Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politisi "Memedi" bagi Rakyatnya?

23 Februari 2019   13:29 Diperbarui: 23 Februari 2019   15:45 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memedi Sawah (orang-orangan sawah yang berfungsi untuk menakut- ankuti hama semacam burung pemakan padi bisa diartikan menjadi memedi yang bertuuan menakut- nakuti seperti yang tergambar dalam suasana politik saat ini (style.tribunnews.com)

Sebenarnya terasa sarkastis jika menyamakan Politisi dengan memedi (orang- orangan sawah yang sengaja dipasang untuk menakut- nakuti hama padi terutama burung ). Tapi bolehlah berpendapat karena sekarang sedang trend kampanye yang menggunakan taktik menakut- nakuti. Rakyat ditakuti pada kebijakan yang katanya tidak pro rakyat, lebih pro asing, atau aseng.

Masyarakat diberi gambaran menakutkan tentang utang negara yang bisa membuat bagkrut negara atau membuat negara lenyap. Masyarakt dibingungkan dengan simpang siur manfaat infrastruktur. Ketika dalam skala kecil ada masalah dengan jalan desa yang terjal dan belum mendapat sentuhan tangan pemerintah, politisi lalu memblowup hingga digambarkan bahwa itulah kondisi rakyat sebenarnya, Kerja pemerintah itu pepesan kosong, hanya menebar janji tapi tidak ditepati.

Politik Tebar Ketakutan

Apakah politisi memang senang jika masyarakat ciut nyalinya, pesimis hidup mereka dan selalu mengeluh akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap mereka. Apa sih manfaatnya menakut- nakuti rakyat? Semuanya tentu berkaitan erat dengan ajang pilpres dan pileg 2019. Dalam beberapa bulan terakhir masyarakat seperti tercekam ketakutan akan banyak peristiwa pelik dan menakutkan dengan perhelatan pilpres.

Pembaca tentu sudah membaca betapa masifnya fitnah yang beredar. Perang komentar, perang klaim, saling rebut constituent, saling mengokupasi dapil agar masuk dalam radar mereka dan tergiring untuk memilih jagoannya.

Lalu sebenarnya  apa esensi wakil rakyat? Apakah selama ini wakil rakyat mampu membantu pemilihnya lepas dari jerat kemiskinan dan kesulitan? Saya belum menemukan simbiosis mutualisme antara wakil rakyat dengan rakyatnya. Mungkin ada tetapi hanya skala kecil. Sekarang wakil rakyat ditantang untuk benar benar menjadi penyambung lidah rakyat untuk merumuskan kebijakan populis yang membuat rakyat bahagia, bisa tertawa dan senang.

Rasanya masih segar ingatan pemilu 2014. Para wakil rakyat menggebu, mencari simpati kepada rakyatnya, sampai jabatan hampir berakhir apa kerja wakil rakyat. Mereka lebih gaduh dengan membuat pernyataan- pernyataan kontroversial di media sosial, di layar kaca. Banyak akhirnya wakil rakyat tertangkap karena kasus korupsi, menerima gratifikasi, menerima suap, bancakan proyek, terciduk KPK dan mendekam di sana. Itupun mereka seperti tidak merasa salah, masih bisa tertawa hahahihi, seakan tidak pernah melakukan tindakan dosa yang membuat masyarakat pesimis akan peran wakil rakyat.

Masih beruntung rakyat atau masyarakat Indonesia cepat lupa, ketika banyak tokoh kembali maju sebagai wakil rakyat, terciduk melakukan korupsi tapi akhirnya mendapat pengampunan setelah keluar penjara dan  dengan tanpa dosa kembali maju dengan sisa korupsi menggunung yang masih mereka miliki kembali berusaha merebut suara pemilih di kantong- kantong rakyat.

Politikus kembali melakukan perang dengan masuk dalam timses. Mengkampanyekan pemimpinnya dengan cara kurang elok, menebar kebencian, mengritik pemerintah dengan kasar. Menepikan etika yang penting meraih kemenangan apapun caranya. Mereka terinspirasi banyak negara yang berpijak bahwa "Kekuasaan yang sesungguhnya -- sebenarnya saya tak ingin menggunakan kata ini -- ketakutan" (kata kata Trump seperti yang dikutip penulis Bob Woodward, cukilan artikel dari romo Sidhunata,Kompas, Sabtu, 23 Februari 2019 berjudul Memedi Sawah).

