Sudah menjadi kebiasaan, saya selalu menyediakan dana untuk membeli koran Mingguan. Hari Sabtu Koran Tempo dan Kompas. Hari Minggu Kompas, Media Indonesia dan Jawa Pos. Koran- koran itu mencuci otak saya setelah lelah membaca berita- berita gaduh di media sosial. Apalagi komentar netizen yang "kedapatan" receh tentang Pilpres.
Bukan berarti menyepelekan informasi media sosial, tetapi penting karena menambah wawasan, membaca koran pada saat senggang dan pas libur itu seperti sudah adictif. Beli koran segambreng tapi yang dibaca hanya kolom- kolom tertentu, tentang gaya hidup, tentang cerpen, kolom para pendekar kata.
Membaca Kolom dan Rekreasi Kata
Asyik betul-betul asyik misalnya minggu ini membaca tulisan Jean Couteau di Udar Rasa Kompas "Langkah Saru Negeri Jiran".  Pada Media Indonesia saya membaca  Pigura dengan Ono Sarwono Sebagai penulis tetapnya yang mengulas peristiwa mingguan dengan cerita wayangnya Posko di Kamyaka atau bacaan nyamleng juga dari kolom Sujiwo Tejo berjudul debat, debet, debut, debit di kolom #talijiwo.
Pada koran Minggu saya seperti kesurupan membeli di loper koran langganan. Koran sebanyak itu bisa dibaca semuanya? Tidak juga. Hanya sekilas- sekilas saja. Kalau beritanya harian saya lirik saja tetapi bila menyangkut sastra dan budaya, sepertinya harus membacanya sampai tuntas. Apalagi cerpen- cerpen karya Seno Gumira Ajidarma. Bacaan itu semacam jimat, kata kunci untuk bisa mengembangkan hobi menulis.
Apakah membeli koran itu investasi atau hanya buang- buang uang. Kalau sudah hobi harus diusahakan ada budget untuk membeli. Lalu apakah dengan membaca menjadi semakin pintar dan gampang menulis  sastra , cerpen, puisi dan artikel budaya lainnya. Tidak juga. Tapi apa salahnya membaca. Sampai saat ini masih susah menembus cerpen koran, tapi apakah putus asa dan ngambeg membeli koran? Tidak. Yang sebel mungkin istri seharian baca koran kapan jalan- jalannya hahaha...
Kebiasaan membeli koran minggu sudah berlangsung berapa lama sih. Yang aku ingat sejak hijrah ke Jakarta sekitar 2001, ketika masih numpang di rumah saudara, lalu pindah ke kost- kost- an, beberapa kali pindah tetap saja yang dibawa bungkus kardus berisi koleksi buku dan potongan kliping koran. Wuaduhh seperti intelek saja pindah- pindah yang dibawa buku dan kliping koran. Itu semua dibaca? Dulu, tapi ketika kangen pengin membaca saya suka membuka lembarannya kok. Hehehe.
Membaca, sebuah Hobi Yang Menyenangkankah?
Tidak semua orang hobi membaca. Kalau buka- buka status di facebook, IG, Twitter jutaan tapi komunitas membaca apakah sebanyak pengguna media sosial?Saya pikir tidak. Kebiasaan membaca itu memang tidak bisa dipaksa. Kadang sebuah kebetulan, kadang kecelakaan, kadang tidak disengaja. Ada momentumnya. Entah karena kebiasaan lingkungan keluarga yang hobi membaca, atau karena sebuah tuntuan pembelajaran yang akhirnya menuntut seseorang harus senang membaca.
Bagi orang yang kerjaannya menulis dalam artian menjadi pengarang, penyair, wartawan/jurnalis, blogger otomatis adalah orang- orang yang mengharuskan membaca sebagai hobinya atau tuntutan hidupnya. Bagaimana seorang penulis mau menulis jika tidak mempunyai ide, tidak mempunyai perbendaharaan kata, tidak mempunyai cadangan cerita. Dengan hanya melihat sebuah kejadian langsung tentu susah menggambarkan sebuah kejadian bisa spontan ditulis.
Makanya seorang penulis tidak pernah berhitung bila ingin menambah referensi bacaan. Demi sebuah ide, gagasan dan kekayaan kosa kata ia harus merogoh kocek dalam dalam untuk mencari bacaan yang cocok dengan gagasannya dalam menulis.