Lalu siapa yang layak didengar? menjadi bias karena narasi kebencian membobardir sampai ke tulang sumsung. Bahkan  tempat ibadat, agama yang seharusnya netral tercemari fitnah- fitnah dengan mendengungkan doa , melakukan aksi massal doa di tempat terbuka, memberi kesan bahwa Tuhan membela mereka yang telah berdoa dengan dukungan massa yang besar. Bahkan ada artis yang membuat puisi bernada ancaman kepada Maha Pencipta bahwa merekalah sesungguhnya pemilik kerajaan surga, pemilik kebenaran hingga hanya kepada merekalah Tuhan berkenan. Tuhan kok diintimidasi. Aneh.
Ketakutan adalah lapisan terdasar dan terawal dari emosi manusia (Martha Nussbaum). Bahkan di tempat ibadat dengan cara kotbah menggiring jamaahnya untuk membenci pemimpinnya. Mendekatkan agama dengan politik praktis. Inilah zaman dimana dalam istilah populer jawa: wolak- walike jaman. Jaman serba terbalik yang benar dianggap sesat yang sesat dianggap benar. Yang waras dan jujur dianggap melakukan pembohongan yang bohong benaran dijadikan pahlawan dan dianggap kata- katanya lebih dipercaya.
Masyarakat bingung dengan pernyataan Politisi yang "Seakan- akan Benar"
Masyarakat dengan kemampuan nalar rendah tentu menjadi bingung, mereka kemudian hanya percaya pada kata- kata, gambaran yang dijejalkan terus menerus dalam otak dan pikiran mereka. Bahkan memahami kothbah agamapun tidak perlu harus ditelaah apa yang dikatakan pemuka agama adalah perintah yang perlu dilaksanakan. Maka politisi pintar memanfaatkan tempat ibadah untuk mencuci otak rakyat yang masih polos yang belum melek politik yang kebetulan hidupnya masih kembang- kempis, yang belum mapan secara ekonomi.
Dengan iming- iming surga, dan kehidupan lebih layak entah nanti dilaksanakan atau tidak yang penting rakyat sudah termakan oleh janji dan misi berhasil. Mereka tentu akan menepikan dahulu hati nurani. Kemenangan adalah mutlak maka apapun caranya harus dilakukan.
Memedi akan berguna jika sukses menakut- nakuti. Serangga dan hama lenyap petanipun senang tetapi apakah masyarakat itu semacam hama bagi politisi? Sumonggo menyimpulkan sendiri. Semoga setelah pemilu masyarakat segera sadar bahwa masyarakat harus selalu optimis menghadapi berbagai masalah dalam hidup mereka. Para politisi, pemimpin mungkin cepat lupa pada janji mereka.
Rakyat kembali bekerja tanpa bantuan politisi. Rakyat hanya menjadi perantara bagi mereka duduk di kursi pucuk pimpinan negara dan tempat tidur empuk di senayan. Maaf Politisi, sebagai rakyat hanya bisa mengkritisi. Maklum dengan kedunguan akut saya tidak bisa menyumbang apa- apa selain pemikiran dan spontanitas berpikir masyarakat yang kebetulan hobi menulis ini. Mari bahagia tanpa terjebak dalam ilusi memedi sawah seperti judul artikel G P Sindhunata di Kompas.
Bahan: Artikel "Memedi Sawah" oleh Sindhunata , Kompas Sabtu , 23 Februari 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H