Tidak kurang Adolf Hitler, Jair Bolsonaro, Duterte dan banyak pemimpin dunia disamping Donald Trump menggunakan taktik dengan mengusung ketakutan, pesimisme untuk mengubah persepsi publik. Masyarakat seperti tengah dalam masa tanggap darurat di mana negara abai dan tidak memihak. Bahkan justru memberikan tenaga kerja asing, investor asing menguasai bumi, tanah air.

Narasi menakutkan itu tentu bila didengung-dengungkan terus secara masif lama- lama tertanam dalam benak masyarakat. Akhirnya masyarakat lebih percaya pada gosip daripada penjelasan resmi di media mainstream atau pidato pemerintah. Ketakutan itu membuat masyarakat menjadi tidak rasional, mudah marah, gampang dihasut dan terjebak dalam keputusasaan.

Lalu siapa yang layak didengar? menjadi bias karena narasi kebencian membobardir sampai ke tulang sumsung. Bahkan  tempat ibadat, agama yang seharusnya netral tercemari fitnah- fitnah dengan mendengungkan doa , melakukan aksi massal doa di tempat terbuka, memberi kesan bahwa Tuhan membela mereka yang telah berdoa dengan dukungan massa yang besar. Bahkan ada artis yang membuat puisi bernada ancaman kepada Maha Pencipta bahwa merekalah sesungguhnya pemilik kerajaan surga, pemilik kebenaran hingga hanya kepada merekalah Tuhan berkenan. Tuhan kok diintimidasi. Aneh.

Ketakutan adalah lapisan terdasar dan terawal dari emosi manusia (Martha Nussbaum). Bahkan di tempat ibadat dengan cara kotbah menggiring jamaahnya untuk membenci pemimpinnya. Mendekatkan agama dengan politik praktis. Inilah zaman dimana dalam istilah populer jawa: wolak- walike jaman. Jaman serba terbalik yang benar dianggap sesat yang sesat dianggap benar. Yang waras dan jujur dianggap melakukan pembohongan yang bohong benaran dijadikan pahlawan dan dianggap kata- katanya lebih dipercaya.

Masyarakat bingung dengan pernyataan Politisi yang "Seakan- akan Benar"

Masyarakat dengan kemampuan nalar rendah tentu menjadi bingung, mereka kemudian hanya percaya pada kata- kata, gambaran yang dijejalkan terus menerus dalam otak dan pikiran mereka. Bahkan memahami kothbah agamapun tidak perlu harus ditelaah apa yang dikatakan pemuka agama adalah perintah yang perlu dilaksanakan. Maka politisi pintar memanfaatkan tempat ibadah untuk mencuci otak rakyat yang masih polos yang belum melek politik yang kebetulan hidupnya masih kembang- kempis, yang belum mapan secara ekonomi.

Dengan iming- iming surga, dan kehidupan lebih layak entah nanti dilaksanakan atau tidak yang penting rakyat sudah termakan oleh janji dan misi berhasil. Mereka tentu akan menepikan dahulu hati nurani. Kemenangan adalah mutlak maka apapun caranya harus dilakukan.

Memedi akan berguna jika sukses menakut- nakuti. Serangga dan hama lenyap petanipun senang tetapi apakah masyarakat itu semacam hama bagi politisi? Sumonggo menyimpulkan sendiri. Semoga setelah pemilu masyarakat segera sadar bahwa masyarakat harus selalu optimis menghadapi berbagai masalah dalam hidup mereka. Para politisi, pemimpin mungkin cepat lupa pada janji mereka.

Rakyat kembali bekerja tanpa bantuan politisi. Rakyat hanya menjadi perantara bagi mereka duduk di kursi pucuk pimpinan negara dan tempat tidur empuk di senayan. Maaf Politisi, sebagai rakyat hanya bisa mengkritisi. Maklum dengan kedunguan akut saya tidak bisa menyumbang apa- apa selain pemikiran dan spontanitas berpikir masyarakat yang kebetulan hobi menulis ini. Mari bahagia tanpa terjebak dalam ilusi memedi sawah seperti judul artikel G P Sindhunata di Kompas.

Bahan: Artikel "Memedi Sawah" oleh Sindhunata , Kompas Sabtu , 23 Februari 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun