Kibaran bendera hitam dan putih bertebaran di panggung demonstrasi. Berteriak- teriak memuji kebesaran Tuhan. Bendera itu seperti menandakan kebesaran sebuah ormas. Agama telah menebarkan simbol- simbol yang membuat pengikutnya bergerak, berteriak dan merasa seperti maju perang membela panji kebesaran agama.Â
Mereka melawan sebuah tindakan yang bagi mereka merebut kemerdekaan. Bahwa dengan bendera memberi keyakinan bahwa mereka sedang berjuang melawan ketidakadilan. Keadilan buat siapa? Siapa lagi kalau bukan mereka sendiri. Dimensi keadilan tiap orang berbeda. Yang adil buat kita mungkin tidak buat orang lain. Yang adil menurut AKU mungkin tidak akan adil buat KAMU.Â
Dan aku yang sebuah ormas dan hidup dalam wilayah negara yang berdaulat merasa tidak mendapat keadilan karena aku menginginkan keadilan sesuai keinginanku bukan keinginan bersama. Negara tentu tidak bisa memberikan perlindungan 100 persen buat pribadi -- pribadi.Â
Negara hanya berusaha membuat keadilan menurut kesepakatan bersama. JIka tiap ormas atau kelompok agama menginginkan perhatian lebih negara maka terus terang negara tidak bisa memberi keadilan yang mereka inginkan.
Ketika Isu Pembakaran Bendera menjadi Komoditas Politik
Ini terjadi di negeri ini. Indonesia. Keadilan menjadi sebuah dilema. Setiap warga negara, ormas menginginkan keadilan dan perhatian.Apalagi sekarang tahun politik. Mereka yang berusaha mengurangi porsi keadilan akan dilibas dan dimaki-maki termasuk negara.Â
Maka Presiden Jokowi juga kena imbasnya. Sudah berusaha adil saja masih saja ada ormas yang merasa tidak puas dengan kebijakan yang diterapkan. Dengan pidato berapi --api, dengan mata membelalak garang mereka menyatakan bahwa Presiden menganaktirikan mereka.Â
Dan kesimpulan dari semuanya adalah Presiden tidak mempedulikan mereka. Karena tidak peduli ya harus di demo, dilengserkan dan diganti segera.
Mereka menyimpulkan Presidenlah yang membuat suasana gaduh akhir-akhir ini. Isu-isu kemiskinan, komunisme,pengaruh asing, aseng terus dilempar ke publik. Media sosial dengan segala komentar- komentar yang semakin panas seperti telah membelah- belah ideologi bangsa ini.Â
Negara yang bertahan karena adanya kesamaan ikatan bahasa, meskipun masing-masing suku mempunyai bahasa masing-masing, ikatan senasib karena sama-sama dijajah, dan kesamaan basis agama. Dan karena kesepakatan untuk berdampingan secara damai di atas perbedaan maka sampai saat ini Indonesia masih kuat menahan gempuran ideologi yang hendak dipaksakan untuk mengubah Pancasila.
Kebudayaan dan Agama adalah Simbiosis bukan Parasit
Upaya itu ada di barisan orang yang mengingkari budaya sendiri, lalu mengatasnamakan agama sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Karena sumber ilmu agama berasal dari Timur Tengah maka segala kiblat, termasuk bendera, huruf, baju, simbol-simbol agama haruslah mengacu pada negara tempat agama lahir. Melanggar atau menghinanya itu menghina agama sekaligus menghina Tuhan sumber dari semua agama di bumi.
Apakah jika misalnya huruf itu huruf latin lalu ditulis di bendera lalu dibakar berarti penghinaan pada agama yang menggunakan bahasa latin sebagai media ibadatnya? Saya kira mereka sudah rasional mereka tidak akan mempersoalkan huruf, kalimat doanya.Â
Karena doa adalah hubungan sacral antara manusia dengan Tuhan yang menciptakan manusia. Dengan bahasa apapun tanpa perantaraan bahasa ibu dari agama Tuhan akan tetap tahu apa yang menjadi pergolakan bathin manusia. Jika Manusia masih menuhankan benda berarti mereka tidak percaya dong pada keagungan Tuhan sebagai penguasa Tunggal alam semesta.Â
Siapa sih manusia yang hanya debu  yang dengan sombong, berkobar-kobar membela Tuhan. Tuhan akan tersenyum, "manusia-manusia ,AKu tidak perlu dibela"
Jika dengan bendera manusia saling cakar- saling bantai, saling bunuh lalu bagaimana mereka menilai diri sendiri. Ketaatan buta dan wawasan sempit tentang hubungan manusia dan Tuhan membuat banyak manusia ngotot untuk membawa- simbol- simbol untuk menegasikan bahwa dia taat, dia mengikuti tafsir-tafsir yang mereka percayai mampu mendekatkan dia dengan Tuhan.
Getaran Suara KH Mustofa Bisri dan Kedamaian Bathin yang Terpancar
Penulis merasakan getaran yang jauh merasuk dalam kalbu ketika Kyai Haji Mustafa Bisri berbicara(pimpinan Pondok Pesantren Raudhatutholibin Rembang).Â
Penulis mendengarkan saat acara mata Najwa di trans 7 semalam Rabu, 31 Oktober 2018Â .Dengan diksi-diksi yang sudah sudah melekat dalam seluruh perjalanan hidupnya ia sudah sampai tahab di mana kedekatan antara manusia dan Tuhan itu tidak berjarak sama sekali.Â
Ia melihat banyak manusia salah menterjemahkan "adil"hingga ketika merasa bahwa ia tidak merasa diperlakukan adil oleh negara maka kekecewaannya diungkap dengan memaki- maki, melakukan demonstrasi, melakukan perlawanan dan menginginkan pencabutan mandat karena telah berlaku tidak adil.
Mustofa Bisri menjelaskan hakikat beragama dengan bahasa kasih sama ketika penulis  yang kebetulan beragama Katholik mampu meresapi apa yang terucap Kyai tersebut menunjukkan ia sudah selesai dengan dirinya, tidak ada motivasi lain selain selalu dekat dengan Tuhan dengan latar belakang budayanya sendiri.Â
Hidup di Indonesia tentulah harus mengikuti nilai-nilai lokalitas, nilai-nilai luhur yang tertanam dalam setiap negara. Kibaran bendera yang dipercayai masyarakat Indonesia adalah Merah Putih. Karena merah putih rakyat yang multiragam, hidup diatas perbedaan bisa bersatu.Â
Tiap daerah mempunyai baju, mempunyai simbol-simbol yang mendekatkan manusia dengan Sang Penguasa Alam semesta. Mistifikasi, bahasa, upacara, tradisi semua bermuara untuk memuliakan Penguasa Alam Semesta.
Bendera Hanyalah Sarana Memuliakan Tuhan Bukan Benda yang Harus Disembah
Simbol hanya perantara untuk mewujudkan doa melalu cara masing masing manusia. Yang disembah bukan benda, bukan bendera, bukan kalimat dan huruf-huruf. Yang disembah itu Tuhan. Ada kalimat yang diuang-ulang akan menimbulkan getaran dalam jiwa.Â
Seperti rapalan kesaktian atau mantra, begitu juga kalimat-kalimat syahadat yang disetiap agama pasti ada. Setiap manusia akan tentu akan bergetar jika sedang merapalkan kalimat syahadat. Dengan bahasa mereka, bahasa bathin, bahasa jiwa, bahasa kalbu dialog manusia dengan Tuhan semakin meresap.
Jadi bagi saya jika orang-orang yang mengaku taqwa dan beragama harus perang gara-gara bendera itu adalah konyol.Â
Benda-benda itu sekali lagi hanyalah salah satu sarana agar manusia bisa dengan Tuhan. Tiap manusia, tiap agama mempunyai caranya sendiri untuk memuliakan Tuhan. Salam Damai. Mari jabat tangan untuk kedamaian jiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H