Berbulan -- bulan , bertahun -- tahun rutin menulis, ribuan bahkan jutaan kata terangkai dan ternyata apa yang kita tulis belum bisa disebut sukses bahkan sepi pembaca apakah ada perasaan gagal dan frustrasi ? Saya pernah merasakan situasi seperti itu. Sudah berusaha maksimal dan memakai banyak cara terutama memancing artikel dengan mengambil sedikit kata -- kata  mutiara dari penulis terkenal tetap saja ada perasaan aneh merambat. Respon pembaca tidak sebanding dengan usaha mati -- matian penulis menghadirkan tulisan berkualitas.
Saya pernah merasa gagal ketika tulisan  hanya mendapat respon pembaca sangat sedikit.  Merasa sudah berjuang sekuat tenaga agar tulisan bisa menginspirasi tapi tanggapan tetap saja sepi. Lalu apa yang harus saya lakukan. Masa bodoh yang penting saya menulis ( itu kata- kata rasa putus asa sebetulnya).
Menulis Sebagai Ujian Kesabaran
Menulis bagaimanapun adalah ujian kesabaran. Dengan konsisten menulis maka tidak terasa seorang penulis belajar sabar menanti karya diapresiasi publik. Terkadang apa yang dibayangkan tidak sesuai ekspektasi. Sudah membayangkan artikel akan booming ternyata sepi. Kadang merasa frustrasi ketika tidak ada tanggapan terhadap artikel- artikel yang  tayang di platform blog semacam Kompasiana. Dan dari situ merasa gagal menghasilkan karya berkualitas. Ada semangat yang redup, ogah- ogahan merasa gagal mencapai target yang diinginkan.
Bolehlah dikatakan merasa gagal itu mengakibatkan  writer - block. Sebelum "keterusan" bosan dan merasa gagal ada baiknya seorang penulis perlu jalan -- jalan. Saya sendiri pernah merasakan ketika suatu saat tiba- tiba tidak ingin melihat apapun platform blog yang sebelumnya rutin dilirik, dibuka, dijelajahi artikelnya dan dibaca tentunya. Saya merasa waktu itu ada perasaan gagal sebagai penulis. Ratusan artikel yang sudah ditulis  seperti sia -- sia karena level yang ingin dicapai tidak terengkuh.
Menulis itu pengendapan, permenungan dan pengejawantahan pemikiran. Saat ini saya merasa jika tidak menulis sehari saja rasanya gelisah. Kalau tidak menyentuh tuts laptop ada yang yang hilang dari rutinitas harian. Ternyata sudah ada sambung rasa antara jemari, otak dan keinginan menulis.
Kegagalan menikmati asyiknya menulis telah membuat terjun bebasnya kreatifitas dalam menulis. Ada kepedihan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata- kata, ada perasaan kosong bila tidak menulis barang sehari dua hari saja.
Kegagalan itu tahapan awal meraih Kesuksesan
Kegagalan bukan berarti kiamat. Akhirnya saya harus pergi dulu ke perpustakaan, ke toko buku, mencari buku  yang bisa membangkitkan semangat untuk bisa menuangkan ide. Pada pajangan - pajangan buku di etalase saya perlu pengetahuan yang menginspirasi, mengikuti ruang lapang untuk berdiskusi. Mereka para penulis jujur mengungkapkan perasaan saat kehilangan gairah menulis. Ada beberapa faktor mengapa membaca atau pergi ke toko buku bisa  bisa manambah gairah dalam menulis:
 Melihat buku- buku yang tercetak unik dan indah lewat kaver yang memikat saya merasa penasaran buku - buku yang terpajang itu tentu buah tangan para penulis yang berani nekat, berani ambil resiko dan tidak takut bayangan kegagalan. Melihat, membaca isi dari buku- buku atau katakanlah mencuri sekalimat dua kalimat kata  - kata inspiratif dalam buku tersebut membuat saya cepat -- cepat ingin membuka laptop, atau sekedar mengingat beberapa kata mujarab yang mampu mengembalikan gairah menulis.
Dalam baris -- baris kalimat  di buku sudah tercetak tulisan inspiratif yang siap menggoda saya untuk bangkit dan kembali menulis. Menulis itu sungguh menggairahkan dan bisa menjadi candu yang susah disingkirkan. Sementara banyak teman yang kebingungan mencari kata pembuka untuk mulai menulis, saya gelisah karena hasrat menulis itu terkendala oleh pekerjaan rutin yang harus diprioritaskan sebelum kembali tenggelam dalam hasrat menulis yang menggelegak.