Mungkin berlebihan memilih judul artikel ini. Menjerit, penuh kesah, penuh kecemasan menghadapi zaman millennial saat ini terutama bagi guru yang hanya bersandar pada bantuan pemerintah dengan uang sertifikasi yang tiap 3 bulan atau enan bulan diterima. Para guru yang termasuk "agak susah" menghadapi kehidupan yang semakin sulit apalagi dengan semakin canggihnya teknologi. Perkembangan teknologi digital membuat masalah di dalam kelas semakin beragam, rumit dan serba tidak terduga.
Masalah pertama adalah Guru menghadapi murid yang semakin sibuk dengan Gadgetnya dan melupakan tujuan utama sekolah yaitu belajar. Mereka sibuk main game, mencuri-curi waktu untuk sekedar mengecek instagram, twitter, facebook dan aplikasi belanja online.
Kendali guru mengendor dengan fokus konsentrasi siswa yang terpecah. Guru merasa tersisih dan tidak lagi menjadi nara sumber utama pembelajaran. Para siswa bisa saja mengintip Google, mesin pencari pengetahuan untuk menanggapi tugas- tugas guru. Para siswa sudah membuat guru merasa bukan sosok penting dalam proses pendidikan dan pembelajaran.
Masalah Kedua adalah turunnya penghargaan dan rasa hormat siswa terhadap guru, apalagi pada sosok guru yang kolot, sok pinter dan susah akrab sebab guru itu selalu mengambil jarak yang jauh dan murid menganggap guru gila hormat.
Guru tidak lagi seperti orang tua yang menjadi perwakilan orang tua di rumah. Murid akan lebih melecehkan guru jika ternyata guru itu gagap teknologi, hanya menyampaikan ilmu dan pengetahuan sesuai dengan teks yang ada dibuku.
Padahal di zaman yang canggih ini tuntutan untuk menguasai teknologi sangat penting untuk membantu guru memperbarui ilmu pengetahuannya dengan bantuna teknologi canggih tersebut. Dalam aplikasi di smartphone sudah banyak tutorial mengenai ilmu pengetahuan yang menjadi titik sentral pendidikan.
Guru terutama di zaman milenial tentu harus selalu memperbarui pengetahuannya ikut melangkah dalam berbagai forum untuk terus menambah pengetahuan demi terciptanya manusia yang berkualitas unggul.
Masalah ketiga Tuntutan guru semakin berat ketika harus membagi waktu antara kepentingan keluarga dan sekolah. Di sekolah guru harus bisa membawa diri sehingga kelihatan bahwa guru mempunyai disiplin yang kuat dan  jika guru mempunyai karakter kuat akan membantu siswa menemukan role model seperti guru zaman dulu yang begitu disegani siswa.
Sekarang banyak guru hanya menjadi bulan-bulanan candaan dan perannya sebagai sumber pengetahuan menyusut bersamaan dengan mudahnya siswa mendapatkan pengetahuan dari mesin pencari dan aplikasi- aplikasi yang membantu siswa memecahkan persoalan pembelajaran seperti aplikasi ruang guru, kelas online, tutorial ketrampilan, menggambar, matematika, di Youtube.
Guru lebih berfungsi sebagai fasilitator yang menyerahkan sepenuhnya waktu kepada siswa untuk mencari pengetahuan di perangkat canggih smartphone dan komputer jinjing.
Masalah Keempat adalah semakin banyaknya tugas-tugas guru terutama administrasi sekolah seperti RPP, Analisis soal, Silabus, laporan kelas, belum lagi menghadapi persoalan siswa yang semakin kompleks terutama masalah pergaulan, sopan santun siswa yang semakin menyusut dan kesempatan guru yang sempit untuk menambah pengetahuan dengan membaca, menempa ketrampilan menulis dan mengikuti seminar- seminar yang bisa meningkatkan kompetensinya sebagai guru professional.
 Masalah Kelima Guru perekonomian. Banyak guru terutama honorer tidak menerima upah sepadan dengan beratnya tugas sebagai guru. Mereka hanya digaji berdasarkan rasa kasihan Guru tetap atau PNS yang mau menyisihkan sebagian uang untuk mengupah guru honorer. Sekarang persoalan guru honorer menjadi semakin pelik karena sebagan besar menuntut mereka untuk segera diangkat menjadi guru tetap atau PNS.
Persoalannya banyak guru honorer yang kompetensinya tidak sepadan dengan tuntutannya, itu menjadi persoalan pelik karena rawan dimanfaatkan oleh politikus untuk menggoreng dan memanfaatkan kelemahan pemerintah untuk menjadikan isu guru honorer sebagai senjata melemahkan pemerintah.
Masalah Keenam dari penelitian salah satu perguruan tinggi sekitar 63 % guru terindikasi paham radikal yang menyebabkan persoalan serius pada pendidikan yang mengarahkan siswa untuk bersikap intoleran terhadap agama dan kepercayaan lain.
Munculnya bibit bibit radikalisme yang berasal dari guru tentu sebuah persoalan besar karena guru adalah sumber pengetahuan dan pembentuk karakter siswa. Jika guru tidak mengajarkan pengetahuan yang memberikan dampak positif pada siswa tentu tinggal menunggu waktu bahwa bangsa ini akan mudah dihancurkan dari dalam.
Sesuai kompetensi guru harus memiliki attitude yang baik, luas pengetahuannya, mampu memberikan contoh yang baik untuk siswanya sehingga siswa- siswa mampu diharapkan sebagai penerus masa depan bangsa. Kalau guru gurunya masih kesulitan secara perekonomian, gagap teknologi, mempunyai sifat malas untuk terus menjadi manusia pembelajar maka siswa sebagai generasi masa depan tentu akan kehilangan jatidiri. Mereka seperti laying-layang putus yang terbang ke sana- ke mari tidak tentu arah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H