Selalu ada hasrat besar untuk menonton koleksi Istana Kepresidenan Indonesia, terutama koleksi semasa zaman perjuangan tepatnya ketika Soekarno Presiden pertama begitu antusias mengumpulkan, mengoleksi dan sekaligus pelaku aktif dalam melestarikan seni budaya bangsa. Karya karya koleksi istana itu sungguh  tidak ternilai harganya.Â
Saat menonton kekaguman penulis menjadi-jadi. Bukan karena bagus jeleknya sebuah lukisan atau keterbatasan aliran seni yang dikoleksi, tetapi koleksi itu adalah merupakan sebuah pencapaian kebudayaan dari negara yang belum lama merdeka (waktu itu).Â
Lukisan-lukisan baik dari pelukis dalam negeri maupun luar negeri telah memberi semacam kebanggaan. Ternyata kebudayaan Indonesia ada dalam tataran tinggi di antara negara-negara di dunia. Tidak usah minder atau merasa kecil hati setelah melihat tapak jejak karya seniman lokal.
Indonesia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan negara-negara di dunia. Alamnya terutama pulaunya, potensi hutan tropisnya, kreasi-kreasi yang lahir dari anak bangsa yang berasal dari beribu suku beratus suku bangsa, banyaknya pulau yang tersebar dari timur ke barat dari Utara ke Selatan.Â
Alamnya memberi suguhan keindahan, maka banyak pelukis zaman mooi indie begitu senang melukis alam. Karena alam merupakan salah satu objek yang menarik untuk dilukis atau diabadikan dalam karya seni. Abdulah Sr, Raden Saleh Bustman,  Basuki Abdullah, Dullah, Trubus telah membuka mata penikmat seni bahwa Indonesia itu elok, rupawan.
Di daerah tropis ini kerusakan karya seni amat rentan terjadi. Tetapi kecakapan, kecanggihan dalam melindungi jejak sejarah bangsa itu masih minim, malah banyak barang-barang museum raib dan ketahuan diperjualbelikan di pasar gelap.Â
Irosnisnya lagi banyak pejabat ikut kongkalikong memperdagangkan artefak karya manusia. Katakanlah manusia itu culas, keji, terlalu tidak peduli betapa pentingnya peninggalan sejarah.Â
Harus penulis akui pemerintahan sekarang lepas dari segala kelemahannya yang belum bisa mengabulkan janji-janji kampanye sudah berusaha keras siang malam untuk bekerja, bekerja dan terus bekerja tanpa lelah membangun Indonesia mulai pinggiran Indonesia.
Tidak kurang pelukis-pelukis legendaris seperti Raden Saleh Bustaman, Trubus, Basuki Abdullah, Dullah Nyoman Gunarsa, Hendra Gunawan, Agus Djayasuminta, Barli Sasmitawijaya, Batara Lubis, Hendrik"Henk"Hermanus Ngantung,Itji Tarmizi, Jean Daniel Gerry, Joes Soepadyo, Karyono Js., Kosnan, Lee Man Fong, Made Djata, Nasjah DJamin, Nhek Dim, Otodjayasuntara, Roberto Juan Capurro, Rustamadji, Sekara Gunung ( Ki Heru Wirjono), Shiavax Chavda, Shinsui Ito, Soerono Hendronoto, Sudarso, Walter Spies, Wiwiek Sumitro, Yevgeny victorovich Vuchetich, Zsigmond Kisfaludi Strobl Meramaikan dan memeriahkan ruang pamer Galeri Nasional Indonesia.
Spirit intinya adalah persatuan dan kesatuan, Gotong -- royong. Perbedaan bukan untuk diperdebatkan dan dipertentangkan tetapi memberi kekayaan yang sangat berharga bagi alam demokrasi ini.Â
Jangan mau dikotak-kotakkan oleh kepentingan politik, tetapi bersama membangun bangsa holopis kuntul baris seperti nyanyian rakyat ketika melakukan gotong royong saat membangun rumah.
Rasanya ngeri mendengar suara-suara "nyinyir" yang cenderung memecah belah kesatuan dengan  menajamkan perbedaan keyakinan, mengasapi paham radikal, dan memilah-milah masyarakat dengan dukung mendukung partai politik serta calon pemimpin bangsa.
Memanah menurut  Soekarno begitu kata Agus Dermawan adalah lambang kesatriaan yang mengkristal dalam kebudayaan Jawa serta kosmologi wayang. Tentu perhitungan menjadi prioritas, konsentrasi dan keyakinan yang akan memberi kesuksesan.
Setelah 73 Tahun merdeka ternyata masih banyak jalan terjal yang harus dilalui bangsa ini terutama mental pejabat, wakil rakyat, politisi yang masih terwarisi sifat politik Belanda Devide et Impera.Â
Jika mau kuat dan maju maka politik pecah belah itu harus lenyap dari bumi Nusantara yang terdiri dari bermacam suku bangsa, keyakinan.agama. bahasa.
Jika keragaman dan perbedaan agama dibuat untuk meruncingkan konflik maka kehancuran akan menghadang bangsa ini. Dengan kebudayaan Indonesia yakin perbedaan itu bukan kelemahan, tetapi harmoni, sebuah kekayaan yang harus dipercaya bahwa, seperti halnya konser musik suara berbeda memberi keindahan. Suara tinggi, suara rendah, ketukan-ketukan ritmis, saling berkejaran namun dalam satu konduktor mampu menampilkan suara megah.
Silahkan berbondong bondong datang melihat jejak karya anak bangsa koleksi Kepresidenan. Apresiasi anda diperlukan untuk dukungan agar karya seni mendapat tempat layak dan jika masyarakat mampu menghargai karya anak bangsa Karya seni akan terangkat dan menjadi andalan untuk menjadi duta bagi kemajuan bangsa di mata internasional.
Penulis adalah Guru Seni Rupa dan Pemerhati Pameran Seni.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H