Jika pada kenyataannya pemerintah salah dan sering merugikan masyarakat tentunya sikap kritis toh harus menjadi kewajiban masyarakat. Namun jika pemerintah dalam segala keterbatasannya ternyata sudah bekerja untuk membantu masyarakat apresiasi tentu harus diberikan.

Masyarakat rasanya harus progresif membantu pemerintah mewujudkan masyarakat adil makmur sejahtera. Masyarakat bekerja keras, Pemerintah membuat kebijakan yang membantu masyarakat berkembang, kreatif dan berdaya saing. Sinergi penting bukan hanya menggantungkan harapan tetapi malas membantu mewujudkan cita- cita negara.

Pak Amien  Rais, anda bisa menjadi alat kontrol pemerintah tetapi ya jangan menjadi benalu yang menghambat kemajuan bangsa. Jangan mudah percaya dengan seruan#AtasNama Saya,#AtasNamaRakyat.

Pak Prabowo anda menjadi bintang bersama Pak Jokowi, mari hargai kompetisi sehat dalam setiap apapun pertandingan yang berpotensi kalah dan menang. Jika kalah yang aku dengan ksatria dan sportif, Jika Menang ya jangan besar kepala, tetap memberi harapan bahwa setelah kemenangan yang ada adalah masyarakat yang satu dalam tujuan yaitu membangun bangsa yang unggul.

Bagi yang abstain tidak masuk pihak manapun tugas anda adalah menyatukan baik kecebong maupun kampret. Bukan berarti dengan tidak terlibat apa- apa anda merasa tidak peduli sama sekali dengan nasib bangsa ini. Sama- sama warga negara wajib menjalankan hak dan keajibannya sebagai warga masyarakat, kecuali anda merasa bukan warga bangsa ini. Salam Damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun