Pengunjung  melihat lukisan Henk Ngantung dengan karang yang diterjang ombak besar ketika melangkah ke dalam galeri. Sebelah kanannya peta dunia dari lempengan seng dengan warna karatan yang unik. Dari situlah saya mulai melangkah ke kiri  melihat lukisan dari masa ke masa lukisan Surono (Orang tua dari Sapto Hudoyo Pelukis yang menggagas makam untuk seniman di Yogya) yang menggambarkan sebuah rumah dengan gerbang dan pagar  yang bisa dikatakan modern di eranya.Â
Sebagai penikmat seni, ketika masuk dalam ruangan pameran jadi serasa mengintip sebuah perjalanan seni Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai dengan sampai sekarang.
Sebagai penikmat karya seni saya  tidak perlu harus menyigi  karya dari ruang museum ke museum yang berada di  Museum Aceh, Dinas kebudayaan dan Pariwisata Aceh.Â
Dewan Kesenian Jakarta, Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta, Dinas Pariwisata  dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Saya dan pengunjung pameran tentu cukup beruntung bisa melihat karya seni yang tersebar  di banyak lembaga tersebut. Banyak karya- karya fenomenal terpajang Misalnya dari Raden Saleh Bustaman yang memperlihatkan kepiawaiannya melukis Potret Pejabat Belanda.Â
Lukisannya amat presisi untuk menggantikan seni fotografi yang dari dulu masih amat langka. Di situ juga terlihat lukisan- lukisan kaca yang mengingatkan saya  saat bertamu di rumah priyayi zaman dulu yang memajang lukisan --lukisan kaca yang menampilkan lukisan dekoratif dua dimensi dengan warna-warna kontras. Lukisan tentang barisan prajurit tanpa ekspresi, bangsawan-bangsawan Jawa sekitar 2 atau 3 abad lalu.
Karya lainnya seperti karya-karya Popo Iskandar, Â Widayat dengan goresan lukisan dengan lafaz Arab, demikian juga pelukis dari Aceh AD Pirous yang mencetak lukisan religius yang menjadi trade marknya. Karya -- karya yang terpajang sebagian besar adalah karya-karya pelukis legendaris Indonesia. Fadjar Sidik, Batara Lubis, I Nyoman Gunarnya, I Nyoman Cokot, Â I Made Djirna, Srhihadi Sudarsono , Zaini , Wardoyo, Lian Sahar, Kaboel Suadi.
Salah satu yang paling menarik bagi saya adalah lukisan-lukisan kaca yang menampilkan punakawan Petruk sedang mabuk di temani dengan para wanita. Lukisan ini adalah kritikan sosial dalam bentuk lakon wayang. Kalau sekarang bisa katakan ini adalah "meme" yang biasa di temui di media sosial, Â berfungsi sebagai nasihat atau semacam sindiran lewat bahasa gambar. Â
SingEling lan Waspodo ( Harap ingat dan Waspada ) begitulah kata- kata yang muncul dalam lukisan itu . Karya karya Subandi Giyanto yang bertahun 2012 ini seperti muncul kembali dalam ingatan ketika melihat lukisan yang terpajang di dinding rumah joglo jawa milik kepala desa atau orang berada "zaman old".
Saya jadi beimajinasi begini ketika melihat karya Subandi Giyanto;
"He, Petruk Jangan mabuk suasana, emang kamu lebih ganteng daripada saya tetapai ya jangan mentang-mentang semua perempuan kau kencani!"
"Eeee, Bodo Amat Reng Gareng, Yang penting saya suka... dan banyak perempuan klepek-klepek pada kegantengan saya."
"Eeh Truk Sing Eling lan Waspada. Kesenangan kesenangan itu bisa membuatmu lupa diri, Kau lupa saudara, teman dan lupa pada istrimu sendiri."
"Auuu ah gelap!"
"Ya sudah kalau kau tidak mau dinasihati ingat kelakuan buruk akan mendapat balasannya nanti.
Belum habis Gareng ngomong motor yang ditumpangi Petruk dan perempuan-perempuan yang dikencaninya sambil mabuk jatuh dan menabrak tiang listrik...
Nah dari karya seni penikmat dan pengunjung  pameran seni bisa mengembangkan khayalannya.
***
Sayangnya banyak pengunjung yang hanya menyukai selfie di depan lukisan namun kurang mempunyai cukup apresiasi untuk melihat jauh  ke dalam untuk memahami makna dari lukisan-lukisan yang terpajang tersebut. Menyigi dalam  Suwarno Wisetrotomo adalah menginvestasi, mencatat, menyiangi dan menerangjelaskan  karya - karya yang terhimpun(terkoleksi dalam institusi negara, yang bisa dicatat sebagai karya Seni Rupa Negara (State Collection).
Menghargai Karya Seni Sebagai Wujud Cinta Bangsa
Dengan mengenal artefak budaya, karya tangible dan intangible masyarakat jadi mengerti betapa kaya kebudayaan Indonesia. Pemerintah rasanya sudah pada trek benar untuk mengingatkan kembali masyarakat betapa kekayaan budaya bangsa itu mampu mengangkat derajad bangsa. Saya merasa seperti lebih segar dan optimis bahwa masih ada harapan bangsa ini untuk maju menjadi negara maju, tetapi ketika mengingat kembali situasi politik tanah air rasanya menjadi sebuah pertentangan bathin.Â
Apalagi mendengar banyak yang merasa beragama tetapi dengan enaknya memberangus warisan budaya turun temurun yang sudah berasal akar budaya bangsa yang dikagumi oleh negara tetapi dilecehkan oleh segilintir masyarakat yang merasa mempunyai "lebih beragama" meskipun harus menghancurkan artefak budaya diganti dengan adat, bahasa asing dengan dalih agama.
Radikalisme agama membuat warisan budaya yang adiluhung itu hancur, moralitas, toleransi, kebersamaan dengan alampun terganggu karena banyak masyarakat terjebak hanya membangun rohani dengan mengusung surga dan neraka tetapi melupakan jagad besar yaitu manunggaling kawulo lan gusti, Juga sangkan paraning dumadi.
 Karya seni mendekatkan manusia dengan alam semesta. Menegakkan kemurnian moralitas dan tentu lebih mengarahkan manusia kembali membumi. Dengan melihat pameran saya ingin mereduksi emosi-emosi yang meletup-letup ketika menulis tentang politik , beringasnya masa saat menghancurkan simbol-simbol agama, dan kebohongan- kebohongan yang secara telanjang diakui politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H