Kasus kasus intoleransi yang merebak saat ini salah satu faktornya adalah pendidikan. Pendidikan ternyata belum mampu memberikan landasan bagi kesadaran siswa dan institusinya untuk menghargai perbedaan, terbuka menerima kenyataan bahwa Indonesia itu multi ragam budaya, suku, agama.
Pendidikan terutama yang berlatar belakang homogen yang semua siswanya beragama sama belum bisa menerima kenyataan bahwa ada pemeluk agama lain di Indonesia yang mempunyai hak sama untuk menjalankan ibdah menurut keyakinannya dengan nyaman, memiliki gedung untuk melaksanakan ibadatnya tanpa diganggu oleh upaya radikal mengganggu peribadatan keyakinan lain.
Menurut survei yang dilakukan oleh Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Syarif Hidayatullah sebagian besar guru di Indonesia intoleran terhadap pemeluk agama lain. PPIM Â meneliti sekitar 2.237 guru. Hasil surveinya adalah sebanyak 63,07 responden mempunyai pandangan intoleran.
Survey tentang Guru yang Intoleran dan Kenyataan Tumbuh-Kembang Bibit Radikalisme di Masyarakat
Survei tentang guru yang intoleran menunjukkan betapa guru yang digadang-gadang menjadi corong dari pengetahuan serta menjadi andalan untuk kemajuan bangsa telah cenderung terjebak dalam sikap intoleransi yang menjadi bibit bagi radikalisme.
Contoh pertanyaan yang diajukan PPIM terhadap responden misalnya  "Non Muslim boleh mendirikan rumah ibadah di lingkungan bapa/ibu tinggal?" Hasilnya 56 persen guru tidak setuju dengan pernyataan tersebut.Â
Padahal sebagai pengajar pikiran objektif tidak memihak sangat penting untuk mengajarkan pengetahuan secara independen. Guru menularkan ilmu berdasarkan pengetahuan empirik yang bisa di kaji lewat data bukan dengan perasaan dan subjektifitas.
Pengetahuan tentang agama-agama perlu diajarkan dengan pola ilmu sosiologis. Guru menjadi fasilitator dan penengah bagi anak didik untuk bersikap objektif terhadap berbagai kasus intoleransi dan radikalisme.Â
Kalau guru cenderung radikal dan intoleran maka pendidikan nantinya hanya melahirkan generasi muda yang menutup diri dari kenyataan bahwa Indonesia dengan segala kemajemukannya adalah negara demokrasi, bukan negara agama. Negara yang menjamin kemerdekaan warganya untuk memeluk keyakinannya tanpa terganggu dengan intervensi agama lain.
Kemampuan untuk menghargai perbedaan amat penting. Apalagi dengan tumbuh suburnya media sosial saat ini peran guru amat penting untuk membendung paham radikal bermukim dalam otak generasi muda.
Kasus-kasus pembakaran bendera, gerakan berafiliasi radikal, konflik agama yang tidak pernah usai, persekusi terhadap pemeluk agama lain tidak mungkin terjadi jika generasinya sadar bahwa menghargai orang lain, menghargai agama yang berbeda wajib hukumnya di negara demokrasi ini.Â
Guru yang masih dipercaya mampu memberi transfer pengetahuan dan pembentuk karakter harus bisa membedakan antar kepentingan golongan agama dan tanggung jawab besar mencerdaskan anak bangsa.
Kalau guru cenderung berpaham radikal bagaimana bisa mengarahkan anak didik menjadi generasi toleran terhadap perbedaan.
Riset yang dimuat di majalah Tempo 22 - 28 Oktober 2018 ini adalah sebuah sinyal agar pemerintah lebih peduli pada pendidikan guru. Pengalaman penulis yang pernah mengenyam pendidikan guru banyak selebaran terpampang di majalah dinding kampus tentang paham radikal.Â
Pengajian-pengajian yang mengajarkan intoleransi. Maka tidak heran jika lembaga pendidikan guru (IKIP) intoleransinya lebih kuat daripada pendidikan yang khusus agama semacam IAIN Â atau UIN.
Meneladani Filosofi Ki Hadjar Dewantara
Guru itu ibaratnya digugu dan ditiru. Peribahasa lain adalah Guru Kencing berdiri murid Kencing berlari.
Segala tindak tanduk guru akan diserap oleh murid. Jika guru berperilaku buruk atau berpaham menyimpang tentu akan berpengaruh terhadap anak didiknya.Â
Guru perlu belajar dan kembali menyesap lagi filosofi dari Ki Hadjar Dewantara yang cocok dengan budaya Indonesia, yakni Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (di depan Memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan semangat), bukan menjadi katak dalam tempurung yang tidak tahu menahu perkembangan pengetahuan dunia.Â
Paling bagus jika guru juga memberi keteladanan dengan menjadi manusia pembelajar dengan menulis buku atau paling tidak aktif di blog atau ikut gabung di Kompasiana, atau platform serupa yang mampu memupuk kecintaan pada dunia tulis menulis dan dunia literasi. Salam literasi.Â
Selamat Ulang Tahun Kompasiana yang kesepuluh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H