Dari Kompas Hari Sabtu, 3 November 2018 halaman 12 saya menemukan artikel menarik. Judulnya TERJADI DISRUPSI TAFSIR AGAMA. Â Tertarik membacanya dan kemudian kepala mengangguk - angguk ketika mata terantuk pada paparan dari Romo Aloys Budi Purnomo yang mengatakan:
"mari kita jadikan seni budaya sebagai strategi berdialog . Dan dengan seni budaya yang terjadi bukan caci maki , melainkan suka cita dan kegembiraan." Paparan dari Romo Budi dalam Sarasehan Agamawan dan Budayawan bertema Reaktualisasi Agama dan Budaya di Indonesia ini menarik untuk dibahas di forum pembaca, apalagi melihat fenomena kekerasan atas nama agama akhir-akhir ini. Wajah agama begitu garang ketika melihat perbedaan, keberagaman.
Aksi Bela Agama yang Sering Memberi Rasa Takut daripada Rasa Damai
Salah kata atau salah bertindak akan menimbulkan reaksi spontan yang cenderung kasar. Banal. Coba perhatikan fenomena demonstrasi akhir- akhir ini. Gerakan  aksi bela agama, aksi - aksi yang seharusnya mengusung misi damai , demonstrasi masif menuntut keadilan pada agama telah menyeret manusia melakukan kekerasan atas nama agama. Padahal agama menyangkut keimanan seseorang.
Sarana untuk memuliakan Tuhan. Agama bukan tentang yang paling dikasihi Tuhan dan yang amat rajin melakukan perintah agama dengan beribadah dan bersembahyang. Agama juga produk budaya, sebuah upaya manusia melakukan aktualisasi diri dengan taat dan setia, tunduk pada kekuasaan Sang Pencipta.
Agama melakukan pendekatan lewat jalan budaya. Contohnya nyatanya dalam penyebaran agama Islam di Jawa, para Wali terutama Sunan Kalijaga sampai menciptakan wayang dengan banyak karakter yang disadur dari cerita Hindhu Ramayana dan Mahabaratha.
Dengan suka cita Sunan Kalijaga melakukan dakwah lewat media wayang, menciptakan tembang tembang yang masih dilantunkan sampai sekarang untuk merangkul orang-orang agar mau memeluk agama yang diibaratkan agama damai. Orang-orang dengan latar belakang Kejawen atau Hindhu tentu akan mudah didekati dengan pendekatan budaya tanpa melakukan pemaksaan dan kekerasan.
Sekali lagi dengan sukacita agama akan mudah diserap dan dijalani dengan sepenuh hati. Ketaatan dengan wujud toleransi akan jauh lebih menyenangkan dibanding ketaatan buta yang ujung-ujungnya terjadi kekerasan dan lebih tragis jatuh korban jiwa. Agama itu membawa kesejukan bukan kegarangan, tetapi lagi-lagi ada banyak kisah pilu ketika agama tidak seiring dengan seni dan budaya.
Penulis melihat sisi lain agama yang lebih cenderung takut terjadi penggerusan, penggusuran dan ketakutan-ketakutan agama lain mempengaruhi keimanan mereka. Maka muncul tindakan protektif dan cenderung berlebihan. Padahal dengan seni budaya sisi humanis agma menjadi tampak lebih terang.
Salah satu dengan tradisi  labuhan, sedekah laut yang mendapat perlakuan kasar dari orang-orang yang mengaku taat beragama tetapi memilih cara kasar guna menggusur tradisi dan budaya dalam tata cara agama. Seharusnya mereka sadar syiar agama yang menarik, ceria, sukacita jauh lebih efektif daripada sebentuk pemaksaan kehendak, aplagi harus berkolaborasi dengan dunia politik. Wouhhh lebih seram lagi.
Agama mengusung misi damai, kasih sayang tetapi dengan politik yang identik dengan tipu muslihat cenderung menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Akan terjadi kekacauan jika agama dicampuradukkan dengan politik, dan sekarang sedang terjadi banyak politisi memanfaatkan pengikut, pemuka agama  merangkulnya dengan tujuan politis.
Tentu saja calon pemimpin harus pandai mengaduk emosi massa agar pada saat pencoblosan mempertimbangkan sosoknya sebagai pemimpin terpilih. Sayangnya tidak semua pemimpin mengerti bagaimana melakukan pendekatan dengan cara elegan. Ada yang memilih menebarkan hoaks, berita bohong, cara-cara illegal untuk menang.
Masyarakat yang Mudah Teraduk EmosinyaÂ
Masyarakat Indonesia yang cenderung emosional, mudah terpikat oleh sosok pemimpin yang dipersepsikan gagah, cerdas pandai bicara dan gaya busana yang gamis apalagi mendapat dukungan pemuka agama akan lebih menjanjikan daripada sosok ndeso, plonga---plongo padahal kinerjanya nyata dan hasil kerjanya harusnya mendapat apresiasi positif karena meskipun belum sempurna tetapi sudah ada hasil nyata yang dirasakan masyarakat.
Masalah ada janji yang belum terpenuhi itu karena masyarakat berpikir instan pengin mempoleh hasil dengan jangka waktu cepat. Jika tidka bisa memnuhi ekspektasi masyarakat maka apapun usaha tetap jelek karena tidak menguntungkan sebagian orang.
Suka cita dalam beragama perlu agar wajah agama menjadi cerah dan dialog positif akan lebih mudah dilakukan. Suka cita beragama itu lebih mudah diwujudkan dengan pendekatan seni budaya. Merunut sejarahnya "agama budaya itu begitu lengket "(Amin Abdullah Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta) lalu ia melanjutkan "mengapa sekarang diutak atik?"
Kembalikan Sukacita agama Lewat Seni Budaya
Mari kembalikan agama sebagai  sukacita bersama. Perbedaan bukan untuk dibenturkan tapi sebagai sebuah kekayaan yang dimilki bangsa. Nyatanya sampai sekarang tidak ada pergolakan dahsyat yang membawa perpecahan bangsa karena perbedaan agama.
Hanya jika sekarang tidak segera dilakukan perubahan pola pengajaran di sekolah tentang bagaimana mendidik anak didik mencintai keberagaman dan mengembangkan toleransi suatu saat akan terjadi bom waktu yang menghancurluluhlantakkan relasi antar agama dan kepercayaan.
Penulis yakin jika banyak masyarakat berpikiran seperti Radhar Panca Dahana, Bikhu Pannyavaro, Putu Setia, Azep Zamzam Noor, Nasirun, Ridwan Saidi, Agus Noor, Sujiwo Tejo dan Sutanto Mendut dan dihadiri menteri Agama Lukman Saefuddin Indonesia akan lebih bersuka cita lagi karena mata, jiwa, badan akan tercerahkan dengan pemikiran yang luas tentang agama  dan budaya bangsa. Salam Damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H