Dalam beberapa bulan ini saya memang cukup asyik menulis politik. Apakah saya punya pengetahuan mendalam tentang politik (tidak juga). Dalam menulis politik saya akan mencari referensi dari baik dari buku politik yang sempat saya abaca sekilas maupun berita- berita yang datang dari media mainstream semacam Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Koran Tempo atau majalah Tempo.Â
Saya suka analisis politik Tempo yang amat detil dan investigatif dalam menyajikan berita politik. Tempo bisa kritis dan tidak tedeng aling- aling dalam mengkritik meskipun yang dikritiknya adalah rezim yang sedang berkuasa.
 Sedangkan Kompas dulu saya sangat suka membaca Tajuk Rencana ketika Pak Jakob Oetama masih aktif dalam keredaksian. Di majalah Tempo saya harus merenung lama jika membaca catatan pinggirnya Gunawan Muhammad.
Menulis sebetulnya bukan sekedar meluapkan emosi. Apalagi tulisan opini lebih ke arah subyektifitas penulis. Maka ketika menulis artikel di Kompasiana, opini dengan sudut pandang pengetahuan sendiri adalah originalitas penulis itu sendiri.Â
Tingkat genuine -nya sebuah tulisan bila tidak banyak catatan pinggir entah yang datang dari cuplikan- cuplikan makalah, tulisan- tulisan apra ahli, penulis, pengarang.Â
Spontanitas menulis tentu harus ditunjang oleh luasnya pengetahuan. Jika tidak pernah membaca (terutama buku pengetahuan umum, populer, sains, seorang penulis akan gampang kehilangan ide sebab pengetahuannya masih minim dan cenderung tidak up to date hingga tulisannya tidak menarik, monoton dan membosankan, hanya pengulangan- pengulangan dengan sudut pandang sempit.
Yang Berkualitas Belum  tentu Menarik Pembaca
Dari pengalaman saya menulis artikel populer ternyata bisa mengukur diri untuk kembali merunduk, kembali merenungi beberapa tulisan yang sepi pembaca tetapi sebetulnya amat berkualitas untuk meningkatkan daya kritis pikiran.
Tulisan sensasional memang dikonsumsi sebentar hanya karena situasi dan kondisi tertentu. Terutama ketika ada riuhnya pembicaraan politik yang sekarang ini meriah dengan simpang siur hoaks, ujaran kebencian. Ada keterbelahan antara pendukung rezim, oposisi dan orang- orang yang abstain (golput).
Mereka semua meminta perhatian, ingin diprioritaskan ingin didengar. Penulis dengan kecenderungan pada sebuah rezim tentu saja berusaha keras menampilkan sisi positif petahana.Â
Tetapi tidak akan mudah dipercayai oleh mereka yang kecewa pada rezim yang awalnya mereka fanatik mendukung tetapi kecewa karena ternyata pada akhirnya  harapannya yang tinggi itu harus kandas karena kemauan mereka tidak terakomodasi.Â