Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Orde Baru Itu Masa Lalu, Saatnya Menatap Masa Depan

30 November 2018   20:05 Diperbarui: 1 Desember 2018   16:28 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soeharto Sebagai Dewan Pembina Golkar menancapkan pengaruh kuat pada KORPRI yang bisa dikatakan otomatis Golkar (tirto.id/Nauval)

Sebagai pegawai jaman Orde Baru kedua orangtua saya harus setia mendukung Presiden yang berkuasa. Presiden adalah pemimpin yang menggaji pegawai negeri dari kota sampai seluruh pelosok Nusantara. Kesetiaan pegawai negeri mutlak agar statusnya sebagai pegawai negeri tidak tamat. 

Keistimewaan pegawai negeri jaman dulu adalah jaminan kesehatan keluarganya, mendapat bantuan beras meskipun hanya jatah yang kualitasnya agak memprihatinkan. Bau apek dan warnanya kekuningan. Mengenai gaji ya jangan ngarep bisa makan di restoran. Setiap bulan ibu saya yang hanya guru SD terus menghitung potongan-potongan seabrek. 

Gaji selalu minus karena potongan- potongan yang berderet. Untungnya kami tinggal di desa, Untuk makan sehari- hari kami mengandalkan  hasil sawah dan ladang yang tidak seberapa. Jangan harap bisa bergaya hidup seperti orang kaya. 

Tapi bagi orang sekitar kehidupan kami jauh lebih baik karena kami lebih dulu mempunyai motor, TV yang bagi kebanyakan orang desa itu benda ajaib yang sungguh muskil dimiliki. Nah dari situ kami mesti bersyukur.

Keluarga Pegawai Negeri Keluarga Golkar

Orde baru  kami sebagai keluarga pegawai negeri otomatis adalah kader Golkar. Ayah  seorang Penilik sekolah. Semua pegawai negeri telah didoktrin bahwa hidup pegawai negeri itu mengabdi pada Golongan Karya. Tidak mungkin memilih partai lain karena kami memang digaji oleh Golkar. 

Maka ketika SMA saya ikut rombongan partai kampanye untuk Golkar. Waktu itu hampir semua anak pegawai negeri tahunya Golkar karena setiap hari doktrin itu selalu menempel dalam benak pegawai negeri.

Kuatnya pengaruh Soeharto sebagai presiden tentu menutup kemungkinan bisa berpikir untuk mengganti kekuasaannya. Wajah yang nampak selalu senyum itu akan terus tersenyum bila tidak ada revolusi yang melengserkannya dari tampuk kekuasaan. Sebagai keluarga pegawai negeri kebebasan memilih amat dibatasi. Hak politik dipersempit dan kemungkinan kemungkinan untuk melompat  ke gerbong partai lain terasa mustahil.

Orde Baru memang telah menancap kuat dalam seluruh sendi- sendi kehidupan. Birokrasi dari tingkat pusat sampai desa telah didominasi oleh Golongan Karya partai pemerintah. Sebagai keluarga pegawai negeri kami memang mempunyai keistimewaan yaitu jaminan pensiun, pendidikan. 

Tetapi hak politik tertekan karena doktrin yang sudah mengakar kuat. Setelah pensiun dan Orde baru bubar akhirnya Ayah ibu saya bisa bebas menentukan pilihan politik.

Nostalgia Orde Baru Sudah Usai

Nostalgia Orde baru itu sudah usai sejak reformasi. Sebagai  keluarga pegawai negeri kami mempunyai takhta tersendiri, meskipun sebenarnya dari sisi kesejahteraan  harus menjalankan strategi gali lubang tutup lubang karena sesungguhnya gaji pegawai negeri sekelas guru desa hanya cukup untuk setengah bulan, selebihnya kami harus makan dari hasil ladang dan sawah. 

Bisa juga nyambi menjadi ojek, atau mengajar lagi di swasta. Les privat jangan harap mendapatkan uang. Keistimewaan Penilik Sekolah seperti ayah adalah karena banyak tips dari sekolah-sekolah swasta, hadiah kecil atau sebentuk gratifikasi kecil kecilan. Tetapi itu umum dan sudah membudaya. 

Selama menjadi pegawai negeri merasakan empuknya mobil itu seperti hanya mimpi. Maka saya dulu kurang berminat menjadi pegawai negeri. Beda dengan sekarang  apalagi PNS di Jakarta yang sudah terjamin kehidupannya (kalau tidak bergaya borjuis)

Bagaimanapun sebetulnya ada keteraturan terutama pada sektor pertanian. Klompencapir, sistem organisasi pertanian lebih tertata karena kelompok kerja petani yang mengatur tentang pengairan, bibit padi, pengaturan penanaman padi dan koperasi.

Tetapi bila ditawarkan untuk kembali berdemokrasi seperti orde baru tentu akan berpikir amat panjang. Demokrasi penting, tetapi banyak celah memang menghadapi demokrasi yang cenderung kebablasan seperti sekarang ini. 

Banyak orang bebas memaki, mengolok olok dan mengecilkan arti pemerintah. Apalagi pegawai negeri sekarang seperti bergerak liar tanpa naungan sehingga sering membuat birokrasi kelimpungan. 

Pegawai negeri yang relatif  makmur sekarang seperti menari- nari, euforia oleh jaminan kehidupan yang memanjakan mereka. Lupa bahwa mereka harus menghidupkan birokrasi, mengikuti irama pemerintah bukan diam diam bergerak merangkul ideologi internasional berbasis keagamaan.

Orde Baru itu tinggal sejarah, sosok otoriter Soeharto itu masa lalu, yang harus disambut sekarang adalah spirit baru dimana demokrasi dijunjung tinggi, kebebasan berpendapat dijamin tetapi bukan berarti bebas memaki- maki atau bebas mengumpat. Tetap dalam koridor demokrasi yang sehat yang masih dalam naungan Pancasila sebagai pembeda dari negara demokrasi lainnya.

Menatap Ke depan Bukan  Berpaling Ke masa Lalu

Indonesia bukan negara agama, bukan diatur oleh perda- perda khusus yang membedakan agama satu dengan yang lain. Indonesia itu multi ras, bermacam agama dilindungi negara. Aspirasi masyarakat itu tidak hanya mengakomodasi satu agama, satu suku, satu partai politik. 

Sebagai negara kepulauan, dengan ribuan suku, bermacam- macam ras harus sepakat bahwa bila negara maju toleransi, kebebasan menjalankan ibadah agama di dijamin oleh undang- undang. 

Dewan Perwakilan Rakyat harus menjaminnya dengan undang-undang yang melindungi segenap warga negara bukan gaduh menyerang pemerintah dan membuat puisi dengan tujuan menyindir presiden.

Kalau ada beberapa partai ingin menggiring rakyat untuk bernostalgia dengan orde baru, pikirkan benar. Lebih bagus mencari formula agar elit politik tidak saling serang, tetapi bersatu beradu program demi kemajuan bangsa. Kalau sepanjang hari gaduh saling piting, saling tikam, kapan bisa mengejar ketertinggalan dengan negara lain yang sudah maju. 

Potensi Indonesia sebagai negara maju sudah ditangan jangan direcoki dengan pekerjaan sia-sia dengan menabuh gendang perang dan bernostalgia dengan masa lalu. Saatnya menatap ke depan bukan kembali ke masa lalu. Situasinya sudah berbeda. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun