Bila menyebut Jokowi  ingatan saya selalu tertuju ketika suatu hari pernah bertemu di sebuah gang di Perumnas Jakarta  Barat. Saya mengingatnya sebagai masa awal kampanye Gubernur DKI Jakarta sekitar tahun 2012. Seorang tinggi kurus berbaju kotak-kotak berjalan dengan dua orang  dan satu polisi yang cukup jauh di belakang. Saat berpapasan ia tersenyum sambil kepalanya mengangguk.Â
Seorang mengenalkan saya bahwa ia bernama Joko Widodo. (dalam bathin saya juga menjawab "sudah tahu"). Tapi yang membekas dalam kampanye itu adalah bahwa kesan sederhana itu begitu membekas. Saya seperti ditarik untuk mengatakan "Ini calon gubernur dari Solo itu? Saya mulai yakin dengan aura Joko Widodo, lalu saya mencoba browsing dan bertanya- tanya tentang rekam jejak Jokowi. Berbagai referensi itu semakin menguatkan kepercayaan saya pada Jokowi.
Jokowi bagi saya adalah pemimpin alami yang lahir dari rahim rakyat, bukan seorang pemimpin yang disetting untuk menjadi pemimpin masa depan. Seperti peristiwa sejarah pemimpin itu diciptakan bukan disiapkan.  Dalam Filosofi Jawa seorang pemimpin adalah seorang yang mendapat pulung, mendapat wahyu keraton. Tak ada orang yang menyangka Sutawijaya akan masuk sejarah sebagai pemimpin dan akhirnya menguasai jagad pemerintahan Mataram. Seperti cerita lainnya jika ingin mendapatkan kepala desa atau lurah warga desa akan menunggu wahyu yang muncul  malam sebelum pemilihan kepala desa. Akan ke mana pulung itu hadir.
Aura pemimpin sudah memancar dari kesederhanaan pria kerempeng yang sekarang lebih banyak menggunakan baju putih sebagai ciri khasnya. Dan akhirnya ia terpilih menjadi gubernur Jakarta bersama pasangannya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Dan sejak memimpin dengan tegas dan tidak kompromi pada kesalahan- kesalahan birokrasi, ia mulai menjadi titik sasar fitnah.Â
Fitnah semakin membesar ketika belum genap ia memimpin Jakarta sudah didorong untuk mencalonkan diri menjadi calon presiden. Apalagi lawannya adalah promotornya yang mendorong ia sukses menjadi Gubernur, Prabowo Subianto.Â
Takdir kehidupan bukan Prabowo yang menang tetapi pria kurus itu yang menjadi fenomena pemimpin yang tidak mempunyai latar belakang keturunan pemimpin atau priyayi berdarah biru. Seorang pengusaha mebel, anak tukang kayu yang hidup di pinggir bantalan sungai Bengawan Solo. Latar cerita terpilihnya sebagai seorang Pengusaha mebel menjadi Presiden mirip seperti dongeng, saya mencoba menepok- nepok pipi benarkah ini kisah nyata. Oh ternyata benar adanya.
Badai fitnahpun mulai akrab dengan Jokowi, Apalagi kubu Prabowo yang terus memelihara ingatan bahwa Jokowi belum layak menjadi Presiden akrena Sebagai Gubernur Jakarta seharusnya ia menuntaskan jabatan selama 5 tahun baru melangkah ke jabatan lebih tinggi. Tapi takdir sejarah tidak bisa ditolak. Jokowi sudah menjadi Presiden ke - 7. Jokowi bekerja cepat membenahi proyek infrastruktur.Â
Berbagai terobosan ia lakukan, termasuk membenahi birokrasi pemerintahan yang kelihatan kaku, diubah menjadi birokrasi efektif yang lebih sehat. Bukan tanpa hambatan karena mengubah kebiasan PNS yang lebih nyantai kemudian menjadi ASN yang berprinsip kerja, kerja, kerja itu tidak mudah.Â
Iklim ABS (Asal Bapak Senang) yang turun temurun sejak Orde Baru, bahkan sebelumnya seperti sudah mendarah daging. Saya menduga banyak yang tidak senang dengan cara kerja Jokowi. Karena mereka merasa terusik dengan budaya yang selama ini telah akrab yaitu politik anggaran, mempergunakan anggaran untuk memperkaya diri.Â
Kolusi, nepotisme dan korupsi sangat lekat dalam sosok ASN. Jokowi mulai dari diri sendiri, menerapkan standar ketat terhadap dirinya dan keluarganya. Ini adaah sebuah  contoh dari seorang pemimpin seperti terpetik dalam filosofi pendidikan Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara Ing  Ngarso Sung Tulodho (di depan memberi teladan).Â
Bagi orang yang berpikiran logis dan positif tentu menyambut baik ajakan Presiden. Tetapi jika dari awal sudah berpikir menjadi ASN untuk memperkaya diri sendiri maka cilaka duabelas. (Jujur saya sendiri lahir dari keluarga pegawai negeri. Pegawai negeri sudah mendapat gaji tiap bulan, mendapat fasilitas pengobatan yaitu subsidi bila opname di rumah sakit, mendapat pensiun lumayan. Dan boleh dikatakan meskipun hidup pas- pasan  keluarga pegawai negeri selalu diibaratkan sebagai keluarga berkecukupan. Tidak kaya tetapi terjamin kehidupannya).
Pegawai negeri sejak dulu selalu diibaratkan sebagi priyayi. Ayah saya sering mendapat predikat Den Guru, atau mas Guru, kakek saya malah lebih elok Lagi Den Mantri (sebutan Kepala sekolah jaman Dulu( Orde Lama). Mungkin sudah tertanam seorang pemimpin itu lahir paling tidak dari keluarga dengan trah biru dengan sebutan raden atau lebih tinggi Kanjeng Pangeran...Itu cerita masa lalu.Â
Sekarang ada filosofi  Jawa  yang mengatakan Jarak Mrajak Jati mati sebuah filosof yang mengatakan bahwa yang mau kerja keraslah yang akan sukses dalam hidup, bukan priyayi yang terlena dalam gelarnya sebagai yang terpandang di mata masyarakat tetapi malas berusaha untuk memperbaiki kehidupan yang semakin keras dan perlu kerja keras untuk sukses.Â
Yang terhormat sekarang adalah pedagang, pekerja keras, pengusaha yang memetik hasil kerjanya bukan mengandalkan gelar yang melekat dalam dirinya sejak lahir. Maka saya seperti tersentak mungkin saya terlena dengan latar belakang keluarga sebagai anak pegawai sekaligus berdarah biru yang akhirnya agak berleha- leha dengan sematan raden di depan nama hehehe...
Jokowi itu anomali. Ia adalah pekerja keras yang merangkak sampai ke puncak. Ia kini menjadi sasaran tembak berbagai pihak. Terutama dari orang orang yang nyaman dengan perilaku kolutifnya selama ini yang membuat ia bisa tetap kaya turun temurun. Banyak yang tidak nyaman dengan prinsip kerja, kerja dan kerja. Tentu butuh kerja keras untuk bisa bekerja dengan standar pegawai swasta yang padat oleh pekerjaan.Â
Jokowi itu adalah orang swasta yang masuk dalam birokrasi. Ia memasukkan orang- orang pekerja keras seperti Ignatius Jonan, Sri Mulyani Indrawati, Susi Pudjiastuti .Profesional yang allout dalam bekerja. Kalau orang- orang partai yang masuk dalam kabinet , cukup tahulah jika kecewa dan kemudian dipecat karena kinerja tentunya ia akan mencari jalan lain dengan berubah haluan, mengritik karena orang partai itu seperti bunglon yang menclok sana menclok sini demi kepentingan yang menjadi prioritas utama.
Lahir kemudian kaum salawi. Semua salah Jokowi. Salah memvonis seseorang salahnya Jokowi, bahkan kecelakaan tunggal di jalan tol karena salahnya sendiri ujung- ujungnya itu salah Jokowi. Apapun pekerjaan Jokowi selalu salah di mata mereka. Mereka memang hidup dalam tempurung fanatisme. Menganggap Jokowi memang salah sejak awal. Lawan- lawan politiknya merasa sebal karena Jokowi telah merusak tatanan.Â
Akhirnya saat ini ketika kontestasi Pilpres tengah berlangsung orang- orang berpaham Salawi akan selalu mencatat kesalahan- kesalahan Jokowi sampai sekecil- kecilnya. Kalau perlu melibatkan intelijen, Â melibatkan pemandu sorak, tim cyber, tim hoax untuk merusak kredibilitas nama Jokowi.Â
Itulah realita politik saat ini. Demi kemenangan politik kejujuran dikorbankan, logika dijungkirbalikkan, kebenaran disingkirkan. Kejujuran di pinggirkan. Â Memasang wajah tidak berdosa, membuat tulisan seolah -- olah logis dengan menarasikan keburukan- keburukan pemerintah yang tidak becus menyatukan banyak orang sehingga negara kondusif dan nyaman.Â
Pegawai negeri diam - diam memihak pada mereka yang menjanjikan kenyamanan hadir lagi. "Kerja kok dibikin sulit, hidup kok dibikin susah, Kerja ya kerja tapi ya tidak perlu ngoyo" Kalau mengikuti ritme kerja Jokowi bisa stres.
Pemimpin itu pilihan. Jokowi itu pilihan, Prabowo, Sandi itu pilihan. Untuk samapi ke jenjang Letnan Jenderal Prabowo sudah melewati banyak cobaan dan ujian. Demikian Juga Sandiaga sampai bisa sukses menjadi pengusaha tajir. Saya yakin mereka semua mempunyai potensi, yang amat disayangkan adalah cara kampanye dari para pendukungnya yang membuat politik menjadi penuh sengkarut.Â
Visi Prabowo itu bagus tetapi didukung oleh orang- orang dibelakang layar yang mempunyai ambisi tertentu yang bisa membelokkan visi dari Prabowo tersebut. Demikian Jokowi Orang- orang partai dan kelompok kepentingan juga mengepungnya.Â
Jokowinya sudah tentu teruji kejujuran dan kredibilitasnya tetapi banyak orang di dekatnya yang mempunyai libido kekuasaan yang bisa merusak nama baik Jokowi. Yang membuat ramai dan rusuh itu media abal- abal yang hanya senang jika mendapat berita sensasional yang membuat tingkat keterbacaan tinggi. Mereka tidak peduli jika akhirnya karena poltik menjadi berbelah dan perpecah- pecah.
Kaum Salawi bisa jadi ditunggangi oleh oknum yang ingin mengembalikan kejayaan para maling, koruptor yang hidup nyaman di negeri ini. Hati-hati Pak Jokowi , hati hati Pak Prabowo. Jika anda terpilih nanti utamakan hati nurani, bukan suara sengkuni.
Itulah kaum Salawi. Semua akan menyalahkan Jokowi meskipun maksud Jokowi itu adalah benar. Ingin memperbaiki bangsa karena terlanjur mewarisi sifat penjajah Belanda yang memperlakukan pegawai hidup dalam menara gading. Hoiiii, kalau mau berhasil ya harus kerja, kalau mau sukses ya harus kreatif. Salam Damai Selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H