Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Olok-olok Warganet terhadap Calon Presiden Lebih Seru

17 Februari 2019   07:44 Diperbarui: 17 Februari 2019   11:19 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat milenial yang selalu rajin mantengin Gadget sedang mendapat moment tepat untuk menyalurkan bakatnya. Mengolok- olok. Dan kali ini yang mendapat "sampur untuk diolok- olok adalah calon pemimpin negara. Saking semangatnya kadang- kadang warganet tidak sempat introspeksi diri. 

Mereka sempat dan senang memojokkan pemimpin yang tidak disukainya, mencari titik kesalahan, mentertawakan blunder- blunder para politisi. Membaca bibir, gesture dan kebiasaan- kebiasaan hingga muncul meme unik yang mengeksploitasi kekurangan dan kelebihan calon presiden (karena sekarang yang menjadi fokus bahasan adalah citra calon presiden). 

Saya kadang terbawa ikut- ikutan membahas dengan pongah kelemahan calon dengan acuan cenderung berat sebelah. Namun masih baik saya tidak menampilkan dalam tulisan- tulisan saya. Saya lihat banyak kawan penulis berani mengupas kekurangan "musuh sementara di Pilpres 2019". 

Keterbelahan membuat saya membelalakkan mata, betapa peran medsos mampu menarik garis batas antara dua kubu. Muncul istilah kampret dan kecebong. Keduanya saling klaim kebenaran, saling melempar bara api dari semburan kata- kata di statusnya entah di twitter, Facebook, blog, youtube dsb.

Olok- olok menjadi habit, sudah melekat dan membudaya dalam "budaya bahasa medsos' yang serba berlebihan. Istilah jagad medsos lambe turah. Nggambleh, ngoceh. Ah Sebodo teuing, bodo amat yang penting komentar. Gara gara ngetwit keceplosan badai omelan, olok- olokpun membuncah. 

Jika salah memilih kata bisa menimbulkan kiamat kecil. Di bulan- bulan sensitif sekarang ini apapun dihubungkan dengan situasi politik. Anda mau tidak mau akan mengerek logika yang sebenarnya biasa saja menjadi luar biasa karena berbau politik.

Emosi tiba- tiba datang saat ada netizen mencoba mengaduk warga dengan kata-kata provokatif. Contohnya yang paling  anyar adalah terpelesetnya CEO Bukalapak Ahmad Zacky yang mengunggah data  tentang ketertinggalan Indonesia dengan negara lain masalah anggaran  R & D(Research and Development) yang masih jauh dari negara- negara  maju serta berharap pada Presiden baru bisa naikin..."Omong kosong Industri 4,0 kalau budget R&D negara kita kaya gini...Indonesia urutan 43. Indonesia 2B.Mudah- mudahan presiden baru bisa naikin."

Sontak warganet terutama dari pendukung Jokowi atau yang dsebut kaum kecebong merespon dengan #uninstallbukalapak. Kerugian tentu dialami bukalapak sebagai institusi perusahaan startup yang tengah berkembang. 

Baru saja Presiden memuji dan mendukung upaya bukalapak ekspansi perusahaan, tiba- tiba ceonya blunder dengan twit yang tak terduga akibatnya. Maka hati -- hati membuat status saat negara dan warga masyarakat tengah menghadapi event besar bernama pilpres. 

Presidennya mungkin ora popo dan mengerti maksud kata- kata CEO tersebut tapi kesan kata- kata yang dipahami kecebong tentu beda karena tengah sensitive dengan kata -- kata ganti Presiden/presiden baru.

Sindiran meme kecebong dan kampret (jogjakartanews.com)
Sindiran meme kecebong dan kampret (jogjakartanews.com)
Olok-olok aksi kejam warganet kadang melebihi apa yang dimau pemimpinnya. Jokowi dan Prabowo amat paham tentang kebangsaan, pentingnya persatuan, pentingnya bela negara. Otak dan pikiran pemimpin bisa saja murni untuk mengabdi dan melayani rakyat, tapi rakyat yang jutaan dan kebetulan sedang mabuk status dan euforia terhadap teknologi tentu mempunyai pikiran sendiri. 

Mumpung tidak terlihat, hanya foto yang bisa saja foto orang lain atau sekedar emoticon atau bebas mengungkapkan makian, ujaran kebencian yang sebetulnya bukan habit asli  orang dengan budaya Timur.

Sekarang bahasa medsos tampak amat vulgar. Masyarakat seharusnya bisa mengerem kata- kata "nylekit, menyakitkan dan bisa menimbulkan hubungan dengan saudara renggang, dengan tetangga menjadi kaku dan tidak sebebas ketika tidak ada event pilpres. "

Debat pilpres memasuki tahap kedua. Tanggal 17 Februari nanti kedua kandidat presiden akan saling mengadu gagasan, mengadu program. Mereka dengan timsesnya pasti sudah mempersiapkan diri menghadapi debat yang banyak membahas tentang infrastruktur, pangan, energi terbarukan.

Masyarakat medsos sudah lebih dahulu berdebat, mereka saling beradu gagasan dan meramalkan apa yang akan dilakukan kandidat favoritnya. Olok olok sudah leboh dahulu hadir mengawali debat yang hari ini berlangsung. Siapakah pemenang debat yang pertama adalah masyarakat medsos. Mereka pandai dan cerdas dalam berdebat tapi belum tentu mampu mewujudkan dalam menghadapi masalah bangsa yang kompleks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun