Posisi Jokowi sebagai Petahana mengharuskan untuk lebih aktif menangkal hoax dan isu-isu yang terus menyerangnya membabi buta.
Banyak isu  berseliweran, banyak fitnah yang menghantam dirinya. Dari isu PKI sampai antek asing, dari keturunan China sampai ada seseorang yang menyangsikan Jokowi lulusan UGM.
Data dan Fakta jelas tapi mereka yang terlanjur benci akut tidak pernah mau merujuk data. Mereka hanya merujuk suara- suara viral yang membobardir media sosial yang dipercayai sebagai kebenaran.
Era Post truth telah melahirkan badut- badut intelektual yang menjual kewarasannya demi sebuah loyalitas buta (Blind Loyality). Satu fokusnya mengganti Jokowi.
Jokowi Memilih Agresif dan Ofensif
Maka mau tidak mau Jokowi lebih agresif ia tidak lagi defensif. Jokowi punya senjata untuk menyerang. Dengan data dan sejumlah fakta tentang rekam jejaknya yang cukup teruji. Ia tidak ingin dianiaya tanpa perlawanan. Ia mulai bergerak sebab lawan amat agresif menyerang dengan berbagai trik.
Mereka sudah tidak perduli hati nurani, segala cara dilakukan untuk menggerus elektabilitas petahana. Mulai dengan memperbesar isu utang negara, ketidakseimbangan antara utang dan pendapatan.
Narasi-narasi seram beredar di dunia maya seolah menggambarkan posisi Indonesia gawat darurat. Kepintaran mengolah kata-kata indah seperti puisi dimanfaatkan untuk menyindir dan bermain di ranah politik yang profan dan tidak mengenal sastra sebagai produk keindahan. Isi puisinya adalah nyinyiran jiwa bukan kekaguman pada ciptaan Yang Kuasa. Entah bagaimana posisi ilmu sastra jika diseret dalam politik praktis.
Sekarang terjadi umpatan sebagai bahasa sehari- hari. Dulu ketika kata-kata dungu, goblok, begitu ditaruh di rak-rak tersembunyi sekarang yang katanya ahli filsafat bisa dengan ringan "men-dungu-kan" siapa saja yang tidak sejalan dengan pikirannya.
Saking gemesnya Jokowi, muncullah istilah Propaganda Rusia. Sebenarnya propaganda Rusia itu hanya istilah bukan mengacu  dan menyeret negara Rusia masuk dalam polemik politik Indonesia. Kata Jokowi, "Ini hanya terminologi dari artikel yang saya baca di Reins Corporation."
Selanjutnya Jokowi menjelaskan, "Sehingga ya memang tulisannya seperti itu, bahwa yang namanya semburan kebohongan, semburan dusta, semburan hoaks itu bisa mempengaruhi dan membuat ragu dan membuat ketidakpastian. Dan itu biasa di negara-negara lain tanpa didukung oleh data -- data yang kongkret ya memang seperti itu." (Detik News.com,Rabu 6 Februari 2019. "saat Jokowi blak- blakan bosan "main halus")
Pernyataan Kontroversial "Propaganda Rusia"
Lawan Jokowi riang gembira jika Jokowi melakukan blunder. Mereka seperti mempunyai amunisi untuk menyerang Jokowi.
Fadli Zon bahkan tergopoh-gopoh chating dengan Duta Besar Rusia minta maaf atas ucapan presidennya. Padahal Fadli tentu hanya mendapat berita sepotong dan sudah dianggap sebagai informasi gamblang bahwa Jokowi menyerat negara Rusia dalam politik Indonesia.
Propaganda Rusia Menurut Maskirovka dari informasi Global News, mengacu pada taktik Russian Military Deception/The Russian Arti of Deception adalah penggabungan informasi (disinformasi), penipuan militer, kamuflasi dan menyaru (Tribunnews.com Senin 4 Februari 2019"Pidato Jokowi Terkait Propaganda Rusia..."). taktik ini biasa dalam taktik perang negara-negara di manapun.
Sejumlah netizen segera menggoreng polemik tentang Jokowi yang mengaitkan Rusia untuk menggambarkan betapa ruwetnya jagad politik Indonesia jika kampanye memakai hoaks, narasi kebencian untuk merebut suara rakyat.
Yang kebingungan tentu rakyat, terutama yang sudah terlanjur meyakini bahwa informasi di sosmed sebagai sebuah kebenaran. Mereka akan memberi tambahan menu supaya fakta yang sebenarnya tidaklah seperti yang tergambar dalam pikiran netizen menjadi lebih ngeri. Lalu akhirnya akan ada orang percaya Indonesia bisa bubar 2030.
Apa yang dilakukan Duterte, Jair Bolsonaro, Donald Trump menjadi acuan lawan Jokowi untuk memecah belah kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Semua fakta dijungkirbalikkan dan menganggap rakyat masih bisa dibodohi dengan narasi yang sengaja diulang-ulang dibuat menjadi viral dan akhirnya diakui sebagai kebenaran.
Jokowi tentu tidak bisa tinggal diam, masa ia hanya diam dijadikan sansak tinju kaum Salawi (Semua salah Jokowi). Ia harus menyerang, tidak diam seperti yang dilakukan selama empat tahun belakangan.
Rawe-rawe rantas malang-malang putung, Jokowi sudah menggelung lengan baju. Ia akan maju lebih agresif. Tapi tentu dengan perhitungan matang.
Bosan dengan diam maka Jokowi mantak aji, gumregah, tidak ingin menjadi pion yang menjadi sasaran dari menteri, kuda ,dan benteng. Ia bisa bergerak mematikan langkah menteng, mengganggu gerak kuda dan kemudian kokoh berdiri di takhta raja.
Jokowi bisa menjelaskan mengapa ia mengambil terminologi "Propaganda Rusia" bukan berarti mendiskreditkan Rusia tapi istilah itu memang hanya sebuah analogi. Lawan pun akhirnya terjebak untuk menunjukkan bahwa mereka benar menggunakan strategi dari Amerika untuk menggiring Indonesia pada chaos politik.
Untungnya masyarakat cerdas, mereka yang masih bisa menggunakan hati nurani jernih pasti mampu melihat calon pemimpinnya masa datang.
Memilih Berdasarkan Suara Hati Nurani
Saya sih bukan hendak membela Jokowi, saya hanya membela hati nurani. Dalam relung hati nurani saya hanya ingin memilih yang sudah bekerja bukan yang sedang mengkhayal.
Sebetulnya jika lawan Jokowi mampu menunjukkan fakta bahwa mereka lebih baik dari Jokowi mungkin saya akan memilihnya, tetapi karena mereka memilih strategi "merampok rumah yang terbakar" suara nurani saya berontak. Masa saya harus memilih orang yang di sekelilingnya penuh masalah terutama dengan dirinya dan hati nuraninya.
Itu pendapat saya, bagaimana dengan Anda? Salam damai-damai saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI