Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Vandalisme, Sempitnya Ruang Sosial dan Ketidakpedulian Masyarakat

28 September 2018   19:05 Diperbarui: 29 September 2018   11:08 1621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Kalau memandang mural yang dilukis dengan kreatif dan artistik rasanya mata menjadi nyaman. Sebab mural sesungguhnya adalah memberi kegembiraan pada orang-orang yang melintas dan kebetulan melihatnya. 

Ada gambar-gambar unik, simbol-simbol event besar semacam Asian Games yang baru berlangsung pertengahan Agustus lalu. Kemeriahan warna itu turut mengantarkan orang-orang melupakan kejenuhan, kebosanan dan kesumpekan saat menembus jalanan macet dan berdebu. Sesungguhnya mural menjadi ekspresi kreatif anak-anak muda yang rindu untuk turut berperan memberi keindahan kota.

Ekspresi Seni Atau Merusak Pemandangan?

Tetapi bagaimana dengan mereka yang hanya sekedar mencoret - coret tembok, dinding gedung, pagar-pagar, bahkan Kereta LRT yang sedang parkir di stasiun utama di Lebak Bulus, dicoret-coret tanpa ijin. 

Berekspresi ya berekspresi tetapi dengan melakukan vandalisme pada simbol-simbol penting semacam papan petunjuk jalan, mencoret-coret tembok kompleks perumahan, tiang-tiang listrik, papan pengumuman itu sebuah ekspresi seni?

RPTRA Pendongkelan tampak kumuh karen aksi iseng pelaku vandalisme
RPTRA Pendongkelan tampak kumuh karen aksi iseng pelaku vandalisme
Jika papan petunjuk alamat, petunjuk arah di coret-coret hingga tulisan penting yang seharusnya terbaca menjadi berantakan bukannya itu sebuah kejahatan. Siapakah yang tega mencoret-coret papan petunjuk itu? para pelajar? 


Anak- anak super iseng?, anggota gank, anak motor? atau sejumlah preman liar?. Yang sering penulis  perhatikan coretan-coretan itu berasal dari pelajar iseng. Setelah pulang mereka sengaja lewat jalan-jalan umum, untuk sekedar menampilkan eskistensi sekolahnya mereka membawa cat semprot lalu seperti tanpa dosa mencoret papan pengumuman, papan petunjuk jalan hingga tulisan di papan tidak jelas lagi.

Vandalisme (menurut KBBI perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya,keindahan alam dan lainnya ) itu cermin bahwa anak-anak kebingungan dengan masa depannya sendiri. 

Pencarian identitas terganjal dengan tidak adanya media yang pas untuk menyalurkan keinginannya mencoret-coret. Akhirnya apapun menjadi sasaran keisengannya. Setelah iseng  mereka kembali bergumul dengan gadget, atau mencari kegiatan lain untuk mengisi waktu yang sebetulnya bisa digunakan untuk belajar, membaca buku atau bergabung dalam kegiatan positif.  

Para remaja mencoba iseng merokok dengan sembunyi sembunyi, tetapi ada juga yang terang -- terangan masih berseragam siswa tapi di jari tangannya tergenggam rokok dan dikantong tasnya satu bungkus rokok siap diisap.

Problem Kependudukan Perkampungan Padat 

Remaja- remaja iseng itu datang dari keluarga yang sangat sibuk bekerja hingga tidak pernah menanyakan apapun yang dilakukan anaknya. Mau menjadi preman, anak jalanan tidak sempat mikir. 

Mereka bekerja siang malam hanya sekedar mencari sesuap nasi yang semakin lama semakin susah diharapkan. Apalagi di Jakarta. Masalah anak-anak itu kompleks. Ketiadaan lahan bermain, pengaruh lingkungan yang membentuk anak menjadi liar, premanisme dan mata rantainya yang susah diputus, rayuan-rayuan dari sekitar lingkungannya untuk mengkonsumsi, miras, obat-obatan terlarang yang tak terhindarkan.

Di Jakarta, seperti yang penulis amati dari lingkungan sekitar(Cengkareng Jakarta Barat)dengan penduduk teramat padat. Bayangkan di sekitar Pedongkelan banyak rumah - rumah petak dibangun berdesak-desakan dengan rata-rata pekerjaan sebagai pedagang pedagang kaki lima, buruh kasar,pedagang gerobak dorong, guru honorer, pekerja serabutan, pekerja musiman. Ada pekerja yang sepanjang hari bekerja. Berangkat pagi pulang larut malam. Anak-anaknya sekolah tanpa pengawasan orang tua.

Di setiap sudut gang ada saja remaja yang duduk, entah sedang main gadget atau sedang menikmati isapan demi isapan rokok yang dibeli dengan cara ketengan. Punya uang sedikit dibelikan cat semprot, ada tembok kosong sedikit menjadi sasaran coret- coretannya.Hampir tidak ada tembok yang luput dari coretan dan cat semprot yang mereka miliki. 

Mereka berperang dengan cara memberi penanda di tembok, Suporter persija misalnya akan mengokupasi tembok luar perumahan untuk dijadikan media muralnya. Mereka membuat logo, mewarnai dengan warna-warna dominan Orange serta logo dan klub supporter perkampung. 

Misalnya sebutlah klub pendukung persija Kampung Utan( Cengkareng Timur) Nama Airut hampir selalu ditemui di sekitar Cengkareng. Di mana ada tembok kosong nama klub supporter atau bisa disebut kumpulan anak-anak iseng suka membuat resah pemilik tembok. 

Pada akhirnya masyarakat kebal dengan keisengan mereka.Lihat saja kalau anda kebetulan melintas di pedongkelan, Kampung Utan, perumnas, di gang-gang dengan nama gunung Galunggung, Kapuk Kamal, Perumnas,Mutiara Taman Palem.

Titik-titik kerawanan ada di sekitar perkampungan kampungutan dan Pedongkelan. Sebab di tempat itu, jambret, maling, preman-preman tinggal. Populasi penduduk yang amat cepat membuat perkampungan tampak padat oleh pendatang. 

Dari rawa-rawa, lahan kosong sengketa yang masih terlihat sekitar  1990- an sampai  akhir 90 an . Selanjutnya sekitar tahun 2000 -- an  gelombang pendatang menyesaki kota Jakarta dan pilihan realistis pekerja kantoran dan pekerja yang bekerja di Jakarta kota memilih kota pinggiran Cengkareng untuk dijadikan pilihan tempat tinggal, meskipun semua penduduk mereka banyak gambling karena banyak dari tanah mereka masih bersengketa.

Problema Urbanisme

Dengan penduduk beragam dan pendatang yang bergelombang datang tidak dipungkiri banyak orang menetap dan bekerja dengan berbagai motif. Bahkan susah menolak orang- orang yang datang dengan tujuan ingin bekerja dengan cara enak, tidak susah - susah berkeringat tetapi banyak uang. 

Makanya banyak preman-preman bermunculan, jambret, maling pun menyatu dengan pekerja, karyawan buruh, pekerja pabrik kuli bangunan, pengusaha las, pengusaha warung, gerobak dorong(dari nasi goreng, siomay, bakso malang, singkong rebus, pemulung,cimol, cilok, bakso Bandung, Jagung rebus dll). Ketika malam merangkak warung-warung kaki lima, mulai bergerak, mesin ekonomi bergerak dan terjadi perputaran uang. 

Preman-premanpun tampak menikmati perputaran uang itu dengan memainkan berbagai peran, mulai dari menjambret, menyelusup ke gang-gang saat rumah ditinggal penghuninya,  Di setiap tikungan sudah ada orang yang sengaja berdiri sekedar menggerakkan tangan memberi kode bahwa ada mobil dari balik tikungan akan melintas, dapat uang recehan syukur tidak ya pasang muka masam.

Sementara anak- anak remaja habis sekolah tidak lagi belajar tetapi mencari kesibukan dengan membentuk gank, ikut gabung klub supporter, menandai setiap jengkal tanah dengan coretan-coretan cat semprot. Sambil membawa minuman yang dibungkus plastik dan di kupingnya tertindik, lalu tanpa jengah membuang sampah di sembarang tempat. 

Tidak heran selokan, jalan-jalan gang, tanah kosong, sudut gang  yang ramang-remang, serta tembok penuh sampah berserakan. Tembok pun berserak sampah rupa karena penuh coretan dari cat semprot. 

Yang tidak bisa dimengerti adalah mengapa sampai papan petunjuk arah, dijadikan sasaran vandalisme. Apakah kurang bekal pengajaran moral dari sekolah sehingga mereka tidak merasa sayang jika papan petunjuk jalan sengaja dirisak hingga mengaburkan fungsinya.

Mungkin penulis perlu memahami dunia mereka sehingga jadi manggut-manggut jika mereka berbuat iseng yang nyerempet- nyerempet bahaya.

Kurangnya Perhatian Aparat dan Orang tua

Sudah saatnya bukan hanya pemerintah, pengurus RT, RW atau Lurah datang dan turun ke lapangan, menyapa komunitas anak jalanan, klub klub suporter diberi pengertian tentang dampak buruk vandalisme. 

Yang jelas vandalisme itu bukan karena mereka tetapi adalah kita yang abai untuk saling menyapa, karena sibuk dengan kegiatan sendiri, terlelap dengan pekerjaan-pekerjaan yang menyita waktu, merasa sombong karena selalu berjarak dengan orang-orang yang seharusnya dirangkul dan diberi pencerahan tentang karakter, merasa memiliki dan peduli lingkungan, pentingnya menjaga kebersihan mulai dari diri sendiri.

Pembiaran itu hadir di tempat-tempat dimana banyak orang sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Potret kota yang abai dengan sistem tetapi menikmati ruang curang di sekitar, kriminalitas yang berkembang karena masyarakat lebih peduli diri sendiri. 

Di Kota bahkan satu RT pun belum tentu satu persatu mereka kenal, lebih parah lagi jika sama sekali tidak tahu nama RT nya dan tempat tinggalnya. Rumah hanya transit, tempat tidur sementara, pelepas lelah. Setelah itu orang orang itu sibuk bekerja tanpa sempat membangun relasi dengan lingkungan.

Bukan Masalah Kalian, tetapi Masalah "Kita"

Vandalisme melekat di lingkungan dimana toleransi hampir sama sekali tidak ada. Jika mempunyai kesadaran toleransi tentu anak- anak itu akan malu harus mencoret-coret gerbang rumah, rumah- rumah yang sudah susah-susah dicat agar tampak indah dan cerah.

Dengan vandalisme dalam ruang visual maka sense of belonging orang-orang yang melakukan vandalisme visual itu amat rendah. Yang tragis adalah ketika anak-anak iseng itu seperti tanpa dosa mencoret- coret Kereta LRT dengan coret-coretan ala kadarnya. Coba seandainya mereka mengecatnya dengan graffiti cantik, atau mural yang menarik mereka tentu akan mempertimbangkan agar badan LRT bisa menjadi saluran kreatif seniman Street Art.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Problem perkotaan padat penduduk seperti Jakarta adalah rendahnya kesadaran mencintai lingkungan yang kurang. Sekali lagi penulis akan menyebut itu adalah problem kita karena bagaimanapun hanya sedikit dari kita yang kesadaran untuk mencintai lingkungan tinggi, lainnya sibuk dengan persoalan keluarga, bertumpuknya pekerjaan di kantor, terlalu susah mengatur waktu untuk terjun ke lingkungan. 

Bahkan saking sibuknya setiap kali mau pergi ke kantor membawa sampah rumah yang sudah dimasukkan kresek lalu dengan entengnya dibuang ke pinggir kali. Mereka para pelaku vandalisme  belajar dari lingkungannya. 

Dari ketidakpedulian orang tuanya, atau  malah datang dari orang tua otoriter yang memaksakan  kehendak kepada anak sehingga anak lebih nyaman hidup di jalanan daripada rumah sendiri yang seperti neraka baginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun